Enjoy❤️❤️❤️
***
"Kamu harus putus sama Alian, Sheren. Beberapa bulan lagi ujian kelulusan, kamu harus fokus sama sekolah kamu."
Sheren yang baru pulang sekolah langsung cemberut mendengar ucapan Mama nya, "Aku bisa fokus kok, Mam. Kalau aku putus, yang ada malah makin kacau pikiran aku."
"Mau sampai kapan sih, kamu pacaran sama dia? Kamu tau kan kalau Papa kamu gak suka kamu pacaran sama Alian?"
"Papa cuma belum kenal Lian, Mam. Nanti juga lama-lama Papa bisa nerima Lian kok, aku yakin."
"Kamu itu masih SMA, Sheren. Cinta kamu sekarang cuma cinta monyet, jangan terlalu kamu bawa serius."
Selalu begitu.
"Mama kenapa sih, Mam? Bukannya bantuin aku supaya Papa bisa nerima Lian dengan baik, ini malah kaya ngedukung Papa. Mama gak sayang ya sama aku?"
"Justru karena kami sayang sama kamu, Sheren. Kami mau yang terbaik buat kamu. Apalagi kalau soal jodoh, gak bisa sembarangan itu."
"Kenapa, Mam? Karena menurut kalian Lian bukan kalangan orang berada kaya kita? Iya? Mam, Lian itu pinter. Aku yakin hidupnya bakal berubah kalau dia udah mulai kerja nanti."
Mama Sheren masih fokus dengan segelas teh miliknya. Tapi wejangan-wejangan itu belum juga berhenti terucap untuk Sheren.
"Nanti itu masih lama, sesuatu yang belum pasti. Gak ada yang bisa di pegang dari sekedar kata nanti, Sheren."
Sheren benar-benar muak. Padahal dia masih SMA? Ujian kelulusan pun baru mau. Kenapa orang tua nya sudah ribut soal kesetaraan dalam mencari jodoh?
Bukannya tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti? Entah besok, lusa, bulan depan, tahun depan. Siapa yang akan tahu soal takdir?
"Terserah Mama. Aku cape."
***
"Sabar, Sheren. Biar gimana juga mereka orang tua kamu. Jangan suka ngelawan kaya gitu ah,"
Lian tetaplah Lian. Si tenang yang sabarnya seluas lautan. Meski dia tahu bagaimana orang tua Sheren tidak menyukainya, Lian tetap bersikap baik pada mereka.
Dan tentu, dia tetap bertahan di sisi Sheren.
"Tapi soal jenjang kehidupan, kamu bener, Sheren. Aku gak akan diem aja buat memperbaiki kehidupan aku. Senggaknya, aku bakal berusaha ngelakuin apapun supaya orang tua kamu ngeliat aku pantes buat kamu."
Ya ampun, Lian.
"Li, maafin mereka ya?"
Lian tersenyum, "Gak apa-apa, aku ngerti kok. Sangat ngerti kenapa mereka kaya gitu. Mereka sayang sama kamu, Sheren."
Sheren menyandarkan kepalanya pada bahu Lian. Rasanya nyaman. Lian selalu menjadi tempat ternyaman nya untuk pulang.
"Ah iya, aku mau nunjukin sesuatu ke kamu, Sheren," Lian membuka tas sekolahnya, mengeluarkan selembar kertas yang langsung menarik perhatian Sheren.
"Lian, ini--"
"Iya, aku mau ikut program beasiswa ke Melbourne. Kalau aku bisa kuliah di sana, jenjang karier aku mungkin bisa lebih baik ke depannya. Di sana juga katanya lebih gampang buat kuliah sambil kerja."
Dengan kecerdasan yang Lian punya, bukan tidak mungkin dia bisa mendapatkan beasiswa itu. Dan tentu, Sheren ikut senang jika hal itu terjadi.
Tapi di sisi lain, artinya Sheren dan Lian akan berpisah negara, dalam waktu bertahun-tahun lamanya.
Kalau Sheren minta pada orang tua nya kuliah di Melbourne juga, rasanya orang tuanya tidak akan merestui. Sheren ini anak satu-satunya, perempuan pula.
"Tapi, Lian, kalau kamu kuliah di sana, artinya kita LDR?"
Lian mengangguk pelan, "Gak apa-apa kan? Lagi pula sekarang udah banyak cara buat komunikasi jarak jauh. Kita masih bisa video call, telepon, gak akan susah."
Benar. Sheren tahu Lian tidak akan membuatnya merasa sulit. Keadaan apapun akan mudah untuk mereka lewati.
"Sheren? Gak apa-apa kan?" tanya Lian sekali lagi.
Sheren mengangguk, "Gak apa-apa, Li. Demi masa depan kita."
Lian tersenyum, memeluk Sheren. Dan tentu, Sheren membalasnya.
***
Masa ujian sudah terlewati dengan baik. Saat ini, Sheren sedang menunggu Lian di depan ruang BK. Cowok itu sedang mengambil hasil dari program beasiswanya. Meski Sheren tidak ikut, tapi dia ikut merasakan berdebar saat ini.
"Apapun hasilnya, pokoknya lo harus keliatan seneng, Sheren. Jangan ngebebanin Lian!" ucap Sheren pada dirinya sendiri.
Tepat saat itu, Lian keluar dari ruang BK. Wajahnya sedikit kusut. Apa mungkin dia gagal?
"Lian, gimana?" tanya Sheren hati-hati.
"Maaf, Sheren. Aku..." Sheren menunggu jawaban Lian dengan harap cemas, "Aku berhasil, aku dapet beasiswa nya, Sheren!"
Wajah Lian yang semula di tekuk kini tersenyum bahagia. Begitupun Sheren, dia senang mendengar berita ini.
"Aaaa, Lian! Selamat!!!"
Hari itu, mereka merayakan kebahagiaan mereka. Hanya dengan cara sederhana, makan di rumah Bibi nya Lian.
Berhubung orang tua Lian sudah meninggal, Lian dan adiknya kini tinggal bersama Bibinya yang juga sebatang kara. Meski hidup sederhana, mereka saling melengkapi. Dan Sheren dapat merasakan hangatnya kasih sayang di sana.
Kebahagiaan sederhana yang mampu menutupi rasa takut Sheren. Rasa takut yang tidak bisa dia ceritakan pada Lian. Sekali lagi, Sheren tidak mau Lian terbebani dengan perasaan kekanak-kanakan nya.
***
"Kamu janji bakal cepet pulang kan, Lian? Kamu gak akan lupain aku kan?"
Hari ini adalah hari keberangkatan Lian. Sheren ikut mengantarnya ke bandara. Hanya Sheren sendiri, sementara adik Lian harus bersekolah dan Bibi nya bekerja.
"Aku janji, Sheren. Nanti setiap ada kesempatan, aku pasti hubungi kamu. Tapi aku harap, kamu juga bisa ngerti situasinya kalau aku sibuk."
"Aku juga bakal berusaha di sini, Li. Supaya waktu kita ketemu lagi, kita udah sama-sama berhasil. Bukan cuma kamu, tapi aku juga bakal memantaskan diri di sini."
"Makasih, Sheren. Makasih karena kamu udah pilih buat sabar nungguin aku. Jaga diri kamu baik-baik ya? Jaga kesehatan. Jangan sering ngelawan ke orang tua. Kuliah yang bener. Kalau ada cowok yang deketin, bilang kamu udah punya pacar, namanya Lian. Jangan mau di ajak jalan sama cowok lain meskipun di jemputnya pake BMW."
Sheren sedikit tertawa mendengar celotehan Lian. Tawa yang tidak lama berubah menjadi tangis. Rupanya Sheren belum sekuat itu untuk menahan rasa sedihnya. Pada akhirnya, Sheren memilih menyembunyikan wajahnya di pelukan Lian.
"Hey, jangan nangis. Aku pasti pulang."
Sheren mengangguk, "Aku bakal kangen banget sama kamu, Li."
"Aku juga, Sheren. Aku juga. I love you, Sheren Valencia."
"I love you too, Alian Zaidan."
Di hari itu, pelukan Lian terasa lebih hangat. Sangat hangat untuk sebuah pelukan perpisahan.
Tidak. Mereka tidak berpisah. Mereka hanya berjarak. Lian sudah berjanji akan pulang kepada Sheren. Dan Sheren akan selalu menunggu Lian.
Rasa takut dan cemas Sheren semakin menghantui, terlebih ketika sosok Lian mulai menghilang dari jarak pandang matanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Bersyarat
General FictionKarena sampai kapanpun, yang namanya cinta tidak akan pernah bersyarat, katanya. Nyatanya?