01.Tembang Kenangan

11 4 3
                                    


Suasana pagi yang sejuk dan damai menyelimuti desa Kedung Laras. Damar sedang bersiap di depan rumah kayunya yang sederhana, mengenakan blangkon dan baju batik lengan panjang khas Jawa. Pekerjaannya sebagai pemandu wisata budaya sudah menjadi rutinitas yang ia nikmati setiap hari, membawa orang-orang luar masuk ke dalam dunia yang penuh filosofi Jawa, dengan kebijaksanaan sederhana yang diwariskan dari leluhur.

Di tempat lain, Anjani baru saja tiba di desa itu dengan bus dari kota. Ia turun sambil membawa koper besar dan tas yang penuh dengan peralatan jurnalis—kamera, buku catatan, dan rekorder. Kedatangannya ke desa ini bukan sekadar untuk jalan-jalan, tetapi untuk riset tentang budaya Jawa yang akan ia tulis untuk sebuah majalah budaya. Terlahir di keluarga Jawa, Anjani merasa ada sisi identitas yang belum ia pahami sepenuhnya, dan pekerjaan ini adalah kesempatan baginya untuk memahami bagian itu.

Damar melihat ke arah Anjani yang kebingungan mencari jalan. Dengan senyum hangat, ia menghampiri perempuan yang tampak sedikit canggung tersebut.

Damar: "Sugeng rawuh, Mbak. Sampeyan mboten kepanggih dalan menika?"

Anjani terdiam sejenak, menatap Damar dengan mata terbelalak. "Eh, apa?" gumamnya bingung. Bahasa Jawa yang digunakan Damar terdengar asing, bahkan membingungkannya.

Damar: "Oh, maaf, Mbak. Apa Anda kesasar?" ujar Damar sambil tersenyum.

Anjani: "Iya, Mas. Saya baru pertama kali ke desa ini, dan sedikit bingung," jawab Anjani dengan nada lega. "Oh iya, nama saya Anjani, dari majalah Warisan. Saya mau menulis tentang budaya Jawa, jadi... mungkin Mas bisa bantu saya?"

Damar menyambut uluran tangannya dengan senyuman tulus. "Nama saya Damar. Saya biasanya memang jadi pemandu di sini. Bisa saya antar ke tempat penginapan dulu?"

Setelah memastikan Anjani nyaman dengan barang-barangnya, Damar mulai bercerita tentang desa itu di sepanjang jalan. Sesekali ia melontarkan istilah-istilah dalam Bahasa Jawa yang membuat Anjani tertarik, meskipun ia harus berkali-kali menanyakan arti kata-kata tersebut.

Saat mereka sampai di penginapan, Anjani melihat ke sekeliling, mengamati desain bangunan tradisional yang memancarkan nuansa sejarah. Sambil menyeruput teh hangat yang disajikan pemilik penginapan, ia memutuskan untuk bertanya lebih jauh.

Anjani: "Damar, kalau boleh tahu, kenapa Bahasa Jawa ada banyak tingkatan? Kayak krama inggil itu kan jarang sekali dipakai, ya?"

Damar tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Bahasa Jawa itu memang istimewa, Mbak. Setiap tingkatan punya maksud, cara kita menunjukkan rasa hormat. Krama inggil biasanya dipakai untuk orang yang lebih tua atau yang dihormati. Di sini, itu lebih dari sekadar bahasa—itu cara kita menunjukkan hati."

Anjani terdiam, kagum sekaligus merasa kecil hati. Bagaimana mungkin ia tak pernah tahu tentang hal-hal sederhana tapi dalam seperti itu? Sementara ia merasa terasing di antara kata-kata yang terdengar indah itu, Damar tampak begitu hidup ketika berbicara.

Anjani: "Sepertinya saya harus banyak belajar dari Mas, ya."

Damar tersenyum. "Saya yang justru senang, Mbak, bisa memperkenalkan budaya Jawa pada orang lain. Apa pun yang Mbak Anjani ingin tahu, saya siap bantu. Sing penting, Mbak betah di sini."

Obrolan mereka terus berlanjut, dan di akhir perbincangan itu, Anjani merasakan ada yang istimewa dalam cara Damar memandang budaya dan bahasa yang ia gunakan. Meskipun kedatangannya ke desa ini hanyalah pekerjaan, dalam hati kecilnya mulai muncul rasa penasaran yang lebih dalam—bukan hanya pada budaya Jawa, tetapi juga pada pria sederhana yang dengan penuh hormat memanggilnya Mbak dalam setiap ucapannya.

Tresna Ing BasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang