Di tengah gemerlap Celestia, sebuah kerajaan langit yang terletak di atas awan dan dibatasi oleh bintang-bintang paling terang, sekelompok entitas berkumpul. Mereka berdiskusi dalam bahasa kuno yang hanya dimengerti oleh mereka yang hidup di antara dimensi dan batas takdir. Di sana, di tempat segala sesuatu adalah abadi dan hening, mereka memutuskan untuk menciptakan makhluk baru yang dapat menjalankan rencana besar yang telah lama mereka gariskan. Sesosok makhluk yang akan memiliki kekuatan dan kemampuan melampaui batas manusia biasa, tapi cukup fana untuk menjalani dan memahami lika-liku dunia di bawah mereka. Mereka menamainya—Ailan.
Tubuhnya mulai terbentuk dari cahaya yang berputar, menggumpal menjadi sesuatu yang nyata. Rambutnya jatuh bagai untaian salju sejuk yang diam, kulitnya pucat tapi memancarkan sinar lembut, dan sepasang matanya yang masih terpejam tampak menyimpan rahasia dan kenangan yang belum ia sadari. Di antara bintang-bintang yang berkilauan, Ailan, sosok cantik yang akan menjadi pilar harmoni, dirangkai perlahan. Setiap helai energi, setiap tetes cahaya, dan tiap desiran napas yang Celestia tanamkan padanya terpilih dengan cermat.
Begitu kelopak matanya terbuka untuk pertama kalinya, pandangan beningnya menatap langsung ke ruang tanpa batas, ke Celestia yang berkilauan dengan kemegahan yang dingin dan menakutkan.
Ailan merasakan kehampaan yang menyusup ke dalam dirinya. Tidak ada sentuhan, tidak ada suara hangat yang membisikkan namanya untuk pertama kali, hanya tatapan dingin dari entitas yang mengelilinginya—penjaga langit, pemegang takdir. Dia diciptakan bukan untuk dicintai, bukan untuk merasa, tetapi untuk menjalani sebuah misi yang telah ditentukan. Namun, di balik pandangan pertamanya terhadap dunia ini, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang bahkan para entitas Celestia tak bisa memahami—sebuah kesadaran yang hening.
Dia berdiri di hadapan para penciptanya, mendengarkan dengan tenang ketika mereka menjelaskan perannya. “Kau adalah makhluk yang istimewa." Salah satu entitas berbicara dengan nada berwibawa, suaranya bergaung dalam kehampaan di sekitarnya. “Kau akan membawa kehendak Celestia di dunia bawah, di tanah yang disebut Teyvat. Takdirmu telah ditulis, dan kau tidak boleh menyimpang darinya.”
Namun, di dalam batinnya, Ailan merasakan ketidakpuasan yang samar. Ada bagian dari dirinya yang tidak sepenuhnya selaras dengan instruksi ini, seolah-olah ada suara yang berbisik dari masa lalu yang jauh, membisikkan hal-hal yang belum dia pahami. Dia merasakan keberadaan kenangan dari kehidupan yang pernah dijalani, bayangan tentang perasaan yang mendalam—cinta, rasa sakit, kehilangan—semua tersembunyi di lapisan terdalam jiwanya. Setiap kali dia mencoba meraihnya, kenangan itu menjauh, meninggalkannya dengan rasa hampa yang tak terjelaskan.
Celestia memperhatikan keraguan yang muncul dalam matanya dan dengan segera memadamkannya dengan doktrin dan ajaran. Setiap hari, mereka menanamkan ajaran tentang takdir, tentang aturan, dan tentang bagaimana entitas cantik ini harus taat kepada kehendak langit. Namun, semakin banyak yang dia pelajari, semakin banyak pula pertanyaan yang muncul di pikirannya. Mengapa dia tidak diperbolehkan memilih? Mengapa takdirnya harus ditentukan sejak awal? Di dalam hatinya, sebuah kehendak bebas mulai tumbuh, meski samar, cukup untuk menyulut hasrat untuk merasakan kebebasan.
Ailan menghabiskan waktu yang tak terhitung di istana Celestia, memandang ke arah Teyvat dari balik jendela kristal. Dunia di bawah sana tampak sangat indah—padang rumput hijau yang menghampar luas, pegunungan yang menjulang dengan gagah, dan laut yang berkilauan di bawah sinar matahari. Dia melihat para manusia, begitu kecil tapi penuh dengan kehidupan dan cerita. Mereka tertawa, menangis, mencintai, dan membenci—hal-hal yang asing baginya, tapi entah mengapa, hal-hal yang membuat dadanya terasa penuh oleh rasa penasaran yang menggebu-gebu.
Suatu malam, Ailan memberanikan diri untuk bertanya pada salah satu entitas yang mengawasinya, seorang penjaga langit yang sudah ada sejak awal terbentuknya Celestia. “Mengapa aku tidak bisa hidup seperti mereka?” tanyanya, suaranya tenang tapi dipenuhi dengan kebingungan dan rasa penasaran. “Mengapa aku hanya bisa mengamati mereka dari sini, tanpa pernah merasakan apa yang mereka rasakan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoar Si Adeptus Nyasar
FanfictionAilan si adeptus nyasar, yang tersesat di Teyvat dengan ingatan penuh misteri dan kehidupan yang lebih berliku daripada jalan di Liyue. Siapa sangka, di antara perjalanan menemukan jati diri dan mengumpulkan potongan masa lalunya, ada satu pria bera...