Li Wei duduk di sofa kecil sambil menikmati lolipop rasa stroberi kesukaannya, sementara ibunya, Mei-ling, sibuk menata barang-barang di apartemen baru mereka di lantai lima Xining Public Housing, sebuah perumahan rakyat tua di Distrik Wanhua, Taipei. Gedung ini, yang sudah berusia puluhan tahun, penuh dengan gosip menyeramkan. Namun, Mei-ling tidak punya pilihan lain. Masalah keuangan memaksa mereka pindah ke sini, meskipun ia berusaha melihat sisi positif dari segala keterbatasan ini. "Li Wei, kita memang pindah ke tempat yang lebih sederhana, tapi coba lihat, ada pemandangan matahari terbenam yang indah di sore hari," kata Mei-ling sambil tersenyum, mencoba menghibur diri dan anaknya. Li Wei mengangguk, meskipun di hatinya ada rasa ragu. "Teman-teman bilang gedung ini berhantu, Ma. Kamu yakin kita aman di sini?" Mei-ling mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Jangan dengarkan gosip itu. Semua akan baik-baik saja. Kita di sini untuk memulai hidup baru."
Tiga hari pertama di apartemen baru itu berjalan dengan tenang. Tidak ada kejadian aneh yang mengganggu mereka.
Namun, memasuki hari keempat, segalanya mulai berubah.
Mei-ling dan Li Wei baru saja pulang dari belanja di pasar ketika mereka melihat sesuatu yang janggal di lorong lantai lima. Di depan salah satu pintu kamar yang mereka lewati, Li Wei tiba-tiba berhenti, menatap ke depan dengan kening berkerut. "Ma, siapa kakek itu?" tanyanya, menunjuk ke arah pintu yang terbuka sedikit. Seorang kakek tua berdiri di sana, tersenyum dengan wajah yang tidak nyaman dilihat, matanya kosong. Mei-ling menoleh, tapi tidak melihat siapa pun. "Apa maksudmu, Li Wei? Tidak ada siapa-siapa di sana." Li Wei merasa jantungnya berdegup kencang. "Aku lihat dia tadi, Ma. Kakek itu tersenyum aneh ke arah kita." Mei-ling mengernyit. Kamar itu seharusnya kosong, tidak ada yang tinggal di sana. Namun, Li Wei bersikeras melihat sosok kakek yang tersenyum aneh. Mei-ling hanya bisa menenangkan anaknya dan memaksa dirinya untuk tidak memikirkan lebih jauh. Tetapi, di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang salah.
Keesokan harinya, Mei-ling dan Li Wei menunggu lift di lobi gedung untuk naik ke apartemen mereka.
Saat pintu lift terbuka, tidak ada siapa pun di dalamnya, tetapi pintu lift terus terbuka dan tertutup dengan sendirinya. Udara dingin tiba-tiba mengalir keluar dari dalam lift, disertai aroma bunga melati yang tajam. "Ma, kenapa lift-nya kayak gini?" tanya Li Wei sambil memegang tangan ibunya erat-erat. "Ini lift tua, sayang. Mungkin cuma rusak," jawab Mei-ling, mencoba tetap tenang meskipun perasaannya mulai tidak nyaman. Mereka masuk ke dalam lift, namun pintu lift terus membuka dan menutup seolah-olah ada yang keluar-masuk. Aroma bunga semakin kuat, dan Li Wei merasa kepalanya mulai pusing. Ketika mereka akhirnya tiba di lantai lima, pintu lift terbuka perlahan, seperti ada yang menahan dari dalam. Tidak ada siapa-siapa di luar, tetapi angin dingin menyapu lorong, seolah-olah sesuatu baru saja lewat.
Malam hari di hari kedelapan, saat mereka berdua sudah berada di tempat tidur, terdengar suara keras seperti benda berat jatuh dari langit-langit. Suaranya bergema hingga ke seluruh apartemen, membuat Li Wei dan Mei-ling terbangun dengan napas tertahan. "Ma, ada suara barang jatuh!" seru Li Wei dengan mata terbelalak ketakutan. Mei-ling mendengarkan dengan seksama, tapi tidak ada tanda-tanda apapun di sekitar mereka. Tidak ada kerusakan di langit-langit, tidak ada jejak benda jatuh. Namun, suara itu terasa begitu nyata, membuat mereka merinding.
