04

26 6 0
                                    

Keesokan paginya, aku terbangun dengan tubuh yang terasa lelah dan kepala berdenyut. Pagi itu terasa dingin dan sunyi, seolah seisi mansion terbenam dalam kabut. Meski malas, aku memaksa diri bangkit dari tempat tidur. Peristiwa semalam terus berputar dalam pikiranku, membuatku ragu apakah itu benar-benar terjadi atau hanya mimpi buruk.

Aku melangkah menuju kamar mandi dengan langkah gontai. Di sana, aku memandang diriku di cermin. Wajahku tampak kusam, dengan kantung mata yang terlihat lebih jelas dari biasanya. Aku menarik napas panjang, mengingat ketakutan yang kurasakan semalam. Rasanya, setiap lorong dan sudut mansion ini memiliki mata yang memperhatikanku.

Setelah sekadar menyikat gigi dan mencuci muka, aku kembali ke kamar, lalu meraih jaket tebal untuk melawan dinginnya pagi. Perutku kosong, mengingat semalam aku tak sempat makan malam karena langsung berlari ke kamar setelah kejadian mengerikan itu. Dengan sedikit keraguan, aku memutuskan untuk menuju dapur mencari sesuatu yang bisa mengganjal perut.

Saat menyusuri lorong menuju dapur, mataku terpaku pada deretan lukisan yang tergantung rapi di dinding. Aku memperlambat langkah, memeriksa setiap detail dengan teliti. Anehnya, lukisan-lukisan itu tampak biasa saja, tidak ada darah atau tetesan merah yang mengalir dari bingkainya. Semuanya terlihat indah dan normal, seolah-olah kejadian semalam tak pernah terjadi.

Kakiku berhenti di depan tangga yang semalam ku lalui dalam kepanikan. Di dinding di atas tangga itu tergantung lukisan yang kuraba sebelumnya, lukisan yang semalam mengeluarkan darah. Rasa penasaran muncul dalam benakku. Aku mendekat dengan hati-hati, dan meskipun tubuhku gemetar, tanganku terulur untuk menyentuh permukaannya sekali lagi. Tangan itu ragu-ragu berhenti beberapa senti dari kanvas, ketakutan bercampur penasaran.

Perlahan, jemariku menyentuh permukaan lukisan itu. Kali ini, tidak ada rasa dingin seperti es yang kurasakan semalam. Lukisan itu hanya terasa seperti kanvas biasa. Aku menghela napas lega, meski di dalam hati masih ada kecemasan yang tersisa.

aku kembali berjalan menuju dapur dengan langkah tergesa, berharap bisa menemukan makanan. Setiba di dapur, suasananya terasa aneh. Ruangan itu sepi dan temaram, meski cahaya pagi seharusnya sudah menerangi seluruh ruangan. Ku amati sekeliling, dan tidak ada seorang pun pelayan yang biasanya sudah sibuk di pagi hari.

Aku membuka lemari dan mengambil roti yang tersisa, lalu duduk di meja makan. Perasaan tidak nyaman terus menghantui, seolah-olah ada yang mengawasi ku dari setiap sudut ruangan.

Setelah sarapan singkat, aku memutuskan untuk kembali ke ruang kerjaku di lantai dua dan melanjutkan lukisan potret Tuan Kanemoto yang belum selesai. Namun, begitu aku memasuki ruangan, langkahku terhenti di ambang pintu. Kanvas di atas meja tampak berbeda dari saat kutinggalkan semalam. Sketsa wajah Tuan Kanemoto yang ku gambar terlihat berubah. Entah bagaimana, mata pada potret itu sekarang tampak menatap lurus ke arahku, seperti hidup dan menembus jiwaku.

Aku memaksakan diri mendekati kanvas, mencoba meyakinkan diri bahwa semua ini hanya perasaanku. Tapi saat melihat lebih dekat, aku melihat sesuatu yang membuat bulu kudukku meremang ada jejak samar warna merah di sekitar mata pada lukisan itu, seperti darah yang mengalir.

Aku tersentak, melangkah mundur dengan napas memburu. Seluruh tubuhku terasa dingin. Mungkinkah ini hanya efek dari kelelahan atau mansion ini memang menyimpan misteri yang lebih kelam dari yang kubayangkan?

Tanpa sadar, aku berbalik dan meninggalkan ruangan itu, menutup pintu rapat-rapat di belakangku. Di lorong, aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku. Meski masih pagi, atmosfer di mansion ini terasa berat, seperti ada energi yang menekan.

Aku berusaha membuang pikiran-pikiran buruk itu dan berjalan menyusuri lorong kembali menuju kamar. Tapi langkahku terhenti saat mendengar suara berbisik. Suara itu samar, seperti suara dari kejauhan yang memanggil namaku. Aku menoleh ke kiri dan kanan, namun tak ada siapa pun di sana.

“Siapa… ada siapa di sana?” tanyaku dengan suara gemetar, namun hanya sunyi yang menjawab.

Dengan langkah cepat, aku kembali ke kamar, menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. Aku duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan diri, namun perasaan tidak nyaman itu terus menghantuiku. Aku tidak bisa mengabaikan bahwa mansion ini seolah menyimpan sesuatu yang ingin disampaikan kepadaku, atau mungkin, sesuatu yang ingin diperingatkan.

Tiba-tiba, lampu kamar berkedip-kedip, membuat bayangan bergerak-gerak di dinding, seakan-akan ada yang mengintip dari kegelapan. Aku terdiam, tubuhku mematung dalam ketakutan. Aku hanya bisa berdoa dalam hati, berharap semua ini hanya halusinasiku karena kelelahan, dan berharap pagi ini segera berakhir dengan aman.

Bersambung...........

Lukisan (Hwanshi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang