12

551 66 7
                                    

Hari Minggu. Waktunya bersantai.

Itu yang ada di pikiran Yibo. Itu yang biasanya ia lakukan.

Mencuci pakaian mereka, menunggu Zhan selesai memasak, lalu mereka makan bersama, kemudian jalan-jalan ke kota atau santai-santai di rumah. Itu yang diinginkannya.

Tapi sekarang berbeda.

Semenjak Zhan terbangun, sudah ada beberapa kali bunyi 'huek' dan Yibo bolak-balik memapahnya dari ruang tengah ke kamar mandi. Ia melihat Zhan dengan tatapan kasihan karena sosok berusia 34 tahun itu begitu kuyu setelah menguras isi perutnya yang bahkan tak terisi apa-apa.

"Ayo kita ke tempat Dr. Zhao," ajak Yibo sambil mengurut punggung Zhan pelan.

"Tidak usah. Kita baru beberapa hari yang lalu ke sana," tolak Zhan.

"Jadi bagaimana? Kau bahkan tidak bisa makan apa-apa."

"Aku tidak sanggup masak. Tolong masakkan aku sesuatu."

Yibo melongo. Dia? Masak? Ya ampun. Dia ingat terakhir kali mencoba memasak, yang ada malah ibunya dan Yuwen mengomelinya sepanjang hari. Dapurnya berantakan dan rasanya luar biasa. Ayahnya bahkan bilang bahwa rasa obat mungkin masih lebih baik daripada masakannya.

"A-Aku yang masak?" Tanya Yibo tak percaya sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Iya. Masak tinggal masak kan tidak susah," balas Zhan enteng sambil mengelus perutnya yang mulai terlihat sedikit mengembung.

"Kau yakin? Aku kan biasanya bagian cuci piring," tanya Yibo yang masih tidak yakin.

"Memangnya kenapa sih kalau kau yang masak? Kau tidak mau menuruti kemauan anak kita?"

"Serius kau mengidam masakanku?"

"Kalau tidak mau ya sudah. Nanti anak ini akan—"

"Tidak, tidak, tidak. Iya... iya baiklah aku akan memasak untuk Sean Xiao-ku yang manja ini dan juga untuk xiao Wang kita," kata Yibo mengalah.

Zhan yang tadinya cemberut menjadi sedikit lebih ceria kembali. Akhirnya Yibo mau menuruti keinginannya. Entah mengapa ekspresi Zhan bisa berubah secepat itu.

Zhan menunggu Yibo dengan malas di ruang tengah. Butuh cukup lama untuk Yibo selesai memasak, tetapi begitu pria itu menyelesaikannya, makanan disajikan di meja ruang tengah mereka.

"Nasi goreng?" Tanya Zhan ketika melihat piring yang disajikan untuknya.

"Y-Ya? Yaa... Bisa disebut nasi goreng," Jawab Yibo dengan gugup. Ia memasak hanya berdasarkan insting, yang penting bisa dimakan.

Zhan mulai menyendokkan makanan ke mulutnya. Yibo yang melihatnya bisa merasakan firasat buruk mendekati dirinya. Zhan mengunyahnya dengan tenang dan menelannya dengan normal.

"Tidak buruk," komentar Zhan. Ia kembali menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

Yibo rasanya sangat lega dan lolos dari suatu tantangan yang mendebarkan. Rasanya tak kalah seru dari mengejar para mafia ketika ia bekerja.

Zhan dengan cepat menghabiskan makanannya. Ia sangat lapar. Hanya sepiring nasi goreng buatan suaminya yang membuat perutnya terisi. Setelah piring itu bersih, ia berniat menuju ke arah dapur untuk meletakkan piring kotor mendadak terkejut dengan pemandangan yang ada. Ia segera kembali menuju ruang tengah dan melihat Yibo yang duduk merosot dengan tangan yang masih memeluk nampan.

"Wang Yibo," panggilnya dengan nada datar.

"Y-Ya? Ada apa? Apa kau ingin tambah? Hehe..."

Zhan tidak tersenyum, melainkan langsung menarik tangan Yibo dan mengajaknya pergi ke dapur.

"Wah... Lihat ini. Dapur kita sudah seperti habis dibom. Menurutmu ada gembong narkoba yang bersarang di dapur ini?" Kata Zhan dengan berusaha menahan kekesalan karena melihat dapur yang hampir seperti kapal pecah.

Inilah firasat buruk yang tadi Yibo rasakan.

"Ti-tidak. Ten-tentu saja di rumah kita tidak ada—"

"Yang benar saja hanya karena sepiring nasi goreng kau membuat dapur kita seperti baru terkena badai," kata Zhan dengan kesal.

Bagaimana tidak kesal? Ada telur pecah di lantai, sisa potongan sayur yang berjatuhan, bumbu yang tumpah, air dari wastafel yang muncrat ke sana sini. Zhan heran bagaimana Yibo bisa membuat dapur mereka kacau balau sampai seperti itu.

"Aku akan membersihkannya," kata Yibo.

"Tentu saja. Xiao Wang sepertinya tidak suka melihat dapurnya berantakan seperti ini," kata Zhan sambil mengelus perutnya.

Dengan setengah terpaksa, Yibo membersihkan kekacauan yang sudah ia buat di dapur agar Zhan tidak semakin kesal.



Beberapa hari kemudian, Zhan sudah merasa lebih baik dan tubuhnya cukup kuat untuk bekerja kembali. Ia masuk ke kantornya seperti biasa, membagi jadwalnya lagi dengan Dr. Xuan yang selama beberapa minggu menggantikannya.

Zhan baru turun dari mobilnya yang terparkir di lantai basement rumah sakit. Ia berjalan menuju lift khusus karyawan, tetapi sayangnya lift tersebut diberi catatan berupa kertas yang ditulisi kata 'RUSAK' dengan ukuran yang besar.

Zhan menghela napas dan berjalan menuju ke arah tangga darurat yang berada di ujung basement. Ia sempat sedikit mengeluh karena kehamilannya membuatnya lebih mudah lelah, tetapi apa boleh buat kalau lift nya rusak?

Ia membuka pintu tangga darurat dan memasukinya. Ia menaiki tangga dengan tenang dan berusaha mengatur napasnya agar tidak cepat lelah.

Tapi ada langkah lain yang seperti berada di belakangnya. Langkah yang berusaha menjajari dirinya.

Zhan menoleh ke arah pembatas tangga, tapi ia tidak menemukan orang lain yang berjalan. Ia merasa sedikit horor dan mempercepat langkahnya. Terdengar pintu dari lantai atas dibuka lalu ditutup kembali. Zhan berharap bahwa ada orang lain dari lantai atas yang akan menolongnya. Derap kaki yang mengikutinya terdengar semakin cepat seiring dengan langkahnya yang tergesa-gesa. Zhan berusaha secepat mungkin sampai di lantai tiga dan menemui orang di lantai atas yang mungkin bisa membantunya.

Tapi Zhan salah.

Ia menoleh ke belakang dan mendapati seseorang dengan pakaian hijau perawat dan wajah tertutup masker membekapkan sebuah saputangan ke mulut dan hidungnya sebelum ia sempat berteriak. Sedangkan orang yang turun dari lantai atas ternyata menangkap tubuhnya ketika ia mulai merasa kesadarannya menurun.

Zhan tahu ia sedang digotong, lamat-lamat ia berusaha mengingat kejadiannya, tapi semuanya terlalu berat. Hal terakhir yang dia ingat adalah tubuhnya yang dimasukkan ke dalam sebuah mobil, lalu tangan dan kakinya diikat. Mulutnya ditutup menggunakan lakban sehingga ia tidak bisa berteriak sekalipun nanti ia tersadar. Dari kaca jendela mobil yang tampak terlalu gelap, ia menyadari bahwa ia dibawa pergi dari RS. Bei An.

Ia tidak tahu siapa mereka. Ia tidak tahu kenapa mereka menculiknya. Ia tak tahu ke mana mereka akan membawanya. Pandangannya yang buram itupun pelan-pelan menjadi semakin gelap, sampai semua yang ia lihat hanya warna hitam.

Oh My Heart!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang