Unbeatable

7 2 0
                                    

Di kegelapan malam, embun beku menempel di jalan, dan cahaya bulan merayap di balik awan kelabu saat ia duduk di halte bus.
Matanya tertuju pada sekelompok anak muda sekolah menengah atas yang melewati, gelak tawa mereka membahana di udara dingin.

"Jeongin! Jeongin! Sini, kita mau foto!" teriak salah satu dari mereka, wajahnya ceria.

"Cepat, Senyum!" sahut yang lain, mengacungkan ponselnya.

Pikirannya melayang ke masa lalu, saat ia masih kecil, penuh semangat dan impian. Namun, seiring bertambahnya usia, ia merasakan berat dunia menekannya.
Sejak kecil, dirinya selalu diharapkan untuk menuruti keinginan orang lain, meninggalkan impian dan aspirasinya sendiri.

Tumbuh dalam keluarga yang mengukur kesuksesan berdasarkan standar masyarakat, dia patuh mengikuti jalan yang ditetapkan untuknya. Berprestasi dalam studinya, mendapatkan pekerjaan bergengsi, selalu menjadi anak yang berbakti, saudara yang bertanggung jawab, dan menaiki tangga karier.
Dirinya seringkali terperangkap dalam ekspektasi.

"Chani, kamu harus bisa lebih baik" begitu selalu mereka berkata. Kata-kata itu seperti sayatan di hati, menyakitkan namun selalu terulang.
Ia merasa lelah akan semua yang terjadi, jauh di dalam dirinya, terdapat satu keinginan yang selalu ia simpan rapat-rapat: menjadi seorang produser musik. Dia ingin mengolah nada dan melodi, mengekspresikan emosi yang terpendam melalui setiap ketukan dan lirik. Musik adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa hidup, membuatnya seolah bisa terbang bebas, Tapi mimpi itu kini terasa seperti angin yang berlalu, dihempas oleh realita yang kejam.

"Hey, kamu baik-baik saja?" Suara dari sebelahnya menyentaknya kembali ke dunia nyata. Seorang pria paruh baya duduk di sampingnya, mengamati dengan penuh perhatian.

"Ah, iya. Hanya── kenangan" Jawabnya, menatap kosong ke arah trotoar yang ramai.
Pria itu mengangguk, matanya penuh pengertian.

"Kadang, kita butuh mengingat. Tapi, jangan biarkan masa lalu menghentikan langkahmu."

Ia tersenyum pahit. "Mudah untuk dikatakan."

Suara deru mesin bus tiba-tiba memecah kesunyian, diikuti dengan suara berderit saat pintu terbuka. Tanpa sadar, ia berdiri dan melangkah masuk, seolah ada dorongan tak terlihat yang membawanya ke depan.

"Hey, tunggu!" Pria itu berdiri, mengulurkan tangannya. "Kamu tidak perlu pergi."

Dia berhenti, berbalik. Dahinya mengernyit tak setuju. "Saya harus. Ini saatnya."

"Jangan lupakan dirimu di sana," kata pria itu, suaranya penuh harap.

Dengan satu langkah ke dalam bus, dia menatapnya terakhir kali. "Uhm, Terima kasih?" bisiknya, lalu pintu menutup dengan suara "klik" yang tegas, mengukir jarak di antara mereka. Saat bus melaju, hatinya bergetar-antara kenangan dan harapan baru.



𓍯𓂃𓏧


Bangchan duduk di bangku bus, memperhatikan penumpang lain yang tampak seperti bayangan. Wajah mereka samar, seolah-olah dikelilingi kabut tebal, tak ada wajah yang jelas. Suasana di dalam bus terasa aneh, seperti waktu terjepit dalam hening.

"Apakah kamu ingin pergi?" tanya seseorang di sampingnya, suaranya lembut namun menggetarkan relung hatinya.

"Uh..." Bangchan terdiam, kata-kata terjebak di tenggorokannya. Pesona pemuda di sampingnya memikatnya.
Dia ingin menjawab, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokannya. Tanpa mampu menahan diri, ia duduk di samping pemuda itu.

Bus mulai bergerak, menembus gelap malam. Pemuda itu tersenyum.

"Aku Kim Seungmin, senang bertemu."

"Bangchan." Jawabnya pelan, masih terpesona.

highway to heavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang