Bab 3: Rasa yang Mulai Berbeda

1 1 0
                                    

Hari-hari berlalu, dan hubungan antara Arjuna dan Laras semakin akrab. Mereka sudah seperti bayangan satu sama lain-di mana ada Laras, di sana pula ada Arjuna. Namun, di balik tawa dan canda mereka, hati Arjuna mulai terusik oleh perasaan yang lebih rumit.

Suatu siang di sekolah, saat jam istirahat, Arjuna sedang berbincang dengan teman-temannya di kantin. Tiba-tiba, ia melihat Laras sedang berbicara dengan seorang teman laki-laki dari kelas lain. Laki-laki itu tampak ramah dan sering membuat Laras tertawa, sementara Arjuna hanya bisa melihat dari kejauhan, dengan perasaan yang bercampur aduk.

"Ada apa, Jun? Kok ngelamun?" tanya salah satu temannya, mengagetkan Arjuna dari lamunannya.

"Oh, nggak... nggak apa-apa," jawab Arjuna sambil memaksakan senyum. Namun, matanya tetap tak bisa lepas dari Laras dan teman laki-laki itu. Ia merasa perutnya seperti diaduk, ada rasa tidak nyaman yang tidak bisa ia jelaskan.

Arjuna pun berdiri dan memutuskan untuk pergi menghampiri Laras. Saat ia mendekat, Laras tersenyum kepadanya dengan hangat.

"Jun! Ini Dimas, temen dari kelas sebelah," kata Laras memperkenalkan teman barunya dengan ramah. "Dimas ini pandai main gitar lho, dia sering tampil di acara sekolah."

Arjuna mencoba tersenyum dan mengulurkan tangannya kepada Dimas. "Oh, ya? Wah, keren juga," ucapnya singkat, berusaha tetap ramah meski ada perasaan cemburu yang menyelinap dalam hatinya.

Dimas mengangguk sopan, lalu kembali berbicara dengan Laras tentang topik musik. Sementara itu, Arjuna hanya berdiri di samping mereka, merasa seperti orang ketiga yang tidak diinginkan. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada jarak di antara mereka-sebuah perasaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

-----

Beberapa hari kemudian, Arjuna dan Laras berjalan pulang sekolah bersama seperti biasa. Namun, kali ini Arjuna lebih banyak diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Arjuna, kamu kenapa? Dari tadi murung gitu?" tanya Laras tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.

Arjuna terkejut, lalu berpura-pura tersenyum. "Ah, nggak apa-apa, kok. Mungkin aku cuma kecapekan aja."

Laras memandangnya dengan tatapan khawatir. "Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, kamu bisa cerita dengan ku kok."

Arjuna menunduk sejenak, berpikir untuk mengungkapkan perasaannya, tapi rasa takut menghalanginya. Ia tidak ingin merusak persahabatan mereka hanya karena perasaan yang sulit ia kendalikan.

"Ya... aku cuma merasa akhir-akhir ini kamu sibuk dengan teman baru mu," jawabnya perlahan.

Laras tersenyum kecil dan meraih tangan Arjuna. "Hei, jangan berpikir begitu. Kamu tetap sahabat terbaikku. Siapa pun teman-teman ku, kamu nggak akan tergantikan."

Kata-kata itu seharusnya menenangkan Arjuna, tapi justru membuatnya semakin sadar akan perasaannya. Ia tahu bahwa Laras memandangnya sebagai sahabat, dan itu saja sudah cukup membuatnya bersyukur. Namun di balik rasa syukurnya, ada keinginan yang lebih besar untuk berada di sisi Laras bukan hanya sebagai sahabat.

-----

Di malam hari, saat Arjuna berbaring di tempat tidurnya, ia merenungkan perasaannya yang semakin kuat terhadap Laras. Ia mencoba memejamkan mata, namun bayangan Laras terus muncul di benaknya. Suara tawanya, senyumnya, dan tatapan lembutnya yang selalu membuat hati Arjuna berdebar.

"Apa ini... yang namanya cinta?" pikir Arjuna dalam hati. Ia tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya, namun ia tahu bahwa perasaannya terhadap Laras bukan lagi sekadar persahabatan.

Namun, di sisi lain, Arjuna merasa ragu. Ia takut jika ia mengungkapkan perasaannya, semuanya akan berubah. Ia takut Laras akan menjauh, dan ia tidak ingin kehilangan kehadirannya di hidupnya.

"Apa yang harus aku lakukan? Aku nggak ingin kehilangan Laras," bisik Arjuna pada dirinya sendiri.

-----

Keesokan harinya di sekolah, Arjuna berusaha bersikap biasa saja di depan Laras, meski hatinya penuh dengan kebingungan. Saat jam istirahat, mereka kembali duduk di bawah pohon di belakang sekolah, seperti yang biasa mereka lakukan.

"Jun, kamu suka nggak duduk di sini?" tanya Laras sambil menatap langit biru yang cerah.

"Ya, aku suka... apalagi kalau duduknya sama kamu," jawab Arjuna tanpa sadar apa yang baru di ucapkannya, lalu ia tersipu setelah menyadari ucapannya.

Laras tertawa kecil, tidak menyadari perasaan Arjuna yang sebenarnya. "Aku juga senang duduk di sini sama kamu. Kamu itu teman yang paling mengerti aku."

Arjuna terdiam, merasakan debaran di dadanya semakin kuat. Ia ingin sekali mengungkapkan perasaannya, tapi rasa takut masih mengikat lidahnya. Akhirnya, ia hanya bisa tersenyum dan menikmati momen itu, berharap suatu saat nanti ia akan memiliki keberanian untuk jujur terhadap perasaannya.

Di saat yang sama, Arjuna menyadari bahwa perasaan ini mungkin akan tetap tersimpan dalam hatinya, tanpa pernah terungkap.

A Love Left BehindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang