17. Diundang

26 19 0
                                    

"Kuliah itu seperti game. Levelnya makin tinggi, makin sulit."—Shaga Arsenio.

***

Di sisi lain, tubuh lelah Jovita dan Syahirah terbaring lembut di atas ranjang, laksana dua bidadari yang lelah menari di alam mimpi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di sisi lain, tubuh lelah Jovita dan Syahirah terbaring lembut di atas ranjang, laksana dua bidadari yang lelah menari di alam mimpi. Selimut tebal, bak pelukan hangat, menyelimuti tubuh mereka, menyingkirkan sisa-sisa penat dari hari yang telah berlalu. Jovita, dengan rambut panjangnya yang terurai bak air terjun sutra, memejamkan mata, dan menikmati kelembutan kasur yang sama dengan awan putih lembut. Di sampingnya ada Syahirah yang masih terjaga, matanya menatap langit-langit kamar yang remang-remang, bagaikan bintang-bintang redup yang berkelap-kelip di malam hari, pikirannya melayang ke berbagai hal yang terjadi sepanjang hari, seperti dedaunan yang tertiup angin sepoi-sepoi.

“Jovita,” panggil Syahirah lembut, seperti bisikan angin malam yang menyapa dedaunan di taman.

Jovita yang tengah larut dalam mimpi indah, terbangun dari lamunannya. Matanya perlahan terbuka, tatapannya masih sayu, seperti embun pagi yang menempel di kelopak bunga mawar. “Ya, Syahirah?” jawabnya sedikit serak,  mencerminkan kelelahan yang masih menyelimuti tubuhnya, seperti kelembutan senja yang menyapa cakrawala.

“Aku bingung,” ujar Syahirah, “mengapa di Undang-Undang Dasar pasal 1 ayat (3)  tertulis bahwa Indonesia itu negara hukum, sedangkan kini hukum bisa dibeli? Seperti sebuah lukisan indah yang tercoreng oleh tinta hitam, keadilan yang seharusnya menjadi fondasi negara ini, kini ternoda oleh uang. Apakah hukum hanya sebuah komoditas yang bisa diperjualbelikan? Atau keadilan hanya sebuah fatamorgana yang hanya bisa kita lihat, tapi tak bisa kita raih? Lalu, cita-cita luhur para pendiri bangsa untuk membangun negara yang adil dan bermartabat hanya tinggal kenangan?  Apa kita harus rela melihat hukum diinjak-injak dan keadilan tergadaikan demi keuntungan pribadi?”

Jovita mengangguk setuju. “Aku juga merasa sedih, Syahirah. Rasanya seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Kita hidup di negara yang seharusnya menjunjung tinggi hukum, tapi kenyataannya, hukum bisa dibeli dengan uang. Keadilan seolah menjadi barang langka yang hanya bisa diakses oleh orang-orang berduit. Rasanya seperti kita hidup di dunia yang terbalik, di mana yang benar dianggap salah, dan yang salah dianggap benar.”

“Benar, bahkan jika ada seseorang yang mengirim stiker tidak senonoh pun bisa dipidana. Dasar hukumnya pasal 27 Undang-Undang ITE, karena perbuatan tersebut melanggar norma kesusilaan. Akan tetapi, apa gunanya hukum kalau hanya jadi alat bagi orang kaya? Di sini kalau miskin, kasusnya dibiarkan begitu saja, seolah-olah tidak penting! Ibarat keadilan hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki uang, sementara yang miskin harus pasrah menerima hal yang tidak adil. Aneh, bukan? Ini namanya hukum yang bodoh! Hukum yang hanya membela yang kuat, kaya, dan berkuasa!” Syahirah berujar, suaranya bergetar karena amarah, matanya menyala-nyala seperti api yang siap membakar perlakuan yang tidak sama terhadap pembagian hak seseorang atau kelompok dalam kehidupan masyarakat.

“Kita harus terus bersuara, terus berjuang untuk menegakkan keadilan dan melawan ketidakadilan. Kita harus menunjukkan kepada mereka bahwa keadilan adalah hak semua orang, bukan hanya milik orang kaya. Kita harus melawan ketidakadilan dengan senjata kita, yaitu suara kita, pena kita, dan tekad kita. Menjadi suara bagi mereka yang tidak bersuara, menjadi cahaya bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Keadilan harus ditegakkan, meskipun jalannya berliku dan penuh rintangan. Namun, jangan pernah menyerah, kita harus terus berjuang, karena keadilan seperti sebuah pohon yang kokoh, yang akarnya tertanam kuat di bumi, dan rantingnya menjulang tinggi ke langit. Kita harus menjadi penjaga pohon keadilan ini, agar ia tetap tumbuh subur dan memberikan buah yang manis bagi semua orang,” tegas Jovita.

Gelang hitam milik Jovita yang biasanya terdiam di pergelangan tangannya, tiba-tiba bergetar dengan lembut, seperti jantung yang berdebar kencang. Getaran itu terasa halus, menandakan satu hal: sebuah pesan dari Ratu telah tiba. Jovita yang terbiasa dengan bahasa diam gelang itu, langsung merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Ia tahu pesan dari Ratu tak pernah datang tanpa alasan. Ratu, penguasa dunia magis yang tersembunyi di balik tabir realitas, dikenal karena kebijaksanaannya yang tak terbantahkan dan kekuatannya yang tak tertandingi. Ia adalah sosok yang disegani dan dihormati oleh para Pembasmi Iblis dan makhluk gaib lainnya. Jovita sebagai salah satu prajurit terkuat di pasukan Ratu, selalu siap menerima tugas apa pun yang diberikan, bahkan jika itu berarti menghadapi bahaya yang tak terbayangkan.

“Jovita.” Suara Ratu bergema lembut di telinganya, seperti bisikan angin yang menenangkan. “Aku telah mengundang Shaga, penyair terkenal yang karyanya telah menggetarkan dunia manusia dengan keindahan dan makna mendalam untuk menemuiku di singgasana. Ia akan tiba dalam waktu dekat, membawa serta aura seni dan kecerdasan yang tak tertandingi, dan aku ingin kau bersiap untuk menyambutnya dengan penuh penghormatan dan kesigapan.”

“Akan tetapi, Ratu,” ujar Jovita sedikit gemetar. “Bukankah kita telah sepakat untuk merahasiakan identitas Ratu dari Shaga? Bukankah kita telah berjanji untuk menjaga kerahasiaan keberadaan dunia magis ini dari mata dunia manusia, termasuk dari Shaga, yang meskipun seorang penyair brilian, tetaplah seorang manusia biasa.”  Jovita ingat dengan jelas perintah Ratu sebelumnya, agar Shaga tidak mengetahui jati diri sebenarnya dari penguasa dunia supranatural, karena hal itu bisa membahayakan keselamatan Ratu dan seluruh dunia magis.

“Ya, aku tahu. Namun, setelah mempertimbangkan berbagai hal dengan saksama, aku telah memutuskan untuk mengungkapkan diriku kepada Shaga. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padanya, sesuatu yang penting, yang hanya bisa disampaikan olehku sendiri, dan yang mungkin akan mengubah jalan hidup kita semua,” jawab Ratu.

Jovita terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Ratu. Ia merasakan beban tanggung jawab yang berat menindih hatinya. “Apa yang harus kulakukan, Ratu?” tanyanya, “aku tidak ingin melanggar perintah Ratu, tetapi aku juga tidak ingin membiarkan Ratu dalam bahaya. Bagaimana aku bisa melindungi Ratu jika identitas Ratu terbongkar? Apakah aku harus mengorbankan diriku untuk menjaga kerahasiaan Ratu?”

“Tenanglah, Jovita,” ucap Ratu dengan lembut dan menenangkan seperti deburan ombak di pantai. “Aku tahu ini mungkin terasa menakutkan, tetapi percayalah padaku. Di sana ada Syahirah, ‘kan? Bawa dia. Syahirah akan membantumu dalam menjaga kerahasiaan ini. Nanti kau harus memakai jubah milik kerajaan kita, jubah yang akan menyembunyikan identitasmu dan membuatmu tampak seperti seorang prajurit biasa. Jangan khawatir, Jovita, aku percaya padamu. Semuanya akan baik-baik saja. Kita akan menghadapi ini bersama-sama, dan kita akan keluar sebagai pemenang.”

***

Segini aja dulu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Segini aja dulu.

Aduh, bingung mau nulis bab 18 kayak gimana 😭

Luka Jubah Putih [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang