"Ayah tolong ... sakit sekali Ayah." Argantara memeluk erat putra sulungnya. Sosok Tirtayasa yang sangat kuat dan tegar itu kini rapuh di hadapan keluarganya.
"Iya, Ayah tahu pasti sakit, Nak. Tapi Abang tidak sendiri, kami akan menemani Abang melewati fase ini." Diusapnya lembut punggung lebar Tirtayasa.
"Kamu tidak sendirian, Bang! Kamu tidak sendirian." Argantara mencium puncak kepala Tirtayasa berkali-kali penuh kasih.
"Tolong bawa dunianya Abang kembali, Ayah! Tolong bawa dunianya Abang kembali! Abang gak bisa kehilangan dunianya Abang begini, Yah! Gak bisa!" raung Tirtayasa dengan suara yang mulai parau karena terlalu lama menangis. Sakit, hati Argantara sakit sekali mendengar putra sulungnya memohon dan meraung-raung seperti ini.
"Bang, ada Ibu di sini." Kinanti menyentuh bahu kiri putranya dan mengelusnya lembut.
"Bunda juga ada di sini, Abang," imbuh Arumi, dia menyentuh bahu kanan Tirtayasa dan mengelusnya lembut juga.
Sayang sekali, kelembutan dua ibu itu tidak mempan sama sekali menenangkan Tirtayasa yang tengah hancur lebur. Tangisan dan ruangannya memenuhi seluruh penjuru kamar. Terasa menggema, padahal kamar tersebut terisi penuh, seolah mendukung kehancuran pemiliknya.
"Anjing!!! Dada gue nyeri banget liat Bang Tirta begini!" umpat Adipati, tangannya mengepal kuat menahan segala emosi yang memenuhi dadanya.
"Tenang, Mas! Jangan emosi! Bang Tirta butuh kita yang tenang bukan kita yang emosional." Bimasena meraih bahu Adipati, menepuk-nepuknya keras untuk saling menguatkan.
"Mas Respati?" Arshaka menyentuh pundak Respati pelan. Masnya yang satu itu terpaku dan termenung sejak awal Tirtayasa menangis beberapa saat lalu. Respati menoleh kala mendengar panggilan adik bungsunya, tapi dia tidak buka suara, hanya dengan isyarat mata saja dia bertanya ada apa.
"Jangan begini! Bang Tirta butuh kita semua, Mas. Jadi kita semua harus kuat untuknya." Si bungsu memberikan petuah yang sangat bijak, membuat Respati menarik sudut bibirnya tipis.
"Mas baru pertama kali melihat Bang Tirta sehancur ini, Shak. It really hurts me." Air mata luruh dari matanya yang teduh. Arshaka segera mendekat lalu memeluk Respati erat, hancurnya Tirtayasa ternyata sangat berpengaruh pada mereka, adik-adiknya.
Empat Sumadiputra bersaudara itu saling menguatkan. Berbeda dengan Ravindra yang memilih keluar dari kamar tersebut. Kamar Tirtayasa terlalu menyesakkan, Ravindra tidak sekuat itu menyaksikan abang sulungnya hancur.
Maka dari itu, di sinilah dia sekarang, di ruang santai lantai dua rumahnya. Matanya memejam rapat dengan badan bersandar penuh ke sofa. Dia frustrasi karena tangisan Tirtayasa terdengar jelas sampai ruang santai. Sehancur lebur itu abangnya.
"Kenapa tidak masuk ke dalam, Kak?" Sebuah suara mengagetkan Ravindra, dia segera membuka mata lalu bangkit dari sofa yang didudukinya.
Ternyata sang opa yang datang.
"Kakak tidak kuat melihat Bang Tirta hancur. Sakit sekali rasanya, Opa." Adya menghela nafas dalam, dia segera membawa sang cucu ke dalam pelukannya.
"Bang Tirta itu kuat, Kak. Abangnya Kakak kuat, Abang pasti bisa melewati semua ini. Kakak juga harus kuat! Abang sedang butuh tumpuan kita semua." Ravindra langsung mengangguk dalam pelukan sang opa. Tentu dia akan selalu ada untuk abangnya.
Besar sekali harapan mereka bahwa Tirtayasa akan segera pulih dan bangkit dari keterpurukannya. Meski mereka tahu prosesnya tidak akan mudah, tapi mereka tidak akan membiarkan Tirtayasa terpuruk terlalu lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANAK TANGGA
General Fiction30 Oktober 2024 - (On Going) Jadwal update silakan lihat di bio! INI HANYA FIKTIF BELAKA! PLEASE, NO PLAGIAT! Harta, Tahta, dan Cinta. Dunia ini sangat membosankan dan memuakkan jika hanya berputar tentang harta dan tahta. Maka dalam hidup kita mem...