Di Bawah Bayang Penyesalan

302 42 13
                                    

Waktu menunjukan pukul 20.30 malam. Saat jaemin sampai di rumahnya.

Jaemin kembali kerumah dengan keadaan yang berantakan. Bisa di lihat ada bekas lelehan air mata di pipinya.

Dengan sisa-sisa air mata yang belum sempat terhapus sepenuhnya. Napasnya tersengal, dadanya terasa sesak.

Jaemin langsung menuju ruang kerja Mark tanpa mempedulikan sepatu yang masih melekat atau mantel yang belum dilepas. Pikiranya hanya tertuju pada satu hal-kejadian tadi.

Mark, sang suami sedang duduk di depan komputer, sibuk dengan pekerjaannya, namun begitu dia mendengar pintu ruangannya terbuka, dia mendongak.

Wajahnya berubah datar dan terlihat bingung saat melihat Jaemin datang dengan keadaan yang berantakan. "Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya cuek lalu kembali menatap monitor.

Jaemin terhenti di ambang pintu, tubuhmu gemetar. "Aku... aku lihat dia," suaranya nyaris patah. "Wanita itu.... Haechan...Aku bertemu denganya tadi."

Mark bangkit dari kursinya dengan cepat, mendekati jaemin yang masih gemetar.

"Di mana??" tanyanya, matanya mencari penjelasan dari wajahmu yang penuh kepanikan.

"Aku... Aku coba mengejarnya, tapi dia lari... Dia hilang begitu saja di keramaian. Aku tidak bisa mengejarnya..." Air matanya mulai mengalir lagi, deras, seolah menyambut luapan rasa takut yang selama ini kamu tahan.

"AKU TANYA DIMANA KAMU BERTEMU DENGANNYA! " katanya marah saat dirasa jawaban jaemin tidak sesuai dengan kemauannya.

Jaemin tersentak kaget. "Ddd-di pesta pernikahan teman ku. Di jalan Hijau Neo. Kompleks Harapan" Jelasnya.

Mark menarik Jaemin lebih dekat, mencengkram kedua bahu itu erat-erat. suaranya pelan namun tegas, penuh keyakinan. " Kenapa? Kenapa gak kamu kejar dia! Kenapa kamu begitu bodoh!"sentaknya.

"Aku gak tahu! Hiks....aku...aku sudah berusaha..." Tidak kuat, ia menangis dan luruh kebawah. Menyentuh lantai yang dingin dengan air mata yang tak berhenti.

"Aa-aku mohon mas... Tolong, tolong lacak keberadaan Haechan. Tolong bawa anak aku kembali hiks.... Setelah itu aku, a-aku berjanji akan menceraikan mu hiks.. Aku hanya ingin Renjun... Hikss kumohon" Katanya sambil bersimpuh dan memegang kaki Mark.

Tangannya yang gemetar masih memegang pergelangan kakinya, menggenggamnya seakan itu satu-satunya harapan yang tersisa. "Tolong... jangan biarkan dia pergi lagi! Jangan biarkan dia membawa anak ku selamanya..." suaramu pecah di antara isakan yang tak bisa di tahan.

Mark tetap diam. Tidak ada respon, tidak ada gerakan untuk menghibur atau membalas. Tatapannya kosong, seperti tak ada lagi yang bisa ia lakukan.

Mark hanya menarik napas panjang, melepas lengan Jaemin dari kakinya dengan gerakan yang pelan namun dingin.

"Aku akan berusaha" akhirnya dia berbicara, suaranya datar, tanpa emosi.

Setelahnya ia pergi meninggalkan Jaemin yang masih seorang diri di ruang kerjanya.

🌸🌸🌸🌸

Mark duduk sendirian di sebuah kedai kecil pinggir jalan, tepat di meja paling ujung. Di luar, angin malam berhembus dingin, membawa serta suara bising kendaraan yang lewat dan aroma makanan dari kios-kios lain di sepanjang jalan.

Lampu neon berwarna merah dari papan nama kedai "Kimchi Jjigae" berkedip-kedip, memberi suasana redup yang membuat tempat ini terasa semakin sepi meski di sekitar masih ramai. Asap tipis dari mangkuk berisi sup kimchi di depannya mengepul perlahan, tapi Mark tidak menyentuhnya.

Kedai ini sederhana-hanya ada beberapa meja kayu tua, dindingnya ditempeli poster-poster usang, dan di belakang meja, seorang bibi sibuk memasak sambil sesekali melayani pelanggan lain.

Di tempat ini, seharusnya rasa hangat dari makanan bisa sedikit meredakan dinginnya malam, tapi kali ini, tidak ada yang bisa menghangatkan hati Mark yang kini terasa campur aduk.

""Wanita itu.... Haechan....Aku bertemu denganya tadi." Kalimat itu terus terngiang-ngiang dan berputar dikepalanya seperti gelombang pasang.

Di kedai kecil ini, di tempat yang biasanya Mark datangi untuk meredakan pikiran, sekarang malah terasa semakin sempit.

Mark menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi ada sesuatu di dada yang menolak tenang. Perasaan itu campur aduk: rasa kehilangan, rasa Sakit, rasa bersalah, dan ironisnya, sedikit rasa lega yang tak bisa Mark pahami.

Namun, jauh di lubuk hatinys, ada keyakinan kuat yang menolak untuk memudar bersama waktu. "Aku akan bertemu dengannya. Cepat atau lambat, aku akan melihat dia lagi."

Mark tahu, selama bertahun-tahun ini, ada banyak hal yang mungkin sudah berubah. Waktu tidak pernah menunggu siapa pun.

Anaknya mungkin sudah menjalani hidup tanpa pernah memikirkannya lagi, tanpa pernah ingin bertemu atau mengingat masa kecilnya. Mark tak tahu seperti apa dia sekarang-apakah dia bahagia, apakah dia memendam rasa kecewa, atau mungkin dia sama sekali tak peduli.

Tapi Mark tetap yakin, seolah ada sesuatu yang membimbingnya, sesuatu yang terus mengingatkan bahwa hubungan darah tidak bisa diputuskan hanya karena waktu dan jarak.

"Mungkin dia marah padaku. Mungkin dia akan membenciku ketika kita bertemu," Mark merenung dalam hati, mencoba menerima segala kemungkinan.

"Tapi aku akan terima apa pun yang terjadi. Aku hanya ingin dia tahu bahwa aku tidak pernah benar-benar pergi. Aku tidak pernah menyerah."

Ada rasa takut yang merayap di sudut pikirannya-bagaimana jika dia tidak mau bertemu? Bagaimana jika dia menolak, menganggapnya sudah mati dalam hidupnya? Namun, Mark menepis keraguan itu.

"Aku harus coba. Ini bukan tentang aku lagi. Tapi ini tentang dia putri ku Renjun, tentang kesempatan untuk memperbaiki apa yang rusak." Ucapnya meyakinkan dalam hati.

"Aku akan temukan dia. Dan jika dia tidak mau menerimaku, setidaknya aku bisa Mengatakan bahwa aku mencintainya."

Mark menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Di dalam hati, ada keyakinan yang tak tergoyahkan, bahwa suatu hari nanti, entah di mana, ia akan melihat wajah putrinya lagi. Dan saat itu tiba, meski dunia mungkin telah berubah, cintanya tak pernah berubah.

"Aku akan bertemu dengannya," bisik Mark pada diri sendiri, "dan aku siap menghadapi apa pun yang menungguku di sana."

Mark mengambil sendok, menyendok kimchi jjigae panas itu ke mulutnya. Rasanya pedas dan asam, tapi tak mengusir dingin yang menyelinap di hatinya.

Suara jalanan, angin malam, dan aroma makanan seolah memudar. Di kedai pinggir jalan yang penuh kesederhanaan ini, Mark duduk sendirian sambil menikmati kimchi jjigae panas, di tengah-tengah kekacauan yang kini menjadi hidupnya.

.
.
.
.
.
End

🌸🌸🌸🌸

Haiii Minna-san apa kabar? Maaf ya updatenya kemaleman hehe. Aku tu lagi males banget megang hp minggu ini.
Entah kenapa tapi aku lagi suka ngerajut hehe.

Ada yang suka ngerajut? Anyway kali uni singkat aja yaa. Semoga kalian suka.

Dan terkahir aku mau bilang, besok hari senin :)

Udah yaa itu aja.... Happy Reading kalo ada typo maklumin yaa aku males edit hehe ❤❤







Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang