-

0 0 0
                                    

Tidak ada yang dapat keluar, tidak ada yang dapat masuk. Mereka selamanya terperangkap dalam tempat ini.

Sebuah desa terpencil bernuansa tradisional yang berada di tengah hutan, dikelilingi oleh pohon-pohon rindang yang menjulang tinggi serta kabut yang tebal, menghalangi adanya cahaya mentari tuk masuk. Waktu terasa terhenti dengan kondisi desa selalu gelap tanpa tahu apakah hari telah berganti atau belum.
Penduduk desa sangat merindukan cahaya matahari serta dunia luar yang mereka tidak pernah lihat. Mereka telah terperangkap di dalam hutan kabut ini selama beratus-tahun lalu, bahkan seluruh penduduk desa pada generasi ini belum pernah melihat langit yang luas, maupun cahaya mentari yang begitu hangat itu.

Kenapa penduduk desa tidak pindah dari tempat tersebut? Alasannya mudah, karena mereka tidak bisa. Banyak penduduk yang telah mencoba, namun hasilnya tetap sama. Tidak ada yang bisa melewati hutan kabut tersebut karena mereka justru kembali ke tempat awal mereka. Skenario terburuknya adalah terjebak dan berjalan berputar-putar dalam hutan bak labirin itu tanpa mengetahui arah mana tuk kembali.

Dalam desa tersebut juga memiliki sebuah altar dengan api yang sangat besar yang menjadi seluruh sumber cahaya utama untuk seluruh penduduk desa tersebut. Namun, kini api tersebut hanya menyisakan cahaya yang telah meredup. Penduduk desa sudah mencoba cara apapun itu untuk menyalakannya kembali, namun hasilnya tetap nihil. Karena alasan tersebut, cahaya sekecil apapun itu terasa sangat berharga. Selain menjadi penerang dalam gelapnya desa, cahaya tersebut juga menjadi penghangat dalam dinginnya malam. Namun, cahaya apa pun itu, lama-kelamaan akan meredup, dan penduduk desa akan kembali lagi dalam suramnya malam.
Salah satu penduduk desa, Eiva, seorang gadis remaja yang tumbuh besar dengan rasa ingin tahu yang besar tentang dunia luar. Ia penasaran dengan sang mentari yang seluruh penduduk desa dambakan, tentang cahayanya, serta kehangatan yang diberikan.

Sejak kecil, Ia ingin sekali membantu desanya tersebut, namun ia tidak tahu harus bagaimana. Yang bisa Ia lakukan hanyalah terus mencari cara dan berdoa, memohon untuk diberikan petunjuk.

Ketika Eiva sedang membersihkan beberapa benda milik kakeknya, ia tanpa sengaja menjatuhkan sebuah buku tua. Buku tersebut menarik perhatiannya. Ia pun mengambil buku tersebut dan membukanya, mendapati debu yang begitu tebal hingga membuat hidungnya gatal. Namun, setelah membersihkannya, ia kini dapat membaca apa isi buku tersebut.

Buku tersebut ternyata merupakan catatan milik kakeknya sejarah desanya pada zaman dahulu. Dalam buku tersebut, ia mengetahui jika para leluhurnya tersebut ternyata dapat menjelajah dunia luar berkat api yang kini berada di altar. Api tersebut merupakan api magis pemberian seekor burung yang mereka panggil sebagai Phoenix, seekor burung api dengan bulu merah yang dihiasi oleh gemerlap warna emas. Hanya dari gambar saja, Eiva dapat melihat keanggunan serta kekuatan yang dipancarkan olehnya.
Eiva ingin sekali bertemu Phoenix tersebut untuk meminta pertolongan kepadanya, namun setelah ia mengetahui bahwa Phoenix tinggal di pegunungan bagian tenggara yang jauh dari desa, nyalinya menciut karena harus melewati hutan kabut tersebut. Namun, ia tetap memberanikan dirinya untuk mencoba.

Eiva menyusun rencananya pada malam hari saat semua penduduk desa tengah beristirahat. Dengan berbekal makanan, air, dan kompas, ia berjalan melewati hutan kabut dengan obor api di tangannya sebagai penerangan. Selama perjalanan, ia terus menatap kompas yang ia bawa agar tidak tersesat.

Setelah berjalan cukup lama, matanya disilaukan oleh cahaya. Terkejut dengan hal itu, ia pun berlari menuju sumber cahaya tersebut. Eiva begitu terpesona dengan benda yang berada di langit itu, hingga tak sadar telah keluar dari hutan dengan selamat.

"Apakah itu sang mentari?" gumamnya pada dirinya sendiri, hampir berlinang air mata melihatnya, tak peduli jika matanya terasa silau oleh cahaya.

Eiva semakin bertekad agar penduduk desanya dapat merasakan hal yang sama, walau itu hanya sebatas replika semata dari cahaya dan kehangatannya. Eiva menggunakan kompasnya sekali lagi untuk menentukan arah tenggara dan melanjutkan perjalanannya menuju arah tersebut.

Percikan Cahaya Sang PhoenixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang