Entah sudah berapa lama aku berbaring di tempat ini, mungkin sudah satu jam, atau mungkin lebih lama lagi. Yah, sepertinya hal itu tak perlu terlalu kupikirkan, toh tidak ada yang akan mencari diriku juga. Jujur saja, rumput-rumputnya sangat dingin ketika bertemu dengan punggungku, aku sampai merinding dibuatnya, tapi mungkin tubuh ini juga sudah terbiasa.
Perlahan kujauhkan lengan yang sedari tadi menutupi mata. Kenampakan kubah kosmik dicat dengan warna jingga-kemerahan hari ini, sama seperti di masa lalu. Sedangkan jauh ke depan hanya terlihat hamparan hijau tak berujung, sungguh membosankan, mungkin akan lebih baik jika kembali tidur saja.
Namun baru aku ingin menutup mata, sudah ada saja gangguan-gangguan tak realistis yang entah bagaimana bisa sampai ke diriku. "Mau sampai kapan kamu baring di sana ri?"
Padahal sudah sangat mengantuk, tapi sepertinya harus mengurungkan niat tidur untuk saat ini, memalingkan pandangan ke sebelah kiri; seorang gadis dengan manis merungguh tepat di samping wajahku, senyuman tipis terpampang dengan jelas pada wajahnya.
Ia mengenakan rok coklat berenda dengan tinggi setengah betis, yang menurutku terlihat lumayan lucu, kontras dengan rambut berwarna sama. Tanpa sadar aku memasang ekspresi hangat, setidaknya sebelum ia menarik lenganku dengan ... mungkin sedikit terlalu bersemangat.
"Cepetan bangun dong, nanti keburu malam, atau kamu mau ku rangkul dulu?"
"Engga deh, bisa bangun sendiri kok". Aku heran mengapa ia sangat baik kepadaku, padahal diriku sendiri bahkan tak ingat dengan namanya.
Cahaya sore sangat terang ketika kami melangkah, jadi aku hanya bisa memandang ke bawah. Sedangkan dia mengarahkan jalan dengan menggandeng tanganku, tentu saja sembari bercakap-cakap tidak jelas.
Baru berjalan sebentar, namun kesadaranku sudah buyar seakan bisa jatuh kapan saja. Namun aku tak ingin membuatnya khawatir. Huh, semoga saja tempat tujuan kami sudah dekat. Untunglah, tak lama berlalu dapat kudengar ocehan samar dari gadis itu. "Ayo buka matamu ri, kita udah sampai"
Bisa-bisanya aku tidur sambil berjalan, memang sulit dipercaya, kuakui diriku memang sering tertidur bahkan untuk hal sepele, sampai-sampai julukan putri tidur tersematkan untukku. Namun dibalik semuanya, syukurlah tubuh ini tidak mengantuk lagi.
Saat aku menaikkan pandangan, terlihat dengan jelas keadaaan kota yang ramai nan indah, bangunan berdiri diatas yang lain dengan tinggi tak terbayangkan, sejajar dengan lembah tempatnya berpijak. Tapi yang paling menarik perhatian adalah bangunan besar di alun-alun kota, tempat itu seingatku adalah perpustakaan. Kenampakannya sungguh kentara padahal jarak diantara kami masih sekitar 300 meter.
Sedangkan gadis yang tadi bersamaku malah sudah hilang entah kemana. Yah, mungkin dia sedang pergi berbelanja, karena ia pernah bilang jika ingin belanja yang banyak kalau saja dapat pergi ke kota suatu hari nanti, jadi sepertinya aku akan berjalan sendirian mulai sekarang.
Di jalan hampir semua orang membawa buku ditangan mereka, tidak heran sih, kota ini adalah pusat pengetahuan pada masanya, mungkin itulah juga mengapa Ein sangat suka dengan tempat ini. Dia memang kutu buku yang sudah bisa disebut maniak.
Tak terasa langkahku sudah sampai di depan gerbang perpustakaan, tempat masuknya terbuat dari granit dan tak berpintu sama sekali, aku langsung masuk saja. hawanya lebih dingin dari yang terbayangkan, cahaya menembus melalui lubang-lubang jendela kaca, menambah kesan antik. Ada setidaknya tujuh lantai dengan bilik rak dan pintu-pintu terkunci yang dapat kulihat dengan jelas, sedangkan lantai yang lebih tinggi cenderung pudar di mataku.
Aku tak terlalu yakin tentang apa yang bisa kulakukan disini, ketika bahkan lorong dan lantainya sudah membuat bingung, namun aku yakin mendaki tempat ini akan menyenangkan!
Lantai satu dan dua dapat kulewati dengan mudah, terdapat buku-buku tua, dan pintu-pintu cantik diantara mereka, aku sudah mencoba membuka salah satunya ... tapi sepertinya seseorang di dalam sana tidak terlalu suka dengan aksiku.
Di lantai ke tiga, tanaman merambat mulai masuk kedalam bangunan lewat tempat yang berlubang, saat ku arahkan pandangan keluar, ternyata keadaan alam sudah berganti menjadi hamparan hutan akar, pemandangannya sangat indah.
Termakan kelelahan, aku duduk di jendela. Alasan awalku hanya untuk mencari angin segar saja, tapi betapa terkejutnya diriku saat melihat gurun pasir dibawah sela-sela akar. Struktur ruang dan waktu pasti sudah runyam di sini.
Cermin Imajiner
Hari mulai menampakkan sorotan jingga, menandakan aku harus melangkah kembali bersamaan dengan waktu yang menyusut.
Padahal langkahku terbilang sangat pelan, tapi keringat tetap saja bercucuran deras saat diriku mendaki naik, hingga akhirnya aku dapat beristirahat dengan tenang di sini, di lapisan ke empat.
Lantai ini terbilang sangat unik dibanding lantai lain, hanya ada koridor kosong yang seakan melayang, jangan tanya apa yang ada di luar jendela. Tidak ada apa-apa selain kekosongan.
Ngomong-ngomong, bersenandung cukup menenangkan ketika tak seorangpun yang menggangu, gemanya juga kuat padahal sumber pantulan ada jauh di atasku.Kukira aku akan berlama-lama menetap, namun kesendirian ternyata menyakitkan, maka ku langkahkan kembali kaki-kali ini menuju tangga melingkar ditengah ruangan. Sekarang ada dua tanjakan, tangga pertama mengarah ke lantai lima, warnanya kusam, sedangkan tangga kedua memiliki tanjakan yang lebih tinggi.
Sepertinya tidak ada keperluan untuk menjelaskan pilihanku. Jalan panjang mulai terlihat, namun jangan menoleh! Suasananya sangat suram di sana.
Tanpa sadar, tempatku berpijak telah berubah menjadi batuan yang ditumbuhi berbagai macam bunga dan rumput, aku heran mengapa bisa ada angin, padahal jendela tidak tersedia disekitar, namun semua masuk akal ketika diriku menginjak anak tangga terakhir.
Ini ... bukan ruangan sama sekali, melainkan hamparan luas dengan reruntuhan kuno.
Aku seakan keluar dari lubang, sementara sekelilingku adalah satu dunia baru yang mengambang, tempat di mana bunga-bunga bermekaran dengan indah beserta akar terbalik dan pillar tua dari marbel.
Entah mengapa rasanya sangat lemas seketika, mungkin berbaring sebentar tidak ada salahnya. Ya, aku berbaring di anak tangga. Tak sengaja aku menyadari keanehan kubah tempat ini yang alih-alih bertaburan awan; tetapi air. Ternyata itulah mengapa cahaya seakan terpusat pada titik tertentu.Baru saja memasang posisi tidur, hujan malah turun, aku sebenarnya ingin membuka mataku dan pergi berlindung. Tapi rintiknya sangat deras, rok ku jadi basah duluan diterjang air. Ya sudahlah, lagipula diriku memakai dua lapis, jadi seharusnya tidak akan terawang. Terlebih, karena tidak ada manusia disini, Kurasakan saja tetesan konstan ini sampai berhenti.
Sebelumnya pikirku hujan hanya akan memperburuk keadaan, tapi ternyata berguna juga untuk menghilangkan haus yang tak tersadari sedari tadi.
Saat cuaca sudah mulai cerah, pakaianku pun sudah tak terlalu basah, seharusnya sudah bisa berjalan kembali saat ini. Aku punya dua pilihan, yaitu menjelajahi tempat ini sampai aku menemui ujungnya untuk mengetahui apakah ada jendela di sana, atau melanjutkan perjalananku naik setinggi mungkin melewati anak tangga tempatku bertumpu, yang warnanya telah berubah transparan.
Mau mengambil pilihan manapun, tentu aku harus bertegak terlebih dahulu, mirisnya diriku melupakan kalau tangganya masih sedikit basah.
Badan seketika tergelincir kebelakang, dimana tidak ada pengaman apapun yang melindungi, udara dingin seketika berhembus kencang bersamaan dengan jantung yang berdetak cepat.
kurasa hanya sampai disini saja.
...
"Jangan sok dramatis kamu ri, ulurin tanganmu!"
Cermin Imajiner
1111 kata
YOU ARE READING
Cermin Imajiner(Unpublished)
Teen FictionMari mendapati dirinya terbaring di hamparan hijau tak terbatas dengan kenampakan atasnya dicat dengan warna jingga-kemerahan. setiap tindakan kecil sang gadis akan merubah persepsi terhadap kenampakan dunia dan emosinya sendiri. Namun, tak sampai d...