viii

394 51 3
                                    

⚠️ mengandung topik sensitif di akhir chap, bisa di skip kalau engga nyaman.

______________________

Sore ini, Gina beserta kedua orang tuanya pergi ke rumah baru Wilona. Sebetulnya, kedua orang tua Gina sudah berniat datang dari tadi pagi―namun rasanya malas, masih capek. Perlu istirahat sebelum memulai adu mulut.

Bel ditekan, dan tidak perlu waktu lama pintu terbuka menampakkan sosok Wilona.

“Ah Om, Tante, Mbak Gina, ayo masuk dulu.”

Gadis itu membuka lebar-lebar pintu, kemudian mempersilahkan mereka bertiga masuk―Wilona hendak pergi ke dapur, namun segera ditahan oleh Gina.

“Enggak usah, Na. Mami kamu dimana?” tanya Gina.

“Mami keluar, katanya ke supermarket. Udah dari tadi kok, mungkin sebentar lagi pulang,” jawab Wilona sekenanya, ia kemudian mengambil tempat disamping Gina.

Gina melempar tatap pada Ayahnya, dan Ayahnya pun mengisyaratkan dirinya untuk pergi membawa Wilona―sebab masalah ini akan dituntaskan oleh mereka saja, para orang tua.

“Na, ikut Mbak yuk,” ajak Gina, tangannya segera raih tangan Wilona dan mengajaknya beranjak buat yang lebih muda kebingungan.

“Tapi Kak aku belum bilang Ma―”

“Gapapa, ikut Mbak Gina aja, kan disini ada Om sama Tante. Kamu enggak akan dimarahin sama Mami,” potong Ayahnya Gina, yang mana buat Wilona menurut.

“Sebentar, aku ambil jaket sama hape dulu, Mbak.”

Setelah berpamitan, Gina segera bawa pergi Wilona. Memacu motornya membelah jalanan kota. Gina sendiri tidak tahu ingin bawa Wilona kemana, karena sang Ayah hanya memintanya bawa Wilona pergi bersamanya, namun kalau bisa jangan dibawa pulang.

“Kita mau kemana, Mbak?” tanya Wilona dengan suara yang sedikit keras agar Gina dapat mendengarnya.

“Enggak tau.”

“Lah? Gimana sih? Yang bener dong, Mbak.”

Gina bergumam, otaknya berpikir cepat hingga akhirnya ia pikirkan satu lokasi.

“Udah, ikut aja ya. Kamu pasti demen nanti.”

Dan setelah kurang lebih lima belas menit tempuh perjalanan, motor Gina akhirnya berhenti di pekarangan rumah orang, yang Wilona sendiri tidak tahu itu rumah siapa.

Rumahnya sederhana namun rapi dengan halaman luas yang ditanami pohon mangga dan rambutan, menjadikan suasananya sejuk. Pun, rumahnya tidak berpagar. Tipikal rumah desa sekali.

“Yuk turun,” titah Gina seraya melepas helm yang lindungi kepalanya.

Wilona menurut, matanya tidak lepas pandangi rumah bercat hijau telur asin dengan sedikit aksen putih itu.

“Ini rumah siapa sih, Mbak? Kenapa aku diajak kesini?” tanya Wilona setelah Gina bantu melepas helm yang terpasang di kepalanya.

“Udah ngikut aja.”

Gina melangkah menuju pintu, sementara Wilona setia mengekori Kakak sepupunya itu. Pintu diketuk beberapa kali dan akhirnya muncul Sekar yang masih kenakan seragam sekolahnya.

“Widih, dengaren,” cibir Sekar seraya menepuk-nepuk bahu Gina, ia belum menyadari eksistensi Wilona yang tubuhnya memang mungil.

(Widih, tumben.)

Gina berdecak, kemudian dengan tidak sopannya langsung menerobos masuk tinggalkan Wilona yang malu-malu.

“Loh? Ada kamu ternyata. Masuk dulu yuk,” ujar Sekar, ia kemudian membuka lebar-lebar pintu, setelahnya mengajak Wilona untuk masuk ke dalam.

Widodari ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang