20.Melawan Keraguan

7 2 0
                                    


Malam itu terasa lebih hening dari biasanya. Joshua dan Johan kembali berada di balkon rumah, ditemani secangkir kopi hangat dan keheningan yang mendalam. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai—bahkan, mungkin baru saja dimulai. Semua kenangan pahit, semua kegagalan, dan semua cinta yang pernah terluka seakan masih menghantui mereka. Namun, di balik itu semua, ada dorongan untuk melanjutkan perjalanan menuju kehidupan yang lebih baik.

Joshua menggoyang-goyangkan cangkir kopinya dan memecah keheningan. “Jo, gue nggak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Tapi kali ini, gue mau coba percaya kalau hidup punya tujuan buat kita.”

Johan tersenyum samar, matanya yang lelah memandang jauh ke depan. “Kita udah terlalu lama terjebak dalam masa lalu, Josh. Gue udah capek terus menyalahkan keadaan. Sekarang, gue cuma mau berusaha lebih baik.”

Joshua menatap adiknya. Ada kekuatan di sana, meski samar, yang perlahan tumbuh dalam diri Johan. “Gue ngerti, Jo. Mungkin kita nggak akan pernah bisa menghapus semua yang terjadi. Tapi kita bisa coba memperbaikinya.”

Johan mengangguk. “Gue udah bilang ke Naomi kalau gue siap memulai dari awal, pelan-pelan. Gue sadar, kita nggak bisa langsung jadi seperti dulu, tapi gue nggak mau kehilangan kesempatan buat berusaha.”

Joshua tersenyum bangga. “Gue tahu lo kuat, Jo. Dan selama kita bersama, gue yakin kita bisa lalui semuanya.”

---

Keesokan harinya, Johan bertemu dengan Naomi di taman dekat rumah mereka. Ini adalah salah satu tempat yang dulu sering mereka kunjungi, tempat di mana mereka dulu bisa berbicara tentang apapun. Namun kali ini, ada keheningan di antara mereka yang sulit dipecahkan.

Naomi membuka pembicaraan, “Johan, gue udah lama nggak merasa begini. Kayak… semuanya kembali, tapi dalam versi yang berbeda.”

Johan menatapnya dengan tenang. “Gue ngerti, Na. Gue juga merasa kayak gitu. Tapi kali ini, gue nggak mau buat lo merasa kecewa lagi.”

Naomi menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. “Kita udah banyak berubah, Jo. Gue nggak tahu apakah kita masih bisa cocok seperti dulu.”

Johan terdiam sesaat, lalu berkata, “Gue juga nggak tahu, Na. Tapi gue siap buat berusaha. Gue janji akan lebih terbuka dan nggak akan sembunyi di balik masalah-masalah gue lagi.”

Naomi menatap Johan, mencoba membaca kesungguhan dalam matanya. “Kalo begitu, kita bisa mulai dari sini. Tanpa tekanan, tanpa harapan yang berlebihan. Cuma kita dan usaha kita.”

Johan mengangguk, tersenyum lega. “Gue siap, Na.”

---

Sementara itu, Joshua sedang berada di studio lukisannya bersama Clara. Sejak memutuskan untuk lebih terbuka, hubungan mereka perlahan menjadi lebih hangat dan akrab. Clara duduk di sofa sambil memperhatikan Joshua yang sedang melukis.

“Lo kelihatan lebih tenang sekarang,” ujar Clara, memecah keheningan.

Joshua berhenti sejenak dan menatap Clara. “Iya, gue merasa lebih baik. Gue udah nggak terlalu merasa tertekan buat jadi sempurna atau memenuhi harapan orang lain.”

Clara tersenyum, merasakan kejujuran dalam kata-kata Joshua. “Gue seneng lo bisa merasa kayak gitu. Gue tahu nggak gampang buat lo untuk terbuka, tapi gue selalu ada buat lo, Josh.”

Joshua menghela napas dalam-dalam, lalu berjalan mendekati Clara. “Gue juga udah capek menutup diri, Clar. Gue sadar kalau selama ini, gue yang bikin semuanya jadi rumit.”

Clara meraih tangan Joshua dan menggenggamnya erat. “Kita nggak perlu buru-buru, Josh. Yang penting kita sama-sama ada di sini, untuk satu sama lain.”

Joshua tersenyum lembut. “Makasih, Clar. Gue janji gue akan coba jadi versi terbaik gue, bukan cuma buat lo, tapi juga buat diri gue sendiri.”

---

Malam itu, Joshua dan Johan kembali duduk bersama di balkon, menatap langit yang penuh bintang. Mereka berdua tahu, masih banyak hal yang harus mereka hadapi, baik dalam hubungan maupun diri mereka sendiri. Namun, ada harapan yang perlahan tumbuh di hati mereka.

“Josh, lo tahu nggak?” tanya Johan tiba-tiba.

Joshua menoleh ke arah kakaknya. “Apa?”

“Gue selalu takut buat percaya sama orang. Takut gue bakal kecewa atau dikecewakan. Tapi sekarang gue sadar, nggak ada yang sempurna, termasuk gue. Dan itu nggak apa-apa.”

Joshua tersenyum kecil. “Gue juga sering merasa begitu, Jo. Tapi gue belajar kalau percaya sama orang itu nggak selalu buruk. Justru itu yang bikin kita lebih kuat.”

Johan menatap bintang-bintang di langit malam. “Lo pikir kita bisa berubah jadi orang yang lebih baik, Josh?”

Joshua mengangguk pelan. “Selama kita mau berusaha, gue yakin kita bisa.”

***

Malam semakin larut, namun Joshua dan Johan masih belum beranjak dari balkon. Kopi di tangan mereka sudah dingin, namun percakapan yang berlangsung membuat mereka enggan untuk mengakhiri malam itu. Keheningan malam seakan menjadi saksi bisu dari dua saudara yang saling berbagi ketakutan, luka, dan keinginan untuk menjadi lebih baik.

Johan menggeser duduknya, lalu bersandar dengan lebih nyaman di kursi. “Josh, kadang gue berpikir, mungkin kita harus benar-benar meninggalkan masa lalu dan memulai di tempat yang baru. Di tempat di mana nggak ada orang yang tahu tentang kita, atau tentang semua yang pernah kita lalui.”

Joshua tersenyum tipis, memandangi adiknya. “Itu mungkin bisa, Jo. Tapi meninggalkan tempat ini juga nggak akan menghapus semua yang ada di dalam kepala kita. Di mana pun kita berada, kenangan itu akan tetap ada. Yang bisa kita lakukan sekarang cuma mencoba hidup berdampingan dengan kenangan itu.”

Johan terdiam, mencoba mencerna kata-kata adiknya. “Mungkin lo benar, Josh. Gue cuma takut kalau nanti kita nggak bisa benar-benar melanjutkan hidup dan malah terus-terusan kejebak di tempat yang sama.”

Joshua menepuk bahu kakaknya. “Gue ngerti, Jo. Gue juga takut akan hal yang sama. Tapi kita punya kekuatan buat menentukan masa depan kita. Selama kita nggak menyerah dan tetap mencoba, gue percaya kita bisa menciptakan perubahan.”

Setelah beberapa saat, Johan menghela napas panjang. Dia memandang langit dan menyadari betapa kecilnya mereka di antara bintang-bintang yang bertebaran. Dalam hatinya, perlahan tumbuh keyakinan yang baru. Mungkin, meski hidup mereka selama ini penuh dengan luka, dia masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semuanya.

---

Sementara itu, Joshua teringat pada masa kecil mereka. Meskipun mereka berdua tumbuh dalam lingkungan yang berantakan, ada saat-saat di mana mereka bisa merasakan kebahagiaan sederhana. Saat-saat itu kini terasa sangat jauh, tetapi masih ada dalam ingatannya. Dia berharap, suatu hari nanti, mereka bisa menciptakan momen-momen bahagia seperti itu lagi—tanpa harus dibayangi oleh luka dan trauma.

“Lo ingat, Jo, waktu kita kecil, kita sering main di sungai belakang rumah nenek?” tanya Joshua tiba-tiba.

Johan tersenyum, mengangguk. “Iya, gue ingat. Waktu itu kita berdua nyaris ketangkep nenek karena bawa pulang ikan dari sungai buat dipelihara di ember belakang rumah.”

Joshua tertawa kecil. “Nenek marah banget waktu tahu, tapi akhirnya dia juga yang bantu kita rawat ikan-ikan itu.”

Mereka tertawa bersama, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Kejadian kecil itu mengingatkan mereka bahwa, di balik semua cobaan, ada kebahagiaan kecil yang pernah mereka rasakan bersama. Dan kenangan itu memberi mereka harapan bahwa, meskipun masa depan masih penuh ketidakpastian, mereka bisa menemukan kebahagiaan lagi.

---

“Mempercayai orang lain memang sulit, tapi justru di situlah kita menemukan kekuatan yang nggak pernah kita sadari.”
                          —KDL

“Gue belajar kalau hidup nggak harus sempurna. Kadang, yang kita butuhkan hanya keberanian buat menerima ketidaksempurnaan itu.”
                          —KDL

kembar dalam luka || Joshua jeonghanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang