Seorang remaja duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi sepasang foto orang tuanya yang berdiri di atas meja kecil. Foto itu satu-satunya benda yang masih ia simpan sejak pemakaman setahun lalu. Senyuman mereka di sana terlihat bahagia, seolah-olah tidak ada kesedihan atau perpisahan yang akan datang. Namun kenyataan berbeda dengan kepergian kedua orang tuanya meninggalkan lubang besar di hidupnya, dan sayangnya, lubang itu diisi oleh kebencian kedua kakaknya. Ia lah Xiao shunxi.Setahun sudah berlalu sejak kecelakaan itu. Mobil yang membawa ayah dan ibu mereka meluncur keluar jalur di jalan pegunungan. Setelah itu, hidup Shunxi tidak lagi sama. Bukan hanya kehilangan orang tuanya, tapi ia juga kehilangan satu-satunya alasan yang pernah membuatnya bertahan di rumah ini sebuah harapan kecil bahwa ia masih memiliki keluarga. Sekarang, yang tersisa hanyalah Xiao Shunyao, kakak sulung yang dingin dan otoriter, serta Xiao Chengyi, kakak kedua yang sinis dan penuh kebencian.
Kehidupan Baru yang Mencekik
Pagi itu, suara langkah kaki terdengar di koridor luar kamar Shunxi. Tak lama kemudian, suara keras pintu kamar terbuka tanpa mengetuk. Xiao Chengyi berdiri di sana dengan wajah masam, lengan bersedekap."Bangun, pemalas. Kau pikir bisa tidur sepanjang hari?" ujarnya tajam.
Shunxi menghela napas, sudah terbiasa dengan nada ketus itu. Sejak orang tua mereka tiada, Chengyi dan Shunyao seolah menemukan hiburan baru:
'menjadikan Shunxi sebagai sasaran empuk untuk semua kekesalan mereka.'
“Aku sudah bangun,” jawab Shunxi pelan, matanya masih memandangi foto di meja.
“Kalau begitu cepat turun. Kak Shunyao sudah bilang mau bicara sesuatu.” Chengyi melempar tatapan dingin sebelum membanting pintu.
Tak...
Setelah hening beberapa saat, Shunxi menghela napas panjang. Ia tahu bahwa percakapan dengan Shunyao tidak pernah berarti sesuatu yang baik. Shunyao bukan tipe orang yang menyembunyikan rasa tidak sukanya terutama pada Shunxi, yang menurutnya tidak lebih dari ‘beban yang tersisa’.
Pertemuan yang Selalu Berakhir Buruk
Di meja makan, Xiao Shunyao sudah duduk dengan angkuhnya, tangannya melipat di atas meja. Pria berusia dua puluhan itu selalu membawa aura dingin dan tegas, seolah-olah semua orang di sekitarnya harus tunduk padanya. Di sebelahnya, Chengyi duduk dengan seringai malas di wajahnya, siap menonton ‘drama keluarga’ seperti biasanya.“Duduk,” kata Shunyao tanpa menatap Shunxi.
Shunxi menurut, duduk di kursi paling ujung tempat yang selalu membuatnya merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.
Shunyao berbicara tanpa basa-basi, "tolong belikan kami sarapan"
Shunxi menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang, shunxi takut jika sang kakak pertama berbicara dengannya, Xiao Shunyao.
“Lalu... untukku? Dan juga kenapa harus aku? Kan kak Shunyao bisa memesannya lewat online dan apa gunanya pembantu di rumah ini” tanyanya ragu, meski ia sudah tahu jawabannya.
Chengyi mendengus dan menepuk meja, seolah tak percaya adiknya berani mengajukan pertanyaan itu. “Untukmu? Kau punya uang kan. Beli saja sendiri. Heh... Kami mempunyai mu untuk apa kami memesannya, kami bisa memanfaatkanmu”
Shunyao menambahkan dengan nada tegas, dan ketus “Aku dan Chengyi sudah lapar cepat pergi sana! Kami juga mau bekerja. Lagipula, kau masih bisa tinggal di sini itu sudah cukup, masih aja mau melawan. Dan ya semua pembantu yg ada dirumah ini aku menyuruh mereka libur untuk hari ini, jadi saat kami bekerja kau yg membereskan rumah sekaligus memasak makan malam”
Shunxi merasakan sesuatu menekan dadanya. Sekali lagi, ia diingatkan bahwa ia hanya dianggap beban, seseorang yang harus ditoleransi, bukan dihargai.
Setelah percakapan itu selesai, Shunyao dan Chengyi meninggalkan ruang makan tanpa sepatah kata lagi. Shunxi duduk sendirian, menatap uang yang diberikan oleh Shunyao di depannya. Tak ada yang peduli bagaimana perasaannya atau apa yang ia butuhkan. Mereka hanya melihatnya sebagai masalah yang harus disingkirkan atau, paling tidak, dibiarkan terlantar.
Sunyi terasa begitu berat. Tak ada seorang pun di rumah itu yang benar-benar peduli. Tak ada pelukan, tak ada kata-kata penghiburan. Hanya rasa dingin dan kosong yang terus menghantuinya sejak kematian orang tuanya.
Terkadang, Shunxi bertanya-tanya, apa yang salah dengannya? Apakah karena ia lebih muda? Apakah karena ia berbeda dari kedua kakaknya? Atau mungkin karena sejak kecil, ia tidak pernah benar-benar memenuhi harapan mereka?
Namun, di antara semua keraguan itu, ada satu hal yang selalu membuatnya bertahan—sebuah janji diam-diam kepada dirinya sendiri: Ia tidak akan selamanya menjadi korban. Suatu hari, ia akan menemukan jalan keluar dari semua ini.
Shunxi mengambil uang tersebut dan berjalan ke luar untuk membeli sarapan kedua kakaknya, Untungnya tempat nya tidak jauh dia hanya berjalan sekitar 9 meter dari rumahnya.
Dan setelah membeli sarapan dia lekas pulang, supaya dia tidak kena marah lagi. Tiada hari tanpa makian, cacian, dll.
Setelah sampai di rumah dia segera membersihkan rumah, mulai dari menyapu lantai, mengepel, dia harus membersihkan rumah yg berkisaran 3 lantai itu.
Dan karena hari ini, hari Minggu. Sekolah libur jadi dia bisa mengerjakannya semuanya sendiri walau dia merasa Lelah.
________Malam itu, saat Shunxi berbaring di tempat tidurnya, pikirannya terus berputar. Setahun tanpa orang tua, dan setahun penuh kebencian dari kedua kakaknya. Tapi ia tahu, ia tidak bisa terus seperti ini. Tidak bisa selamanya menelan semua luka tanpa perlawanan.
“Suatu hari nanti...” ia berbisik pada dirinya sendiri di kegelapan. “Aku akan keluar dari sini. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa hidup tanpamu, tanpa kalian semua.”
Ia tidak tahu kapan hari itu akan tiba. Tapi ia yakin, ketika saat itu datang, ia akan berdiri tegak dengan semua luka tak terucapkan yang akhirnya berubah menjadi kekuatannya.
Untuk saat ini, ia hanya perlu bertahan. Karena bertahan adalah satu-satunya pilihan yang ia punya—setidaknya, sampai ia menemukan caranya sendiri untuk bebas.
------
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken wounds
Fanfiction"apa hidup sekeras ini ya, apa kalian merasa begitu" "Kata orang hidup itu enak, tapi yg kurasa malah sebaliknya" "Aku hanya berharap bisa merasakan hidup seperti kalian, yg aman, damai dan harmonis"