Pada hari kesepuluh, teror paling mengerikan datang. Malam itu, Li Wei terbangun dari tidurnya karena mendengar suara tangisan dari kamar sebelah. Suara itu pelan namun penuh kesedihan, dan semakin lama berubah menjadi jeritan yang memilukan. "Ma... Ma, ada yang menangis," bisik Li Wei dengan suara bergetar. Mei-ling bangun dan melihat ke arah cermin di kamar mereka. Wajahnya memucat saat ia melihat sosok menyeramkan di cermin—seorang wanita dengan wajah remuk, darah mengalir dari luka-lukanya, rambutnya kusut seperti tali kusut. Matanya menatap tajam ke arah mereka, penuh dengan kebencian dan putus asa. "Aku... ditipu... semua uangku hilang... harta anakku...," gumam arwah itu dengan suara parau. Mei-ling menahan napas, tubuhnya membeku oleh ketakutan. Wanita itu terus mendekat, merangkak perlahan di lantai, tangannya gemetar. Mei-ling berusaha bergerak, tetapi kakinya terasa seakan ditahan oleh sesuatu. Suara tertawa yang miris bergema di seluruh ruangan, membuat bulu kuduk mereka merinding. Li Wei tiba-tiba berteriak, "Pergi! Pergi dari sini!" Arwah wanita itu terhenti, menatap Li Wei dengan tatapan penuh dendam sebelum perlahan menghilang dalam bayang-bayang. Meskipun sosok itu sudah tidak terlihat lagi, kehadirannya masih terasa begitu kuat. Mereka tahu, teror ini belum berakhir.
Mei-ling, yang sudah merasa tak sanggup lagi, memutuskan mencari bantuan dari Master Wu, seorang pendeta Tao yang terkenal bisa menangkal energi jahat. Saat mendengar cerita Mei-ling, Master Wu hanya mengangguk dengan serius. "Arwah wanita itu tidak akan pergi begitu saja. Dia terperangkap di sini karena kematiannya yang tidak tenang. Energinya penuh dengan kemarahan dan dendam," kata Master Wu dengan nada tenang.
Malam itu, Master Wu datang ke apartemen mereka membawa perlengkapan ritual: kertas jimat, dupa, lonceng kecil dari perunggu, dan sebilah pedang kayu sakral. Dengan hati-hati, ia memasang jimat di setiap sudut ruangan sambil membaca mantra kuno yang dalam. Ritual dimulai, dan tiba-tiba suhu ruangan menjadi dingin luar biasa. Angin kencang berputar di sekitar mereka, membuat tirai dan benda-benda kecil bergetar. Dari sudut ruangan, sosok wanita berwajah remuk muncul kembali, kali ini dengan amarah yang lebih besar. Wajahnya yang rusak semakin jelas terlihat, darah segar mengalir dari luka-lukanya. "Aku tidak akan pergi... Semua hilang... Aku ditipu...," jeritnya dengan suara serak. Master Wu berdiri tegak di tengah ruangan, memegang pedang kayu sakral dengan kuat. "Pergi dari sini! Kembalilah ke alam baka!" Wanita itu berteriak dan mencoba menyerang Master Wu, tapi jimat-jimat yang ditempelkan di seluruh ruangan membentuk penghalang yang kuat. Master Wu mengibaskan pedangnya, dan cahaya emas keluar dari ujung pedang, mengenai arwah itu. Wanita itu mengerang kesakitan, tetapi tetap bertahan. Li Wei, yang ketakutan, mulai gemetar. Namun, Master Wu menyadari bahwa Li Wei memiliki energi murni yang bisa membantu mengusir arwah itu. "Li Wei, fokuskan energimu! Ucapkan mantranya bersama-sama dengan saya!" perintah Master Wu. Dengan gemetar, Li Wei mengikuti arahan Master Wu. Perlahan-lahan, cahaya terang mulai memancar dari tubuhnya, menyatu dengan kekuatan mantra yang diucapkan Master Wu. Cahaya itu semakin kuat, membuat arwah wanita tersebut semakin lemah. Akhirnya, dalam teriakan penuh keputusasaan, sosok wanita itu memudar, terhisap ke dalam bayangan yang dalam dan hilang dari dunia ini. Ruangan menjadi tenang kembali, hanya suara napas mereka yang terdengar. "Sudah selesai," kata Master Wu, menghapus keringat di dahinya. "Tapi gedung ini menyimpan terlalu banyak kenangan buruk. Kalian harus berhati-hati."
Beberapa minggu kemudian, semakin banyak penghuni yang melaporkan gangguan gaib serupa kepada pemerintah daerah. Gedung tua itu sudah tidak layak huni, baik secara fisik maupun spiritual. Setelah mendapat banyak protes dari penghuni, pemerintah akhirnya memutuskan untuk merobohkan gedung tersebut dan menggantinya dengan perumahan baru yang lebih layak. Mei-ling dan Li Wei dipindahkan ke apartemen baru di lantai tujuh gedung yang baru dibangun sebagai kompensasi. Meski trauma masih menghantui mereka, setidaknya mereka bisa memulai hidup baru dengan perasaan aman. Mereka menatap ke luar jendela apartemen baru, menikmati pemandangan yang lebih cerah. Mei-ling tersenyum dan mengusap kepala Li Wei. "Kita bisa memulai lagi, sayang. Tempat yang baru, hidup yang baru." Li Wei mengangguk, kali ini tanpa keraguan.
YOU ARE READING
Koleksi Cerpen Rumah Horor Indonesia (RHI) 2
HorrorKumpulan cerita pendek berbau horor atau mistis. Mostly fiction ya gaes. Bagian 2