PEREMPUAN HUJAN

56 6 5
                                    

Hari ini, tepat tujuh tahun yang lalu. Hujan yang sama menahanku di halte itu. Ketika aku terlalu asyik berkutat dengan novel-novel baru di perpustakaan, sampai tidak sadar jika jam sekolah sudah berakhir dan petugas perpustakaan, Ibu Indah, harus mengusirku keluar dari kerajaan bukunya.

Gadis itu di sana. Di ujung bangku halte yang sepi. Duduk memandangi hujan, setengah melamun. Namun bibirnya menggumamkan lagu-lagu yang ia dengarkan melalui earphone hitamnya. Ia menoleh ketika menyadari kehadiran orang lain di halte, aku. Ia mengangguk dan melempar senyum sekilas lalu kembali memandang hujan yang semakin deras setelah aku membalas 'sapaan' singkatnya.

Hanya lima belas menit kami habiskan bersama di halte tersebut. Tanpa obrolan basa-basi. Sebelum kemudian sebuah angkutan umum berhenti dan membawanya pergi.

Siapa gadis itu?

Pertanyaan pertama yang terlontar dari pikiranku. Ia mengenakan seragam sekolah yang sama denganku. Jika dilihat dari patch kelas di lengan kirinya, kami seangkatan. Namun, aku belum pernah melihatnya di sekolah. Walaupun aku bukan murid populer, tetapi aku tahu siapa saja yang seangkatan denganku. Beberapa malah kenal baik. Namun, gadis itu, apa dia murid baru?

Pertanyaan itu kubawa hingga pulang dan tetap muncul keesokan harinya. Saat mencoba mencarinya di sekolah, aku malah bingung sendiri. Harus kumulai dari mana? Aku tidak tahu namanya. Hanya tahu dia dari kelas berapa. Jika bertanya ke kantor tata usaha sekolah, apa kepentinganku?

Akhirnya, aku memilih untuk melupakan niatku itu dan berakhir di sudut perpustakaan seperti biasa. Melalap novel yang kemarin belum selesai kubaca dan kembali diusir Bu Indah karena sudah waktunya perpustakaan tutup.

"Kalau kamu mau, kan bisa pinjam buku untuk dibawa pulang," tawar Bu Indah.

"Terima kasih, Bu. Lebih enak baca di perpustakaan." Bu Indah hanya mengangkat bahu sebelum merapikan meja kerjanya.

Hujan kembali turun ketika aku baru melangkahkan kaki ke luar gerbang sekolah. Dengan tergesa aku berlari menuju halte terdekat. Halte yang sama dengan kemarin. Dan anehnya, tempat itu sama sepinya. Dan di ujung bangkunya, ada gadis itu lagi. Aku heran mendapati kebetulan ini.

Namun, sikapnya sama seperti kemarin, duduk setengah melamun sambil mendengarkan musik.

"Saya bakal rindu suasana ini." Aku menoleh. Memastikan bahwa telingaku tidak salah mendengar. Apa gadis itu baru saja bicara? Ia menoleh seakan dapat membaca pikiranku. "Apa yang paling berkesan buat kamu sekarang?" Ia bertanya. Aku mengerjap. Tak menyangka mendapat pertanyaan darinya.

"Hujan?" jawabku tak yakin. Gadis itu tersenyum lalu kembali memandang rintik air di hadapannya.

"Hujan." Ia mengulang jawabanku. Lalu kembali sunyi dan hanya terdengar rintik serta sesekali kendaran bermotor yang melintas di depan kami. "Saya mau terus melihat hujan seperti ini." Tiba-tiba gadis itu bicara kembali. Giliran aku yang tersenyum.

"Kamu bisa terus melihatnya setiap sore. Setidaknya selama musim hujan. Dan tidak sedang badai," ujarku.

Gadis itu menoleh lalu kami sama-sama tertawa. Kemudian angkutan umum yang ditunggunya datang. Ia melambaikan tangan sejenak sebelum naik angkutan dan berlalu. Kemudian, aku sadar bahwa kami belum berkenalan dan membuatku menggumamkan kata-kata kasar beberapa kali.

Setelah itu, aku tak melihatnya di halte yang sama lagi. Setiap sore sepulang sekolah aku sengaja menuju halte tersebut untuk menunggu angkutan umum langgananku dan menunggunya. Namun, sekalipun ia tak menampakkan diri.

Mencoba mencarinya di sekolahpun sia-sia. Petunjuk yang kumiliki tidak membantu sama sekali. Aku seperti detektif yang gagal dan melakukan pekerjaan yang sia-sia. Hingga hari kelulusan tiba, gadis itu pun tetap tak kujumpai.

PEREMPUAN HUJANWhere stories live. Discover now