Prolog

0 0 0
                                    

Sepasang iris menatap tajam ke arah seorang perempuan yang terduduk lemas di lantai.

Sepatu mengkilat itu enggan untuk mendekat. Ia hanya berhenti pada posisinya sembari mengeraskan rahangnya.

"Bagaimana hasilnya?" tanyanya dengan mata yang kini mulai memicing.

Perempuan yang dimaksud sebagai objek pertanyaannya tersebut mendongak dengan penuh keputusasaan.

Tangan kecil gemetar itu terangkat. Menunjukkan sesuatu yang berada di dalam genggaman jemari lentiknya.

Sebuah alat tes kehamilan.

Dengan penuh ambisius laki-laki itu menyambar uluran benda dari tangan sang pemilik.

Kedua matanya seketika mengernyit setelah mengetahui hasil yang ditunjukkan oleh alat tersebut.

"Masih belum lagi??" Tatapan penuh kekesalan terarah pada perempuan yang kini mulai terisak.

Laki-laki itu langsung membanting benda kecil yang berada di tangannya.

Ctakkkk!!!

Ia mengumpat kasar, mengacak rambutnya dengan sangat brutal.

Semakin deras tetesan air mata milik sang perempuan melihat laki-laki yang dihadapannya itu menampilkan gelagat demikian. Hingga bibir mungilnya hanya bisa melirih, "Maaf... "

Helaan napas berat terdengar. Laki-laki itu mencoba untuk tenang sebisa mungkin.

Ia mencoba memikirkan berbagai cara, namun tetap saja pada akhirnya perasaannya terus dilanda gundah gulana.

Tubuh tegap itu lantas berjongkok. Ia menyamai tubuh perempuan yang masih berderai air mata itu.

Kedua tangan kekar penuh urat itu tiba-tiba mencengkeram kedua pundak milik si perempuan.

"Kita tidak sudah punya waktu, Ralia." ucapnya dengan tatapan sangat dalam.

Perempuan bernama Ralia itu pun perlahan memfokuskan pandangannya. Membalas tatapan itu.  Menatap lekat netra hitam legam yang tampak sangat serius tersebut.

Sekali lagi yang hanya bisa wanita itu ucapkan hanya kata 'Maaf'.

"M—maaf Chandra..."

"JANGAN BILANG MAAF!!!"

PLAKKKKK!

Ralia jatuh tersungkur. Pipinya kini terasa sangat panas. Luka di hatinya semakin bertambah. Sudah tidak mampu lagi air mata keluar dari matanya karena sanking sakitnya.

Ralia memegangi pipinya, merasakan hawa yang merayapi bagian tubuhnya itu sangatlah perih. Panas dan kini berganti perih.

Untuk yang kesekian kalinya, suaminya itu menamparnya.

Chandra... Chandra nampak tidak berdosa sedikitpun.

Laki-laki itu hanya berdiri di tempatnya. Menatap Ralia tanpa perasaan menyesal sama sekali. Ia tidak menyadari jika ia telah menggoreskan banyak lara di hati Ralia.

Laki-laki itu hanya memikirkan ambisinya sendiri.

"Mau sampai kapan Ral? Apa kata orang tua ku nanti? Memang benar kamu itu sebenarnya mandul kan Ral. Kamu gak akan pernah bisa ngasih aku anak. Kamu udah hancurin semua mimpi-mimpi aku Ral. Aku udah gak akan bisa dapet warisan itu. Udah enggak! Udah tamat semuanya Ral!! Itu semua gara-gara kamu!!!!"

Chandra membentak Ralia dengan ucapan yang begitu menyayat hati. Lagi-lagi Ralia hanya bisa mengucapkan kata maaf.

Dan di saat Chandra hendak pergi, Ralia mencoba menahannya.

Dengan terseok-seok dan merangkak dia memohon kepada Chandra agar menghentikan langkahnya.

"Apa lagi?" ucap Chandra ketika Ralia berhasil meraih kedua kaki Chandra dan memeluk kaki panjang itu dari belakang.

Hening...

Tidak ada suara yang keluar untuk menyahut.

Ralia mengunci bibirnya rapat-rapat. Ralia hanya diam dan mengeratkan  pelukan di kaki Chandra.

Keduanya berdiam diri lumayan lama. Berada di dalam posisinya masing-masing. Tanpa sepatah kata apapun. Hanya atmosfer di sekeliling lah yang menjelaskan bagaimana perasaan mereka yang berkecamuk.

Bermenit-menit berlalu, hingga tibalah suara helaan napas panjang yang keluar dari mulut Chandra.

Ralia mendengarnya walaupun hanya lirih. Perlahan perempuan itu melonggarkan pelukannya. Dan Chandra pun berbalik...

Ralia masih tertunduk, namun kedua tangannya telah beralih dari kedua kaki Chandra.

Tubuh jangkung itu merendah, sangat rendah dari posisi sebelumnya.

Chandra duduk. Ia duduk di permukaan lantai, menghadap ke arah Ralia, istrinya.

Tangan besar itu mulai terarah ke depan. Kali ini tidak dengan gerakan yang cepat dan kasar untuk menampar wajah cantik istrinya lagi.

Tidak.

Namun kali ini untuk membelai wajah Ralia.

Chandra dengan hati-hati menyingkirkan rambut-rambut perempuan itu yang acak-acakan menutupi wajah kecilnya.

Bekas telapak tangan besar berwarna merah tercetak di sana. Tangan besar siapa lagi itu jika bukan miliknya.

Ralia meringis tatkala Chandra menyentuh bagian pipinya tersebut.

Seketika hati Chandra teriris. Ia menyesal, sungguh-sungguh sangat menyesal.

Memang terlambat, tapi ia sangat merasa bersalah.

"Maaf, harusnya gak seperti ini Ral." ucap Chandra dengan nada bergetar.

Ralia sangat tahu jika sekarang ini Chandra sungguh meminta maaf dengan tulus. Perempuan itu bisa melihat ke dalam matanya. Chandra sungguh menyesal atas apa yang telah diperbuatnya.

Ralia menggenggam tangan Chandra yang masih berada di wajahnya. Lalu menciumnya.

"Aku udah maafin kamu, aku tahu kamu gak bermaksud untuk melakuakan itu. Aku udah maafin kamu sayang..."

Chandra menghamburkan pelukannya. Ia menenggelamkan kepala Ralia ke dalam dada bidangnya.

Chandra mengumpat berkali-kali di dalam hati, seharusnya kejadian seperti ini tidak pernah terjadi. Seharusnya ia tidak main tangan kepada istrinya. Lagi-lagi ia menyesal.

Ralia memejamkan matanya, merasakan begitu nyaman dekapan Chandra. Seluruh rasa sakit Ralia seolah lenyap dalam seketika.

Begitulah Chandra dan Ralia. Terjebak dalam hubungan yang kurang beruntung bagi keduanya.

Tapi mau bagaimanapun Chandra dan Ralia saling mencintai. Memang keadaan yang begitu rumit, namun hati mereka tidak bisa berbohong. Keduanya sama-sama saling bergantung satu sama lain.

~tbc...


Till We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang