Jika waktu itu Lauren yang mengunjungi Jordan, maka kali ini sang ayah yang tiba-tiba datang tanpa memberitahu lebih dulu. Pria paruh baya itu memasuki rumahnya sambil menenteng sebuah paper bag berukuran cukup besar.
Tanpa perlu menunggu izin, Gerald duduk di sofa ruang tamu sambil mengamati rumah putranya, "Sepi banget rumah kamu, foto nggak ada, hiasan dinding nggak ada. Cuma ada jam? Papa yakin itu nggak ada baterai."
Jordan berdecak malas, memang sejak malam itu, sifat suka menghina Gerald kembali hadir, "Itu hidup, Pa, bukan pajangan doang."
"Mana anak kamu?" tanya Gerald saat putra semata wayangnya sudah mendudukkan diri di hadapannya.
"Mandi, itu apa?"
Gerald mengikuti arah telunjuk Jordan kemudian mengambil paper bag yang tadi ia bawa, "Seragam kerja."
Jordan jelas sangat antusias membukanya, terlihat sebuah seragam berwarna hitam dengan kerah dan garis memanjang sepanjang dada bagian kanan berwarna merah terang. Ada satu topi dengan warna senada dan juga sebuah celana dasar hitam. Ada juga seragam serupa, namun, kerah dan garisnya berwarna putih.
"Kamu Papa jadikan office boy di perusahaan pusat milik Papa, bukan yang bagian cabang. Kamu tidak keberatan?" tanya Gerald dengan wajah datar.
Gerald sudah memberikan tawaran menggiurkan malam itu, namun, Jordan dengan lantang menolak. Jadi, keputusannya kali ini juga tidak bisa di ganggu gugat.
Jordan menggelengkan kepalanya pelan, "Kapan Jo bisa mulai kerja?"
"Besok, ngomong-ngomong, urusan untuk memulai sekolah kamu sudah siap?"
"Udah, Jo ambil kelas online cuma tiga kali seminggu. Jadi, Jo rasa ini nggak akan menganggu kerjaan Jo," jawab Jordan seraya memasukkan kembali seragam itu ke dalam paper bag.
Gerald menganggukkan kepalanya mengerti, "Kamu tidak malu menjadi seorang office boy?"
"Kenapa harus malu? Tapi, kayaknya pertanyaan itu lebih cocok buat Papa, Papa nggak malu anak Papa jadi office boy di perusahaan Papa sendiri? Bukannya waktu itu Papa marah besar?" tanya Jordan sembari tersenyum tipis, dirinya jelas ingat tamparan yang Gerald berikan saat pria itu mengetahui jika dirinya bekerja menjadi pelayan sebuah restoran.
Gerald memandang tajam putra tunggalnya, pria itu kemudian terkekeh sinis, "Papa lebih malu jika menjadikan kamu sebagai seorang pemimpin yang nggak bisa apa-apa, dan untuk waktu itu, Papa hanya tidak mau kamu bekerja di bawah orang lain."
Jordan tidak bisa menahan senyumnya, ini seperti Gerald ingin membuatnya memulai dari titik terendah, namun, tetap tidak membiarkannya berada di bawah kaki orang lain.
"Makasih udah bantu Jo."
Gerald yang tadi sempat berpaling langsung menatap Jordan lagi sebelum suara langkah kaki kecil membuat atensi mereka teralihkan. Terlihat seorang anak dengan baju kodok berwarna biru itu melangkah mendekati mereka.
"Ava, salim sama Kakek," titah Jordan yang langsung di turuti oleh Lava walaupun dengan perasaan takut-takut.
Gerald sendiri hanya diam saat punggung tangannya di cium singkat oleh Lava. Pria itu mendengus tak suka, "Sudah saya bilang, orang penakut nggak bisa jadi cucu saya."
"Ava berani!" Lava kembali menunduk dalam saat menyadari jika nada suaranya terlalu tinggi, "m-maaf."
"Berani apanya kalau salam saja masih gemetar. Payah," ejek Gerald membuat Lava berlari menuju sang ayah.
Anak itu memeluk Jordan erat, seolah semua yang Gerald katakan membuatnya merasa malu. Jordan menggelengkan kepalanya bingung, bagaimana caranya membuat Lava mengerti akan sikap jahil Gerald?

KAMU SEDANG MEMBACA
BAD PAPA 2 [END]
Fiction générale📌NOTED: Season kedua dari cerita BAD PAPA. Saya menyarankan untuk baca bagian pertama supaya nanti kedepannya tidak kebingungan. Enjoy this story', guys!! ... Keseharian Jordan dan putra kecilnya di rumah yang baru. Sebuah rumah sederhana, namun, p...