Enjoy❤️❤️❤️
***
"Ketika kamu memberikan seluruh waktumu untuknya, tapi dia hanya memberikan separuh waktunya untukmu."
Sheren menatap lurus layar laptopnya. Dia baru saja mulai menulis lagi cerita baru, cerita lain yang tiba-tiba terbesit di pikirannya beberapa saat lalu.
Sebagai seorang penulis, Sheren harus bisa memanfaatkan waktu. Dimanapun, kapanpun ide muncul di pikirannya, Sheren harus segera menuangkan ke dalam tulisan atau dia akan lupa.
Penulis adalah pekerjaan yang fleksibel, memang. Tidak terikat dengan kantor, jam kerja, ataupun atasan. Tapi dia tetap mempunyai partner yang menerbitkan karya-karyanya, dan itu membutuhkan target. Mereka tidak peduli dengan proses, yang penting adalah Sheren menyetorkan naskah untuk di terbitkan menjadi buku.
Meski gaji nya tidak seberapa, tapi Sheren merasa cukup. Karena dia mencintai pekerjaan ini.
Katanya, pekerjaan yang menyenangkan adalah hobby yang di bayar. Dan benar. Sheren sudah membuktikannya.
Setidaknya, saat dia menulis dia bisa memfokuskan diri menjadi setiap karakter di ceritanya. Melupakan perihal jalan hidupnya sendiri yang tidak seindah karya-karya tulis itu.
Terutama dalam hal percintaan.
Di dalam karya, kisah cintanya abadi dan bahagia.
Tidak ada perasaan sedih karena ditinggalkan. Tidak ada akhir duka, tidak ada hidup kesendirian. Semua ceritanya selalu Sheren akhiri dengan bahagia.
Cukup kehidupan nyatanya yang pahit, jangan rusak lagi dunia imajinasinya.
Di tengah waktu jemarinya menari di atas keyboard laptop, Sheren menyempatkan diri untuk meminum ice americano-nya. Teman setia yang tidak pernah luput untuk menemaninya menulis.
Kalau ada yang bilang Americano itu pahit, Sheren rasa orang itu belum merasakan pahit yang sebenarnya dalam kehidupan.
Karena sebelumnya pun Sheren begitu. Dulu, saat masih SMA, dia penyuka minuman cokelat. Kopi yang dia minum paling-paling hanya Latte.
Tapi semuanya berbeda, sejak satu-persatu hal yang Sheren miliki pergi.
Di mulai dari dia, yang entah kemana dan bagaimana kabarnya sekarang. Kemudian kehidupan keluarganya yang berantakan karena orang tua nya ditipu orang lain. Ketika Papa nya pergi, meninggalkan Sheren dan Mama nya. Semua itu Sheren lewati, seorang diri.
Hah. Rasanya tidak akan cukup menceritakan pahitnya kehidupan Sheren di sini. Lagipula, untuk apa di ceritakan?
Lukanya biarlah hanya Sheren yang tahu. Sejauh ini, hatinya telah sangat kuat bertahan. Meski tidak akan bisa lagi mengembalikan perasaan sehatnya yang dulu.
Iya, Sheren sakit. Lebih tepatnya, hatinya sudah terlanjur sakit untuk menerima segala jenis cinta di hidupnya.
***
"Parviz, tadi itu meeting yang terakhir kan? Apalagi jadwal abis ini?"
"Betul, Pak Richie. Yang tadi agenda terakhir. Setelah ini Bapak bisa istirahat pulang."
Richie mengangguk, "Kalau gitu stop ngomong formal. Geli gue dengernya lama-lama."
Parviz tertawa, "Ya tadi kan ada client, masa gue ngomong modelan begini sama bos gue."
Parviz masih sepupu-an dengan Richie. Sekarang mereka bekerja bersama, dimana Parviz menjadi asisten pribadi-nya Richie, karena dia bisa diandalkan.
Richie menatap dingin pada Parviz, "Anter gue cari kopi ya, cari cafe yang deket-deket sini aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Bersyarat
General FictionKarena sampai kapanpun, yang namanya cinta tidak akan pernah bersyarat, katanya. Nyatanya?