Part 1 - Prologue

674 25 0
                                    

Shigeo Aoki namanya, seorang pemuda berdarah Inggris-Jepang; pianis muda yang terkenal. Ia begitu berbakat, bahkan termasuk jajaran tertinggi musisi klasik terbaik di dunia- haruskah disebutkan pula kalau ia baru selesai menggelar konser tunggal pertamanya keliling Eropa di usia dua puluh satu tahun? Paras tampan dan hidup yang bergelimang dengan harta. Apa lagi yang kurang dari dirinya?

Namun di sinilah ia berada, di balik sebuah pintu besi berwarna putih bersih. Hanya lubang kecil pada pintu tersebut yang menjadi celahnya untuk melihat dunia. Seluruh dinding itu dilapisi semacam kasur yang tidak kalah polosnya dengan pintu, bahkan ubin yang melandasi ruangan itu. Ranjang yang ia duduki sekarang pun juga terbuat dari besi –lagi-lagi, dilapisi cat berwarna putih- dan sialnya, spreinya pun juga putih. Ada apa dengan tempat ini? Semuanya putih. Sangat membosankan.

Satu-satunya yang memiliki warna di tempat itu mungkin hanya sebuah kursi yang terdiam di hadapannya. Mungkin ia bisa menebak untuk apa kursi berbahan kayu itu; ayolah, ia tidak bodoh.

Di sinilah sang musisi berada, di dalam salah satu sel rumah sakit jiwa paling prestigius di kotanya. Dan kalau tidak salah, pertemuan pertamanya dengan dokter pribadinya akan berlangsung lima menit lagi- bahkan mereka tidak menempatkan jam di ruangan itu. Lidah Shige berdecak kesal.

Pemuda itu memejamkan matanya, berusaha untuk membuat dirinya terlelap sampai suara pintu yang berdecit mendapatkan perhatiannya. Seorang pria dalam balutan jas berwarna putih, rambut coklat, dan iris hitam yang menarik. Shigeo menatapnya lekat-lekat; ia memang mempunyai hobi mengamati orang. Itu memberinya inspirasi untuk komposisi musiknya- ah, ia kembali teringat kalau kekasihnya itu tidak ada di sana, dan hal itu justru semakin menekannya.

Sesuai dugaannya, sang dokter menjadi orang yang menduduki kursi itu.

"Selamat siang,Tuan—Shigeo Aoki. Saya Reynold Houston yang akan menjadi dokter anda."

"Salam kenal, Dok." Shigeo menyapanya balik dengan dingin, sementara manik hazel miliknya menatap pemuda itu lekat; bahkan membuat pemuda itu menelan ludahnya gugup. 'Kena kau,' batin Shige.

Yang ditatap entah kenapa segera mengalihkan pandangannya –kau seorang psikiater dan kau bahkan tidak bisa menatap pasienmu?- dengan membaca ulang kertas yang berada di tangannya.

"Tanggal lahirmu, 1 Maret 199—

"Ayolah Dok. Semua orang tahu siapa aku," sahut Shigeo sembari menyilangkan tangannya di bawah kepalanya. Ia bahkan tidak berniat untuk bangun dari posisinya yang saat ini berbaring dengan nyaman di atas tempat tidur barunya.

"....baiklah. Bagaimana perasaan anda sekarang?"

"Biasa saja."

"...?" Reynold justru menaikkan sebelah alisnya, agaknya heran dengan jawaban pasiennya.

"Tertekan."

"Lalu?"

"Bosan! Apa-apaan dengan rumah sakit jiwa ini?" Gerutu Shigeo seketika memecah keheningan ruangan itu. "Atmosfernya pelan-pelan membunuhku."

Pria bernama Reynold itu agaknya kaget ketika Shigeo tiba-tiba meledak. Mungkin ia lebih terbiasa dengan 'orang-orang' di sekitarnya. Memang, sang Psikiater yang berusia dua puluh enam tahun itu masih belum terlalu terbiasa menghadapi pasien kronis seperti ini. Kronis, ya.

"Aku mengerti. Menurut catatan, anda pecandu heroin. Benar begitu?"

"Begitulah."

"Anda belum mengkonsumsinya lagi selama dua hari. Adakah hal itu mengganggu anda?"

"Tidak. Aku suka heroin atau alkohol, karena mereka membantuku berpikir jernih," atau mungkin membawanya lari dari kenyataan. "Namun aku tidak pernah sebegitu membutuhkan mereka."

"Lalu?"

"Piano adalah canduku- kekasihku. Kau tidak tahu bagimana rasanya aku ingin mati karena aku hampir tidak mendengar nada apapun di sini."

Aneh; pemuda itu tidak lagi meledak. Ia tampak tenang, bahkan jauh lebih tenang daripada orang dengan tingkat kejiwaan normal.

Mungkin hal inilah yang membuatnya digolongkan tidak waras.

"Menurutmu, apa yang membuatmu ditempatkan di sini?"

"Para wartawan mengetahui aku seorang pengguna narkoba."

"Dan?"

"Ya, ya. Beberapa kali mencoba bunuh diri." Shige memutar bola matanya. Memang, amat disayangkan tangan-tangannya yang sempurna untuk seorang pianis dipenuhi dengan luka-luka bekas sayatan.

"Lalu?"

"Orang tuaku lebih memilih untuk menempatkanku di rumah sakit jiwa daripada membawaku ke pusat rehabilitasi atau kantor polisi. Terlihat lebih bagus untuk sebuah Headline."

"Kau merasa orang tuamu mengekangmu?"

Shige menyadari adanya perubahan bahasa yang Reynold gunakan, tentunya. "Anda pernah tahu istilah sangkar emas?" Shigeo mulai lelah dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya.

"Saya mengerti," ucap sang Psikiater tenang sembari membuat catatan-catatan pada kertasnya. "Ada lagi yang anda bisa sampaikan?"

Ah, bahasanya berubah kembali. Shigeo kecewa. "Tidak," responnya dingin, kemudian memiringkan tubuhnya, sekarang memunggungi sang psikiater.

"Baiklah. Kalau begitu, saya akan menyudahi sesi pertama kita." Suara kayu yang tergeser, dan Shige tahu sang dokter sudah berdiri dari kursinya. Otaknya seolah menghitung dan menikmati tempo yang dibuat oleh tiap langkah kaki sang dokter, dan suara itu semakin lama semakin menjauh. Ah, sekarang pria itu sudah berada di dekat pintu keluar. Ketika pintu terbuka, Shigeo bisa mendengar suara dua orang lain yang mungkin sedari tadi sudah berjaga di sana. Apa mereka sungguh berpikir ia akan menyerang dokternya?

"Dokter Houston," panggilnya pelan.

Yang dipanggil agaknya kaget karena sang pasien tiba-tiba memanggilnya. Shigeo tampak tidak menaruh perhatiannya pada percakapan sesi tadi dan sekarang ia memanggilnya. Rey seketika menghentikan langkah kakinya, dan menoleh ke arah tempat Shigeo berbaring. "Ya?"

"Kau tahu aku tidak gila."


TranslucentWhere stories live. Discover now