SYLVATICA: Lamtumirë

3 0 0
                                    

Dalam lima tahun hidup Piper, ia tak pernah jauh dari keluarganya untuk waktu yang lama. Pertama lantaran sang papa sangat mencintai anak gadisnya hingga tak ingin melihat bocah cilik itu jauh dari mata, kedua lantaran Piper itu sendiri. Gerak-gerik si bocah cilik sangat manis, membuat siapa pun yang melihatnya akan jatuh cinta. Pipi si bocah selalu bersemu merah muda, matanya yang berwarna senada langit selalu berbinar, dan keseluruhan ekspresi wajahnya selalu ceria. Si bocah sering tertawa ketika mendengar guyonan garing sang papa, dan suara gelaknya terdengar sangat jernih dan polos.

Hanya saja, kali ini Piper sedang berada di taman tak jauh dari rumahnya, sendirian. Si bocah duduk menekuk lutut di belakang semak, tersembunyi dari keramaian. Matanya yang biasa jernih, kini terlihat keruh. Piper tampak tak memerhatikan tangannya yang memerah karena digigit nyamuk, pun bajunya yang kotor oleh tanah. Fokusnya kali ini adalah pada arah gerbang taman yang dapat dilihat dari tempatnya bersembunyi. Di tangannya, boneka tupai yang cukup besar ia peluk dengan erat. Piper tampak ingin menutupi rasa gelisahnya selagi menunggu orang akan muncul dari gerbang.

"Kakak, benar Papa dan Mama akan menjemput kita?" tanya Piper, menoleh pada seorang bocah laki-laki yang berusia enam tahun di atasnya. Si bocah laki-laki berdiri di sebelah Piper dengan wajah pucat, tersenyum pada si gadis cilik tanpa mengucapkan apapun.

"Kakak?" panggil Piper. Kakaknya masih tak menjawab. Hanya saja, siapa pun bisa melihat pandangan sayang yang ia berikan pada Piper. Tangan pucat yang kotor dengan bercak kehitaman terulur, mengelus kepala Piper lembut. Sang kakak mengangguk.

"Benar?" Mata Piper berbinar. Sudah beberapa hari papa dan mama tak pulang, jadi Piper merasa khawatir. Saat Piper bertanya pada kakak, kakak hanya diam dan tak menjawa; pun hasilnya sama saat Piper bertanya pada kakek. Tak ada yang memberi jawaban pada Piper tentang alasan papa dan mama tak pulang.

Piper melihat kakaknya sebentar, merasa curiga. Sang kakak masih memakai baju yang ia kenakan saat berangkat berkemah beberapa hari lalu, hanya lebih kotor dengan sesuatu yang berwarna merah kehitaman. Air muka kakaknya pucat, bahkan bibir kakak yang biasanya berwarna merah muda kini berwarna biru.

"Apa Kakak sedang sakit?" tanya Piper dengan khawatir. Piper curiga kakak sedang sakit, namun terpaksa menemani Piper yang kabur dari rumah untuk mencari perhatian papa danmama. Piper sudah kabur sejak jam tujuh tadi pagi, dan saat ini jam di tangan Piper sudah menunjukkan angka sepuluh.

"Ayo pulang saja, Kakak sakit..." mata Piper memerah, bulir air mata sudah jatuh menuruni pipinya. Piper tak ingin kakak sakit. Biar saja Piper sedih karena papa dan mama belum pulang, tapi pasti kakak lebih sedih. Dengan pemahaman yang baru saja Piper dapatkan, si gadis akhirnya berdiri dari tempatnya bersembunyi.

Saat itu pula, dari arah gerbang, kakek berlari dengan tergesa dengan peluh membasahi dahinya. Kakek seperti orang yang sudah berlari lama di bawah terik matahari. Saat kakek melihat Piper yang baru keluar dari balik semak, ia mengembuskan napas lega. Tak lama, pria dengan rambut putih tersebut mendatangi Piper dan berjongkok di depan si bocah cilik.

"Kemana Piper pergi dari pagi?" suara kakek bergetar.

Piper menggerakkan kakinya dengan khawatir, dan tangannya memeluk boneka tupai dengan erat. "Piper kabur dari rumah dengan kakak," ucap Piper akhirnya, "tapi kakak tidak salah. Piper yang memaksa kakak, bahkan sekarang kakak sakit. Kakek jangan memarahi kakak."

Sang kakek tertegun, matanya berkaca-kaca. Saat cucu kecilnya membela sang kakak seperti itu, si kakek hanya bisa menahan tangis, khawatir membuat cucunya ikut sedih. "Ayo pulang.."

Piper mengangguk. Saat ia digendong oleh kakek, si bocah perempuan tak lupa menoleh ke arah kakak. Bocah laki-laki berusia sebelas itu berdiri di tempat di sebelah pohon, menatap Piper dengan sayang. Piper memiliki firasat buruk saat itu, tapi senyum dan ucapan kakak membuat Piper terdiam. Si gadis akhirnya hanya bisa memeluk dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher kakek. Ia terisak pelan.

Piper sebenarnya merasa bersalah karena kabur, tapi ia rindu papa dan mama. Beberapa hari lalu, Piper berjanji pada papa dan mama untuk tetap berada di rumah saat mereka mengantar kakak pergi ke acara kemah sekolah dasar. Si gadis kecil menganggukkan kepalanya beberapa kali, tanda memahami dan mengerti perkataan papa. Saat papa mengulurkan jari kelingkingnya, Piper menyambut dengan senang hati. Piper adalah anak baik, makanya ia akan menuruti papa. Dengan perasaan sedih karena tak diajak mengantar kakak, Piper melihat mobil yang dikendarai keluarganya menjauh dari balik jendela besar kamarnya.

Piper merasa gelisah sejak saat itu. Alih-alih papa, mama, dan kakaknya, kakeklah yang datang di sore hari. Ekspresi pria paruh baya tersebut terlihat muram, dan Piper tak tahu alasannya. Tanpa berkata apa-apa, kakek langsung memeluk Piper begitu memasuki rumah, tak melepaskan si bocah cilik selama beberapa menit. Piper kebingungan. Kakek terlihat seperti menahan tangis, tapi saat Piper bertanya, kakek malah menghibur Piper. Tentu saja, Piper sebagai anak baik, balik menghibur kakek. Ia mengelus kepala kakek seperti papa mengelus kepalanya saat Piper sedang sedih.

Hal yang selanjutnya terjadi tak dimengerti Piper. Orang-orang berpakaian hitam mendatangi rumahnya, kemudian satu persatu mulai memeluk Piper dengan sayang. Pandangan mereka pada Piper terasa aneh, tapi Piper bisa mengetahui bahwa mereka sedang tersenyum sedih. Tak ada satu orang pun yang menjelaskan pada Piper, dan si bocah cilik tak mengerti. Ia bertanya-tanya ketika bajunya diganti dengan gaun hitam yang tak ia sukai warnanya. Sepanjang acara yang tak Piper ketahui tujuannya, ia digendong oleh kakek. Pada satu waktu, tangan kakek yang menggendong Piper bergetar hebat. Dari sudut matanya, Piper bisa melihat dua buah peti besar dan sebuah peti yang berukuran lebih kecil datang. Papa dan mama tidak pulang, namun Piper merasa lega karena kakak terlihat berdiri di sebelah peti yang lebih kecil. Kakak tidak melupakan Piper.

Sejak saat itu, Piper selalu bermain dengan kakak. Acara kabur dari rumah hari ini pun setelah Piper berdiskusi dengan kakak. Piper yang awalnya tak mengerti, kini akhirnya tahu setelah mendengar ucapan terakhir kakak sebelum Piper pergi dari taman. 'Adik kecil, jangan sedih. Kami mengawasimu dari tempat lain. Sekarang, pulanglah dengan kakek. Jadi anak baik seperti yang diinginkan Papa dan Mama. Kami menyayangimu.'

Mungkin kakak datang menemani Piper untukterakhir kalinya karena khawatir Piper kesepian. Dan Piper tak akan mengecewakankakak, ia akan jadi anak yang baik.

Sylvatica: LamtumirëTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang