"Makan nih undangan, gue nikah duluan!"seru Chenle seraya menyodorkan dua undangan pernikahan nya pada Haechan dan Renjun.
"Anjir. Beneran?"seru Haechan heboh.
"Iya. Jisung gue sat set kan? Mana nih pergerakan Jeno sama Jaemin? Di bawa kesana-sini doang. Di nikahin enggak"sindir Chenle lalu terbahak.
"Jleb. Sakit hati gue"omel Renjun.Ketiganya terbahak.
"Selamat ya. Semoga semuanya lancar sampe hari H"ucap Haechan.
"Makasih ya, sayangku. Ayo desak Jaemin yang udah mepetin Lo sampe 8 tahun tapi masih gini-gini aja"kata Chenle.
"Semoga nggak diare pas acara nikahan deh"cletuk Renjun.
"Mungkin ini alesan Jeno masih mikir ulang buat nikahin Lo"balas Chenle.
"Anjing ah!"
"Ya lagian, doa itu yang bagus. Kayak Haechan"omel Chenle.
"Doa bagus juga nggak bikin gue di nikahin. Liat aja Haechan, boro-boro nikah, di kasih kepastian aja enggak"
"Nah ini baru jleb"kata Haechan lalu ketiga nya kembali tertawa keras.Saat kekurangan mu bisa kau jadikan lelucon, bukankah itu berarti kau sudah berada di titik paling pasrah? Begitu lah yang Haechan rasakan. Dekat dengan lelaki yang ia kenal semenjak kuliah tidak membuat mereka terikat. Alasan klasik pada awalnya. Tidak ingin merusak hubungan jika suatu saat putus. Tapi sekarang? Bahkan jika mereka tidak berakhir bersama pun sepertinya hubungan mereka akan tetap rusak kan?
"Jangan ngelamun, please"kata Renjun sembari menyenggol lengan Haechan.
"Huh? Enggak kok"
"Jaemin Lo dateng tuh"tunjuk Chenle pada lelaki yang baru saja memasuki halaman rumah Haechan.
"Males nih gue, siap-siap jadi patung tak di anggap kita"kata Renjun pada Chenle.
"Pulang aja kita?"tawar Chenle.
"Boleh deh. Abisin minum Lo"
"Eh, nanti dulu. Belum bahas dreass code buat nikahan Lele nih"cegah Haechan.
"Halo, sayang"sapa Jaemin lalu berlari mendekat pada Haechan untuk mengecup pelipis si manis.
"Kan? Apa gue bilang? Kita cuma patung"omel Renjun.
"Lo mau gue cium juga? Apa gimana?"tanya Jaemin tengil.Plakk
"Yang bener coba kalo ngomong"kata Haechan dengan wajah kesal.
"Bercanda, sayang ku"
"Sayang doang, pacaran enggak"sindir Chenle.
"Kita pulang ya? Nanti masalah nikahan kita bahas di telpon aja"kata Renjun sembari berdiri.
"Siapa yang mau nikah?"tanya Jaemin.
"Gue. Kalah Lo sama Jisung gue"jawab Chenle lalu Jaemin terkekeh.Setelah Renjun dan Chenle pergi, Haechan mengajak Jaemin untuk masuk ke dalam rumah.
"Jaemin"panggil Haechan yang saat ini duduk di pantry sedangkan Jaemin memasak makan malam.
"Kenapa, sayang?"tanya Jaemin dengan suara lembut nya.
"Aku mau tanya boleh nggak?"
"Tanya aja. Kenapa? Ada apa? Tapi aku sama masak ya?"
"Iya nggapapa"Hening sebentar sampai Jaemin melirik ke arah Haechan yang terlihat tengah ragu.
"Sayang?"panggil Jaemin.
"Hm?"
"Nggak jadi tanya?"tanya Jaemin.
"Eummm kita ini apa?"pertanyaan Haechan akhirnya terlontar setelah hening lama.Jaemin meletakkan beberapa piring berisi sayur dan lauk sebelum beralih pada Haechan yang terlihat menanti jawaban nya.
"Aku mandi dulu ya? Kita makan bareng. Masih ada baju aku disini kan?"tanya Jaemin.
"Di lemari kamar tamu baju kamu"jawab Haechan.
"Oke. Makasih, sayang"Lelaki tinggi itu segera berlalu setelah mengusap pipi Haechan dengan sangat lembut. Haechan menghembuskan nafasnya berat. Lagi. Jaemin menghindari pertanyaan itu lagi. Mau sampai kapan? Ia sudah mencoba sabar, tapi tahun ini sepertinya ia mulai jengah. Beberapa teman mereka sudah bertunangan atau menikah. Jika tetap begini bagaimana nasib nya? Cita-cita ingin memiliki anak banyak tidak akan bisa terwujud jika Jaemin tidak menegaskan hubungan keduanya.
"Masih mau sabar nggak, Chan?"tanya Haechan pada dirinya sendiri.
.
.
.
Layar ponsel itu masih tetap saja hitam. Sejak dua jam yang lalu Jaemin tidak memberi kabar apapun padahal jam kerja Haechan hampir selesai. Sekedar menanyakan apa ia sudah makan seperti biasa saja tidak. Lima menit kemudian nada pesan masuk, Haechan segera membuka pesan yang memang dari Jaemin itu.