Matahari sudah terbit di ufuk timur, sinar pagi yang hangat menyentuh wajah Dika, membangunkannya dari tidur yang gelisah.
Tubuhnya terasa lemah dan nyeri, demam yang datang akibat kehujanan semalam membuat setiap gerakan terasa berat. Dengan malas, ia meraih handuk dan menuju kamar mandi, berusaha menenangkan diri sebelum berangkat ke sekolah.
Setelah mandi, Dika keluar dari kamarnya dan berjalan menuju meja makan. Di sana, ayah, ibu, dan abangnya sudah duduk, namun rasa canggung langsung menyelimuti dirinya.
Setiap tatapan mereka terasa menekan, mengingat kejadian semalam yang masih menghantui pikirannya. Dika memilih diam, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Tanpa sepatah kata pun, ia melangkah keluar rumah, meninggalkan sarapan yang tak tersentuh di meja.
Udara pagi yang segar menyapanya, mencoba mengusir kekalutan dalam pikirannya. Meskipun tubuhnya masih terasa lemas dan perutnya kosong, Dika terus berjalan cepat, berusaha menghindari segala pikiran yang mengganggu.
Ia tahu ia harus ke sekolah, tetapi rasa takut dan kecanggungan itu masih membayang di setiap langkahnya. Kejadian semalam terus terulang dalam ingatannya, dan Dika mendesah pelan, bertanya-tanya apa yang sebenarnya harus ia lakukan sekarang.
Sekolah Dika terletak cukup jauh dari rumah, dan ia tak mampu untuk menggunakan motor atau bus karena keuangan yang terbatas.
Meskipun ayahnya memberinya uang bulanan, jumlahnya seringkali tidak cukup untuk menutupi biaya transportasi. Namun, setiap bulan, ia mencoba menabung sisa uang yang diberikan agar bisa sedikit menambah penghasilannya.
Karena itu, setiap pulang sekolah, Dika bekerja paruh waktu di sebuah kafe, mengambil shift sore hingga malam hari.
Pekerjaan ini ia rahasiakan dari keluarganya; ia tahu jika mereka tahu, tak akan ada yang peduli atau mungkin malah menganggapnya sebagai beban tambahan. Ini adalah cara Dika untuk bertahan, meskipun dia sendiri sering merasa lelah.
Sesampainya di sekolah, Dika langsung menuju ruang kelas dan duduk dengan tenang di kursinya. Ia berusaha menetralisir rasa lapar dan tubuhnya yang masih lemas akibat demam semalam.
Ketenangan itu sejenak memberi sedikit kenyamanan, meskipun tidak bisa menghilangkan rasa sakit yang terasa di seluruh tubuhnya.
Namun, kedamaian itu tak bertahan lama. Seorang teman sekelas tiba-tiba menyapanya dengan suara lantang.
"Aish, tidur terus sih. Bangun dong, temenin gue jajan pagi di kantin! Gue laper nih, gak dikasih sarapan di rumah," kata Mario Kertajasa, atau yang lebih akrab disapa Maja.
Dika hanya menoleh dan menghela napas, mengenali suara Maja yang selalu penuh energi. Maja memang selalu bisa mengganggu ketenangan Dika, meskipun dia tahu bahwa temannya itu hanya bercanda.
Dika menoleh lemah ke arah Maja, tubuhnya terasa sangat letih dan perutnya kosong, tetapi ia berusaha menahan semuanya. "Bisa gak sih, jangan ganggu gue dulu?" ujarnya dengan nada yang hampir tak terdengar, suaranya serak dan lemah.
Maja tidak bergeming. Dengan senyum nakal, ia membalas, "Kenapa sih? Gue kan cuma minta ditemenin. Eh, gue traktir deh, daripada lo cuma nontonin gue makan. Gimana, mau kan?"
Dika memutar matanya dengan kesal. "Pergi sana sama yang lain. Gue mau tidur sebelum masuk kelas," jawabnya, berusaha untuk tidak mengeluarkan tenaga lebih banyak.
Maja tidak menyerah begitu saja. "Ah, ayo dong, gue gak punya teman lain selain lo!" Dengan cepat, Maja menarik tangan Dika, memaksanya berdiri untuk pergi ke kantin.
Namun, beberapa detik setelah itu, Maja terkejut merasakan betapa panasnya tubuh Dika. Maja segera berhenti dan menatap temannya dengan cemas. "Lo sakit?" tanya Maja, nada suaranya penuh penekanan, khawatir.
Dika menghela napas berat, berusaha untuk tetap tenang meski tubuhnya berontak. "Diem ah, pergi sana," jawabnya, mencoba untuk menghindar.
"Tapi lo sakit! Kenapa gak izin aja? Lo demam ini," ujar Maja dengan nada lebih keras, benar-benar peduli.
"Iya, gue tau," jawab Dika pelan, matanya mulai sayu.
"Tau, tapi kok gak istirahat aja di rumah? Nanti lo pingsan, loh. Ke UKS aja ya? Gue anterin," kata Maja dengan penuh perhatian, berusaha meyakinkan Dika untuk mendapatkan bantuan.
Dika melihat ke arah Maja, ada kehangatan dan kekhawatiran di matanya. Maja berusaha menjadi teman yang peduli, dan untuk pertama kalinya, Dika merasa sedikit lebih tenang.
Sejauh ini, hanya Maja yang benar-benar peduli padanya. Hubungan pertemanan mereka sudah berkembang lebih dalam dari yang pernah Dika bayangkan. Di saat semua orang tampak acuh, Maja selalu hadir untuknya, tanpa diminta.
Maja membantu Dika ke ruang UKS, dan pengurus UKS segera memeriksanya. "Dika belum makan, ya?" tanya pengurus UKS sambil menyiapkan obat.
Dika hanya mengangguk lemah. "Belum," jawabnya pelan.
"Kalau begitu, ini obatnya aku taruh di sini ya. Minum setelah makan, biar lebih aman," kata pengurus UKS sambil tersenyum.
Dika mengangguk lagi, namun tak bisa menahan sindiran kecil dari Maja.
"Pantes aja kelihatan kayak mayat hidup, belum makan sih," canda Maja sambil menggelengkan kepala.
Dika mencoba tersenyum, meski wajahnya masih pucat.
"Gue gak akan lama di sini kok. Ntar ada guru yang masuk kelas," ujarnya dengan nada khawatir.Maja segera menatapnya dengan tegas.
"Udahlah, gak usah mikirin itu dulu. Kesehatan lo yang paling penting sekarang. Soal guru, nanti gue yang izin. Lo istirahat aja dulu di sini." ucapnya sambil memberikan tatapan yang serius."Gue ke kantin dulu buat beli sarapan, biar lo bisa minum obat. Dan inget ya, jangan kemana-mana," tegas Maja sebelum pergi.
Dika menatap punggung Maja yang menjauh, tak bisa menahan rasa hangat yang tiba-tiba muncul di hatinya. Kadang, Maja memang tampak seperti orang aneh, dengan tingkahnya yang seenaknya. Tapi kali ini, dia benar-benar menjadi teman terbaik yang pernah Dika miliki.
"Andai abang juga kayak gitu... mungkin gue gak bakal ngerasa sendirian di rumah," pikir Dika dalam hati, membayangkan jika ada seseorang di keluarganya yang bisa peduli seperti Maja.
_
_
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari yang dinanti
Short Story"Dunia, tidak akan berhenti berputar hanya karena kau mati. Kau bukanlah manusia istimewa yang kematian ditangisi banyak orang. Kau adalah manusia biasa yang tidak boleh menuntut banyak hak menurut orang lain, dan harus selalu kuat dalam deritamu...