Terima kasih, Ayah

10 2 2
                                    

Pada saat itu, aku baru berumur lima tahun. Namun, setiap hari aku sudah mendapat kata-kata yang tidak sedap didengar. Rumah ini sudah mulai bergoyang kembali. Padahal sudah lumayan lama tidak ada kegaduhan disini, sekitar tiga hari. Tiga hari yang menenangkan telingaku.

aku memang belum paham dengan apa yang terjadi. Namun, yang aku katahui Ayah dan Ibu sedang marah. Terlihat dari muka ibu yang memerah dan urat-urat yang terlihat di leher Ayah. Yang aku tidak ketahui adalah mengapa mereka begitu marah.

"Kau tidak pernah berubah!" Ibuku mulai mengeluarkan air mata.

"Aku sudah bilang, aku tak ingin lagi bersamamu! Kau saja yang mempertahankan ini semua hanya karena anak itu!"

Aku?

Kenapa mereka menunjukku?

Saat itu aku bingung, aku ditunjuk ketika mereka marah. aku yang disalahkan ketika mereka marah. Aku berusaha mengembalikan ingatanku yang lalu. Apa aku pernah membuat mereka marah?

"Kali ini aku tak memikirkan ia lagi, aku ingin semua berakhir!" Ibu tampak membara.

"BAGUS! MEMANG ITU YANG AKU MAU! KAU PERGI DARI SINI DAN TINGGALKAN ANAK ITU DISINI!" Ayah berteriak kepada Ibu.

Tanpa banyak berkata, ibu mulai masuk ke kamar dan membereskan barangnya. ibu menangis tersendu-sendu. Jari-jemarinya bergetar ketika memasukkan baju ke dalam tas itu. aku menghampiri Ibu dengan tatapan bingung. Mau kemana ibu?

"Zie, ini bukan pilihan ibu untuk meninggalkanmu. Ayahmu yang mengusir Ibu. Kamu jangan pernah membenci Ibu dan Ayah setelah ini. Kami sangat menyayangimu, tapi ini memang sudah jalannya, Nak. Kita akan bertemu setiap sabtu dan minggu di rumah nenekmu."

"Ibu mau kemana? Zie ga mau disini! Zie mau ikut Ibu," aku paham bahwa Ibu akan meninggalkan rumah ini, aku, dan Ayah.

"Maafkan Ibu, Ibu belum menjadi orang tua yang baik untukmu. Hubungi Ibu melalui telephone Ayah, ya?"

Ibu pergi keluar rumah tanpa berkata lagi kepada Ayah. Ayah pun begitu, tidak peduli ketika Ibu pergi. Ayah pergi meninggalkanku sendiri. Entah kemana, ia tak berkata kepadaku.

Saat pulang, ayah sudah membawa wanita lain dengan seorang anak perempuan yang ia gendong. Tampaknya umur anak itu tidak beda jauh denganku. Dan memang betul, hanya beda dua tahun. Selama dua tahun aku tinggal bersamanya dan tinggal dengan Ibu pada hari Sabtu dan Minggu.

Hari ini menjadi hari tersedih bagiku. Selama ini Ibu ternyata sakit, hal tersebut juga membuat Ayah selingkuh karena merasa jijik dengan Ibu. Ibu mengidap penyakit kanker payudara. Dan hari ini, ibu telah berpulang. Aku tahu Allah sayang sekali dengan Ibu, maka dari itu Allah memanggil Ibu.

Setelah kepergian Ibu, aku menjadi lebih diam. Hidupku terasa hampa tanpa ada ibu. Aku belum siap, aku masih ingin Ibu hidup sampai aku sukses nanti. Namun, aku terlalu berlarut dalam kesedihan. Nenek sudah menceritakan kepadaku tentang Ibu dan Ayah.

Ayah sudah menduakan Ibu sejak aku berumur satu tahun. Ayah juga memiliki anak dengan perempuan itu yang bernama Aluna. Anak perempuan yang hanya berselisih dua tahun denganku. Alasan utama Ayah menduakan Ibu adalah karena Ibu memiliki penyakit yang aku yakini bukan itu alasan Ayah.

Sekarang aku sudah berumur sebelas empat belas tahun. Aku sudah menduduki bangku Sekolah Menengah Pertama. Ayah dan Ibu sambungku sangat menyayangi Luna. Bukannya aku menuduh, tapi banyak yang aku rasakan setelah Ibu tiada.

Luna selalu dibelikan apa saja tanpa diminta atau pun diminta. Luna seperti bawang merah yang licik. Ia sangat suka menuduhku untuk mendapatkan sesuatu. Benar-benar anak kecil yang licik.

"Ayah, Zie mengambil coklatku jadi aku kasih aja semuanya," Luna mulau berbohong lagi.

"Zie, itu perbuatan tidak baik. Ayah tidak pernah mengajarkanmu begitu! Apa Ibumu mengajarkanmu untuk seperti itu?" selalu saja Ibu yang disalahkan.

"Aku ga ambil coklat Luna, Ayah."

"Loh? liat dong itu coklatnya ada di kantongmu!"

"Kamu pintar berbohong ya, Zie! Tidak apa Luna, nanti Ayah belikan yang lebih banyak ya."

Terlihat Aluna yang tersenyum meledekku. Dasar anak kurang ajar, harusnya Ayah menyalahkan Ibu dari anak itu. Aku hanya diam melihat tingkahnya. Adik kecil itu mendapatkan segalanya. Aku tidak masalah, asal aku masih bisa makan, tidur, dan bersekolah dengan baik.

Malam ini, aku menahan untuk tidak mengadu atas sakit kepala yang aku rasakan kepada Ayah. Aku terduduk di lantai kamarku. Kepalaku selalu sakit ketika malam hari. Mungkin karena banyaknya hal-hal yang aku pendam. Lagi pula, kalau aku mengadu pasti Ayah hanya menyuruhku tidur.

Hari ini merupakan hari terakhir pembelajar pada semester genap. Aku akan mendapatkan laporan akhir di sekolahku. Aku sudah muak dengan ucapan yang selalu ku ucapkan ketika akhir semester.

"Ayah, nanti ambil laporan akhirku di sekolah ya."

"Ayah tidak bisa, Zie. Hari ini adalah hari perpisahan adikmu di sekolah dasar. Ayah dan Mama harus kesana untuk menemani hari spesial Luna."

Sudah ku duga, selalu saja ada alasan. Mulai dari Ayah sibuk, Ayah keluar kota, Ayah menemani Mama belanja, dan sekarang perpisahan Luna. Padahal saat aku sekolah dasar dulu mereka tidak menyempatkan waktu. Aku merayakan perpisahan itu dengan nenek, sayangnya nenek semakin tua yang membuat ia mudah lelah.

Aku mengambil laporan akhirku sendiri lagi. Sepertinya guru-guru sudah tahu bahwa aku mengambil laporan itu sendiri. Terlihat dari wajah wali kelas ku yang hanya tersenyum.

"Tidak apa, kamu kan ada Ibu di sekolah. Ini Laporan mu, belajar lebih giat ya."

Aku hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sebenernya aku sangat sedih, teman-teman ku bersama orang tuanya sedangkan aku sendiri. Aku pun pulang ke rumah dengan perasaan sedih.

Sesampainya di rumah, aku sangat terkejut. Rumah begitu ramai dengan anak-anak sekolah dasar beserta orang tuanya. Ternyata Ayah merayakan kelulusan Luna dengan makan bersama dirumahku. Perasaanku sangat hancur, Ayah sama sekali tidak mengingatku. Aku masuk ke kamar dan menangis. Ketika bangun, rumah sudah sepi dan hanya bersisa Ayah, Luna, dan Mama.

"Ayah, aku ingin berbicara denganmu," aku menghampiri Ayah.

"Ada apa, Zie?"

"Ayah, aku ingin bunga seperti bunga yang Ayah berikan kepada Luna. Aku mengambil laporanku sendiri dan hasilnya aku mendapat juara dua di kelas," ucapku dengan perasaan bangga.

"Akan Ayah belikan ketika kamu dapat juara satu, Zie."

Aku tertegun dan berlari ke kamar. Rasanya sangat sakit dan perih. Apakah sulit mengabuli permintaanku?

Kepalaku pusing dan sakit, aku belum makam seharian ini. Seluruh badanku dingin dan aku menggil. Aku memanggil Ayah dengan sekuat tenaga, setelah itu akupun tak sadar.

"Zie, aku sangat menyayangimu. Kamu ingin bunga? ini aku bawakan bunga untukmu. Maafkan Ayah, Zie."

Aku melihat dari jauh, ayah membawa bunga untukku. Memang tidak sebesar punya Luna, hanya ada dua tangkai bunga di tangannya. Bunga Mawar yang segar, sepertinya baru ia beli atau baru ia petik. Aku tersenyum melihat Ayah. Ternyata Ayah menyayangiku, hanya saja Ayah terlambat mengucapkannya. Sehingga ia harus memberikan bunga itu digundukan tanah yang penuh bunga mawar lain. Tak apa Ayah, Aku menyayangimu juga...


Bunga Pertama KezieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang