Chap 1

36 3 0
                                    

---

Di bawah langit yang kelam, bulan menggantung rendah, memancarkan cahaya temaram yang membias di jalan-jalan sempit dan basah. Embun malam terasa pekat, mengaburkan pandangan dan membekukan udara sekitarnya. Suara jangkrik saling bersahutan dari semak-semak, seakan menyusun melodi yang hanya terdengar di waktu malam.

Di sudut jalan, di bawah lampu yang berkedip-kedip kehabisan daya, seorang pria berdiri sendiri. Bayangannya terpantul lemah di genangan air, terlihat samar namun tetap mencerminkan kesepian. Matanya menatap lurus ke depan, namun tatapannya kosong, seolah menyimpan sesuatu yang tak tersampaikan, terpendam dalam keremangan malam yang bisu.

"Kapan derita gue berakhir?" bisiknya, hampir tak terdengar di antara keheningan.

"Haruskah gue mati dulu biar kematian Lily terbayar, biar mereka berhenti nuduh gue lagi?"

Hening. Jawaban yang dia tunggu tak pernah datang. Suara jangkrik, angin yang berhembus dingin, dan kerlap-kerlip lampu yang mulai redup adalah satu-satunya yang menemani. Dalam sunyi itu, dia merasa semakin terperosok. Kenangan tentang Lily hadir, berkelebat seperti bayangan-bayangan hantu yang memburunya setiap malam.

Dia menghela napas panjang, terasa berat seakan mengeluarkan beban yang tak tertanggungkan. Perlahan, dia menutup matanya, mencoba mengusir bayangan itu dari pikirannya, tapi sia-sia. Rasa bersalah itu terlalu dalam, terlalu nyata, merantai dirinya di masa lalu yang kelam.

Tetesan air hujan jatuh satu-satu, menyusul genangan di bawah kakinya. Seolah langit pun turut merasakan kepedihannya, meneteskan air mata untuk luka yang tak bisa dia bagi dengan siapa pun.
_
_
Suara nada dering dari handphone-nya memecah lamunan yang dalam. Tanpa ragu, ia merogoh saku dan mengangkat telepon yang sudah lama berdering di seberang sana.

"Sialan, kenapa telfon gue dari tadi gak Lo angkat? Kalau mau mati, mati aja sana. Jangan nyusahin orang! Gara-gara Lo, gue harus rela baju gue basah. Pulang Bangsat, ibu nyariin Lo!" Suara di ujung telepon itu terdengar begitu marah dan penuh kebencian, seolah semua kesalahan ditimpakan padanya.

Ia menundukkan kepala, merasakan berat di dadanya. Kata-kata itu menyayat, tapi tidak cukup untuk menghilangkan rasa takut yang mengendap di dalam hatinya. Takut pulang, takut kembali ke rumah itu, bukan karena dirinya takut dihukum, tapi karena ia merasa ada sesuatu yang lebih gelap yang mengintai, sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari sekadar kemarahan.

Ia takut jika pulang, ibunya bukan benar-benar mengkhawatirkan dirinya. Bukannya merasakan kasih sayang seorang ibu, ia merasa ibu hanya ingin melihat sejauh mana ia bisa bertahan dengan penyesalan yang membebaninya—penyesalan karena kematian Lily. Namun, yang lebih membuatnya tertekan adalah kenyataan bahwa ia bahkan tidak tahu bagaimana Lily bisa meninggal.

Kenangan itu kembali menyeruak, bayangan saat ia menemukan adiknya tergeletak tak bernyawa di kolam renang rumah mereka. Air yang dingin, tubuh yang kaku, dan rasa panik yang langsung menyerang dirinya.

Mungkin itu yang membuatnya terburu-buru menarik tubuh adiknya keluar dari kolam, membawanya ke atas dengan harapan bisa menyelamatkan, tanpa mengetahui bahwa setiap gerakannya justru semakin menjeratnya dalam kebingungannya.

Apakah itu yang membuat orang-orang menuduhnya? Apakah hanya karena usahanya untuk menyelamatkan adiknya, mereka berpikir ia lah yang menyebabkan semuanya? Ia tak tahu jawabannya, dan ketakutan itu semakin menyesakkan.

Pada akhirnya, ia harus pulang ke rumah yang kini terasa bukan lagi rumah. Tempat itu terasa lebih seperti neraka dalam hidupnya, penuh dengan deru amarah, ocehan, dan cacian yang seolah sudah menjadi irama yang tak pernah berhenti.

Suara-suara itu terus bergema di telinganya, memekakkan, menambah berat beban yang tak pernah hilang. Ia merasa seperti berada di dalam perangkap, tak ada jalan keluar, kecuali untuk pergi jauh dari sana.

Namun, rasa bersalah yang terus membayangi dirinya, seolah menjadi rantai yang mengikat, membuatnya tetap terperangkap dalam rumah yang penuh kebencian itu.

Ia tidak tahu apakah yang terjadi itu benar atau salah. Namun, satu hal yang pasti, ia merasa bersalah atas kematian Lily, meskipun ia tahu ia bukan pelakunya.

Perasaan bersalah itu tumbuh, karena ia merasa tidak pernah memberi perhatian yang cukup pada gadis kecil itu. Rasa cemburu yang terpendam pada perhatian keluarganya yang selalu terfokus pada Lily, membuatnya merasa diabaikan, seolah tak ada tempat untuk dirinya di antara mereka.

Ia tidak pernah membenci Lily. Gadis itu hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Namun, perasaan acuh tak acuhnya terhadap Lily, ketidakhadirannya saat gadis itu membutuhkan perhatian, ternyata membawa dampak besar.

Ketika Lily terjatuh ke dalam kolam, tidak ada seorang pun yang menyadarinya, sampai akhirnya ia sendiri yang menemukan dan mencoba untuk menolong. Tapi, usahanya itu malah menambah kesalahpahaman.

Orang tuanya, bahkan abang pertamanya, menuduhnya sebagai penyebab kematian Lily, seolah ia sengaja mengabaikan atau bahkan membiarkan hal itu terjadi.

Tuduhan itu semakin menghancurkannya. Mereka tidak pernah memberinya kesempatan untuk menjelaskan, tidak pernah memberi ruang untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

Dan sampai sekarang, ia masih terjebak dalam kesalahan yang tidak pernah dimaafkan. Sungguh, ia merasa seperti menjadi musuh dalam keluarganya sendiri, terpinggirkan dengan segala kebencian yang mereka lontarkan.

_
_
Malam itu, ia pulang dengan tubuh yang sudah lelah, seolah telah dihantam oleh batu yang keras berkali-kali.

Setiap langkah terasa berat, seolah beban yang ada di pundaknya tak pernah hilang, malah semakin menambah rasa sakit yang terpendam.

"Kukira udah mati," suara yang familiar membuatnya menoleh. Wanita yang melahirkannya, yang seharusnya memberinya sedikit ketenangan, kini hanya duduk di sofa dengan wajah datar, tanpa ekspresi. Tanpa rasa ingin tahu, tanpa sedikit pun perhatian.

"Maaf, Bu, tadi Dika ke rumah temen sebentar," jawabnya pelan, merasa sudah tidak ada lagi harapan untuk mendapatkan perhatian dari ibunya. Kata-katanya hampir terbuang sia-sia di udara.

"Aku gak nanya," jawab sang ibu dingin, "Gak pernah khawatir sama pembunuh. Kupikir tadi udah mati, makanya gak pulang." Suara itu tajam, penuh kebencian yang tak terungkapkan sepenuhnya. Dengan itu, sang ibu bangkit dan pergi ke kamarnya, meninggalkan Dika yang terdiam di tempat.

Dika tahu betul, jawabannya dari ibunya tak akan pernah lebih baik dari itu. Harapan untuk mendapatkan sedikit pengertian atau kasih sayang sudah lama sirna. Ia hanya bisa menerima kenyataan bahwa dirinya tidak akan pernah diterima, tak akan pernah dihargai.

"Tuhan," bisiknya pelan dalam hatinya, "Dika memang laki-laki. Tapi kenapa ujiannya berat banget? Maaf kalau banyak ngeluh, soalnya ngejalanin ini sendirian, sambil tahan-tahanin semua perlakuan mereka."

Ia menarik napas dalam-dalam, menahan air mata yang hampir jatuh. Betapa berat beban ini, betapa dalam rasa kesepian yang ia rasakan, tapi ia tahu, tak ada yang bisa menolongnya selain dirinya sendiri.

 Betapa berat beban ini, betapa dalam rasa kesepian yang ia rasakan, tapi ia tahu, tak ada yang bisa menolongnya selain dirinya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jovian Dika Farhan

Hari yang dinantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang