Episode 1 : Erina

10 2 1
                                    


Aku terbangun lagi dari mimpi yang berulang-ulang.

Di ruang gelap, hitam pekat tanpa ada cahaya barang satu titikpun, di sanalah aku berdiri sementara anggota tubuhku tidak dapat kugerakkan sama sekali. Pun, aku tahu ada dua orang di depan sana berdiri memunggungiku. Dua orang yang sangat aku kenal. Dan begitu saja, tidak ada apapun yang terjadi antara aku dan mereka berdua, jarak antara kami perlahan menjauh. Di mataku, mereka bergerak bak objek yang ditarik paksa oleh lubang hitam.

Dan meski mimpi ini sudah berulangkali aku alami, perasaan ini masih terasa sama. Takut, panik, menangis seakan tak ingin kehilangan mereka berdua. Mulutku berucap namun tak ada suara yang keluar. Tanganku ingin bergerak menggapai mereka, kakiku ingin berlari mengejar mereka. Tapi tak bisa kugerakkan sama sekali, sampai wujud mereka berdua benar-benar menghilang dari pandangan kedua mataku.

Lalu aku kembali ke dunia nyata. Lebih tepatnya terbangun dari 8 jam tidurku.

"..."

Biasanya badanku yang bergerak bangun dari kasurku dengan nafas tersengal-sengal seperti seorang yang habis disetrum listrik. Tapi sekarang hanya kelopak mataku yang terbuka. Sudah terbiasa dengan mimpi buruk semacam ini. Namun perasaan takut, panik, sesak di dada dari mimpi itu tetap terbawa. Kesedihan mendalam yang sudah akut.

"Mimpi itu lagi..."

Tentu saja tidak lupa ada air mata sebagai bonus nya. Cairan asin yang selalu keluar dari mata manusia Ketika mengalami atau bahkan sekadar melihat kejadian yang menggugah emosi seseorang, tidak terkecuali diriku. Buru-buru aku mengucek kedua mataku pelan karena jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi dan hari ini bukan waktunya bermalas-malasan. Untuk apa? Tentu saja bersiap berangkat ke sekolah.

Mau sampai kapan aku harus begini?

--

"Ayunda, aku berangkat duluan, ya. Jangan lupa kunci pintunya."

Adikku melambaikan tangannya ke arahku saat aku sendiri masih sibuk sarapan di ruang makan. Seperti biasanya, ia selalu berangkat sekolah lebih dahulu daripada aku karena aku tidak begitu suka bangun terlalu pagi.

"Aku akan menyusulmu, Hisami. Hati-hati di jalan."

Dengan begitu saja ia bergegas pergi ke sekolah, meninggalkanku sendirian yang masih sibuk dengan Omurice buatannya di piringku. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit, tidak ada waktu lagi untuk bersantai-santai di ruang makan. Dengan lahap kuhabiskan sisa makanan di piringku. Masakan adikku tidak pernah tidak kuhabiskan karena rasanya memang enak.

"Terima kasih atas makanannya."

Aku menepuk kedua telapak tanganku tanda bersyukur dan segera membawa piring kotorku ke kitchen sink, mencucinya sebentar lalu mulai membawa tas dan memakai sepatuku. Pintu rumah telah terkunci dan mulai berangkat ke sekolah. Jarak dari rumah ke sekolah memang tidak terlalu jauh namun akan tetap terasa lama kalua hanya dengan berjalan kaki. Aku lebih suka berlari penuh dari rumah ke sekolah tanpa berhenti. Atau setidaknya sampai aku menyusul adikku di tengah jalan.

"Hah... Hah... Oh?"

Dan benar saja. Bahkan tak sampai setengah jalan sudah ada pemandangan perempuan pendek bersurai hitam panjang dan bodysuit hitam menutupi hampir seluruh tubuhnya kecuali kepalanya. Adikku berjalan dengan santainya di pinggir jalan.

"Aku dapat kau!"

Lekas aku menuju ke arahnya dan memberi pelukan kejutan dari belakang.

"Ah! Ayunda, kau mengagetkanku."

"Sudah kubilang aku akan menyusulmu. Heh~ Aku tidak ingkar janji, loh."

Meski Hisami sempat terkejut aku memeluknya tiba-tiba, apalagi aku berlari dengan kecepatan penuh, senyum wajahnya tidak memudar. Malahan, ia semakin riang dan manis.

Kisah Klasik Keseharian KoikatsuWhere stories live. Discover now