“Oh iya, lusa nanti akan ada perayaan malam satu suro. Di desa ini, setiap malam satu suro akan diadakan pertunjukan seni dan syukuran. Biasanya warga-warga bakal bawa makanan yang banyak terus dimakan rame-rame, seru kan?”
Gadis berambut sebahu itu bercerita dengan penuh semangat sambil menatap ke arah teman-temannya yang tengah berkumpul di joglo, menikmati pisang goreng dan kopi yang menemani obrolan malam mereka.
“Malam satu suro bukannya identik sama hal-hal mistis ya?”
“Mistis mulu isi pikiran lo. Lupa kah, kalau malam satu suro atau malam satu Muharram itu juga termasuk malam yang baik buat umat islam? Makanya kita dianjurkan buat baca doa awal tahun sama akhir tahun, tambahin ngaji juga biar hidup lo gak sial mulu, Aldo!”
“Tuh kan, lo sih. Jadi ceramah kan nih pak ustadz.” Mereka semua tertawa mendengar celetukan Muthe. Sementara orang yang mereka sebut ‘pak ustadz’ adalah Gitar. Laki-laki tampan itu memang pernah menimba ilmu di pondok pesantren jadi tak heran dia memiliki pengetahuan agama yang luas.
Bisa dibilang, dia yang paling lurus lah diantara teman-temannya yang lain. Heran juga kenapa Gitar bisa kecemplung ke sirkel pertemanan mereka. “Ampun, Kak Git… ampun. Bercanda doang.”
“Awas ya kalau sampai kenapa-kenapa, gue gak bakalan mau ngeruqyah kalian.”
“Yah… pundung.”
Canda dan tawa kian menambah kehangatan suasana malam yang terasa dingin menusuk. Masih menggoda Gitar—si manusia kulkas yang sering kali disegani oleh mahasiswa di kampus—sampai tak ada lagi topik yang bisa mereka bahas.
Kopi yang ada di teko perlahan mulai mendingin dan pisang goreng yang ada di baskom tersisa setengah. Freya mencomot satu pisang goreng, ceritanya belum selesai. “Tapi kalian tau gak, ada mitos soal desa ini yang diceritakan secara turun-temurun dan masih dipercaya sama warga desa sampai sekarang?”
“Jangan bahas yang serem-serem ah, gue jadi takut.” Ashel merapatkan tubuhnya ke arah Marsha, memeluk lengan gadis berkulit terang itu ketakutan.
“Cupu banget lo,” cibir Marsha menatap sinis Ashel yang memilih untuk tidak mendengar perkataan Marsha barusan.
“Mitos apaan tuh, Fre?” pancing Aldo yang kelihatan tertarik dengan topik yang diangkat Freya. Ia pun menuangkan kopi yang sudah dingin ke dalam cangkir miliknya.
Perempuan pemilik senyum manis karamel itu tersenyum miring, “Jadi kalau dari cerita yang aku dapat dari Kakek dan teman-teman aku disini. Karena desa ini letaknya ada di lembah gunung dan di kelilingi hutan, ada satu pantangan yang sama sekali gak boleh dilanggar sama penduduk desa.”
Semuanya terlihat antusias mendengarkan, “Ada gapura kecil sebagai penanda wilayah hutan dan wilayah desa. Kalau ada yang berani melanggar masuk ke dalam hutan, bisa dipastikan dia gak akan pernah bisa kembali lagi. Menurut orang-orang tua yang sakti, tempat itu dijaga sama sosok makhluk berwujud setengah ular.”
"Berwujud setengah ular?" Freya mengangguk sebagai jawaban dari kebingungan Marsha.
"Dia yang menjaga para lelembut di hutan supaya gak menganggu warga desa. Maka dari itu orang-orang di desa masih menjaga kepercayaan leluhur, gak heran banyak yang masih menaruh sesajen di beberapa tempat. Cuma buat menjaga keseimbangan dengan makhluk tak kasat mata yang hidup berdampingan sama kita aja sih, begitu! Eh, kok pada tegang banget?”
Belum ada yang berani membuka suara menanggapi cerita Freya barusan, mereka sibuk menghela nafas yang sempat tercekat beberapa saat dan menenangkan degup jantung masing-masing. Perasaan merinding kali ini terasa berbeda.
Angin malam yang berhembus entah kenapa terasa lebih dingin dari biasanya bercampur aroma dupa yang terbakar di sudut lain joglo.
_____
Arc.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Curse
FanfictionManusia dan makhluk tak kasat mata sejatinya hidup secara berdampingan di alam semesta. Namun, bagaimana jika manusia dengan kesombongannya telah mengusik keseimbangan 'batasan' antara kedua alam ini?