2. Harapan untuk orang baik

9 0 0
                                    

Bukankah memberikan sakit kepada orang yang memiliki banyak kebaikan terdengar tak adil?

Haruna Asami🦋

Meja makan nampak sepi, ya Haruna sudah tak perlu merasa aneh karena setiap harinya begini. Kursi hanya terisi oleh Haruna dan kadang-kadang jika sempat kakaknya juga sarapan bersama. Kedua orang tuanya tak selalu berada di rumah, mereka lebih memilih berkencan dengan bisnis. Nenek? Wanita tua itu lebih sering sarapan di kamar. Ya semakin tua, makin malas pula untuk berjalan keluar kamar.

"Pagi Neng Haru!" Haruna menganggukan kepala ketika Elis, asisten rumah tangganya menyapa dengan senyum hangat.

"Kak Aksa belum bangun bi?"

"Masih di kamar neng, katanya suruh neng Haru sarapan duluan aja," jawab Elis sambil menyajikan beberapa lauk di piring Haruna, setelah itu wanita tiga puluh tahun tersebut kembali ke dapur untuk mengerjakan sisa pekerjaan yang belum terselesaikan. Tinggalah Haruna seorang diri di meja makan

Meski tak ada kelas pagi kakaknya itu bukanlah orang yang lebih memilih tiduran di kasur sampai siang dan melewatkan sarapan. Makannya Haruna merasa aneh ketika Bi Elis mengatakan Aksa masih di kamar padahal sudah pukul tujuh tepat. Mungkin setelah menyelesaikan sarapan Haruna akan sempatkan ke kamar pemuda itu ya setidaknya sambil berpamitan akan berangkat sekolah.

Ngomong-ngomong hari ini selasa. Pelajaran pertama adalah olahraga, Haruna sedikit benci dengan pelajaran satu itu. bukan karena ia bodoh atau lemah fisik. Disanalah kesempatan emas orang-orang yang tak suka dengannya menjahili atau membuat rencana agar Haruna malu. Jika bisa dipilih antara pelajaran olahraga atau Matematika maka Haruna akan memilih Matematika meski dirinya harus dilempari banyak buku dan disuruh mengerjakan tugas milik orang lain setidaknya Haruna tak dipermalukan di depan banyak orang.

Ting....

Denting sendok yang diletakkan Haruna di piring menandakan ia telah usai dengan sarapan pagi ini. Segera anak itu bangkit dari duduk dan cangklong tasnya. Sesuai rencana di otak, ia akan pergi ke kamar Aksa terlebih dahulu. Mana tau Aksa tergerak juga untuk mengantar Haruna ke sekolah. Haruna lelah jika lagi-lagi harus menunggu bus.

Tok

Tok

Tok

Tiga kali diketuk namun hanya ada keterdiaman, biasanya Aksa akan langsung membuka pintu. Haruna gak menyerah, ia mencoba sekali lagi dan masih sama. Selelap itukah kakaknya?
Tidak ada pilihan lain, Haruna mengucapkan beribu kata maaf jika ia tidak sopan membuka kamar sang kakak tanpa izin.

Kriettt.

"Kak Aksa masih tidur jam segini?"

Setelah pintu terbuka Haruna berjalan masuk ke kamar Aksa. Nampak sekali pemuda tersebut tidur dengan posisi tengkurap terbalut selimut tebal. Di nakas, bungkus martabak kemarin yang dimakan bersama Haruna sudah sedikit dikerubungi semut, sepertinya lupa membuang.

Haruna menggoyang-goyangkan tubuh Aksa berulang kali namun tidak ada respon, awalnya ia biasa saja namun sedetik kemudian kelopak matanya melebar kala dapati bercak darah di seprai Aksa dan itu bersumber dari mulut sang kakak, darah tersebut nampak masih sedikit basah. Sepertinya belum lama.

Kepanikan dan ketakutan menyelimuti Haruna. Usahanya sia-sia dengan menepuk pipi pemuda tersebut dan mengguncang tubuhnya. Haruna tak bisa membayangkan bagaimana kesakitannya Aksa tadi. Air mata pun telah mengalir di pelupuk matanya.

Segera Haruna berlari keluar kamar untuk mencari pertolongan. Kakaknya harus segera diberi tindakan medis sebelum terlambat. Disaat seperti ini Haruna benci kenapa ia seolah tak berguna, tak bisa berteriak memanggil bantuan karena kekurangannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HarunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang