𝙄𝙩𝙤𝙨𝙝𝙞 𝙍𝙞𝙣 ✘ 𝙁𝙚𝙢 𝙍𝙚𝙖𝙙𝙚𝙧
【𝐋𝐎𝐕𝐄 𝐁𝐑𝐈𝐍𝐆𝐒 𝐏𝐀𝐈𝐍 #1】━━"Sudah cukup penyakit ini membuat hidupku terlihat menyedihkan."
- You
---➤ 𝐒𝐲𝐧𝐨𝐩𝐬𝐢𝐬
Kenanganmu memudar seiring waktu, membuat jiwamu terasa hampa; ruangan putih...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
°°°
Normal P. o. v
Rin melangkah keluar dari rumah sakit, langkahnya cepat, tanpa menoleh ke belakang. Wajahnya datar, seperti biasanya, hingga matanya menangkap sosok Kaiser. Lagi-lagi, dia. Rin menunduk, meneruskan langkahnya tanpa memperlambat sedikit pun. Namun, Kaiser kembali menyentuh bahunya, menghentikan laju Rin.
Rin membusungkan dada, frustasi. Lorong rumah sakit yang biasanya ramai dengan para perawat atau dokter berlalu lalang, terasa sunyi. Sudah seperti berada di dunia lain saja. Kaiser menatap punggung Rin, tangannya tak beranjak.
Waktu seolah-olah terhenti bagi mereka berdua. Rin akhirnya berbalik, menghadap Kaiser, namun matanya tertuju pada lantai. Takut, jika ia menatap ke depan, air matanya akan tumpah. Rin berusaha menahan emosinya.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Kaiser, suaranya hampir berbisik.
Rin butuh waktu untuk menjawab, menahan gejolak emosi yang ingin meluap. "Dia tidur..."
Kaiser menunduk, menyiapkan hatinya untuk kata-kata jujur Rin yang akan menusuk selanjutnya.
"Dan tidak bangun lagi," kata-kata itu seperti petir di siang bolong, merenggut mood baik Kaiser dalam sekejap.
"Lalu...?" Kaiser bertanya lagi, seakan tak puas. Ia mengusap tengkuknya, menyapu tato mawar biru yang menghiasi kulitnya. Menahan diri untuk tidak menyakiti dirinya sendiri, lagi.
"Entahlah, kupikir dia akan segera dikremasi," jawab Rin, nada sarkastik dan sedikit menyebalkan tersirat dalam suaranya.
Rin melanjutkan, "Aku bukan mereka yang hanya peduli pada [Name] saat mendengar kabar kematiannya. Yang terpenting, akulah yang menemani [Name] hingga akhir hayatnya."
Kaiser terkejut mendengar jawaban Rin, tak seperti Rin yang biasanya monoton. Kematian [Name] pasti membawa pengaruh besar pada Rin. Jika ditinggalkan kakaknya ke Spanyol saja Rin begitu, apalagi ditinggalkan teman kesayangannya ke dunia lain.
Kaiser menunduk, mendengus. Hatinya tak tenang, namun ia berusaha melupakan perasaan itu. Berpikir realistis. Setidaknya saat-saat terakhir [Name] ditemani oleh orang yang lebih pantas darinya.
"Maaf," gumamnya, sebelum pergi meninggalkan Rin yang masih terdiam.
"Aku tidak butuh itu, sial!" umpat Rin. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan di rumah sakit ini. Akhirnya, ia memutuskan untuk pulang.
Di rumah, keheningan kembali menyambutnya. Rin sedikit bersyukur akan hal itu. Orang-orang di rumahnya tak terlalu peduli untuk menanyakan apa yang telah Rin lalui. Memberinya sedikit kebebasan, ia langsung mengurung diri di kamarnya.
Rin menutup pintu, lalu duduk di ranjangnya. Matanya kembali tertuju pada buku catatan yang tadi ia bawa. Rin sadar, sebelum [Name] pergi, ia memberikan buku hariannya kepada Rin. Itulah satu-satunya kenangan yang Rin punya sekarang.
Rin tak kuat membacanya sekarang, jadi ia menyimpan buku itu di laci, menguncinya rapat. Agar perhatiannya teralihkan. Rin mungkin akan membaca buku itu nanti, tidak sekarang.
"Bohong," bisik Rin, suara lirihnya memecah keheningan kamar. "Kata-kata tadi... hanyalah kebohongan yang dibuat-buat, bertentangan dengan pikiran mku" ujarnya bermonolog.
Rin merutuki dirinya sendiri, terkurung dalam kesunyian. "Aku hanya berpura-pura tegar," desahnya, suara itu tertelan oleh kesedihan yang tak kunjung reda. "Aku hanya tak ingin melihatmu terbaring kaku dan dimasukkan ke peti mati, dikremasi. Aku tak ingin menyaksikan tulangmu, dan abu yang tersisa darimu."
Rin menangis tersedu-sedu, membasahi lipatan tangannya yang menjadi bantal bagi wajahnya. Napasnya tersengal, tak beraturan, seperti detak jantungnya yang berpacu tak menentu.
Rin menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri. Bulir-bulir air mata menetes perlahan, membasahi pipinya. Ia tak ingin larut dalam kesedihan, tak ingin terlihat lemah. Tapi air matanya tidak bisa berbohong, terus mengalir tanpa terkendali.
Masalah berat seringkali tersembunyi dibalik heningnya kata, terungkap hanya melalui air mata yang jatuh sebelum suara sempat terdengar.