Bab 1 : Awal Perjalanan

8 2 0
                                    

Langit biru cerah menggantung di atas gedung SMA Harapan Bangsa, seolah turut menyambut murid-murid baru yang berdatangan dengan langkah penuh antusias. Salah satu dari mereka adalah Adit. Dengan tas hitam sederhana yang menggantung di punggung, ia melangkah ragu memasuki gerbang sekolah. Di sekelilingnya, puluhan wajah asing menyambut pandangannya. Ia menggigit bibir bawah, mencoba menenangkan debar jantungnya.

Hari pertama di SMA, pikirnya. Semoga tidak terlalu buruk.

Adit melihat sekelompok siswa senior berdiri di lapangan dengan clipboard di tangan, tampak seperti juri yang siap menilai setiap gerak-gerik murid baru. Beberapa teman seangkatannya tampak sibuk mengobrol atau menunduk gugup, sama seperti dirinya. Saat itulah seorang pemuda bertubuh jangkung dengan rambut ikal mendekatinya.

“Hei, kamu murid baru juga, kan?” sapanya sambil menyodorkan tangan. “Aku Renjanu Pratama, panggil aja Janu.”

Adit menyambut uluran tangannya dengan sedikit kaku. “Iya, aku Adit. Aditya Hermawan.”

“Adit? Hmm, nama yang gampang diingat. Beda sama aku. Namaku malah sering salah sebut, jadi kadang aku dipanggil Januari!” candanya sambil terkekeh. Adit tersenyum kecil. Kesan pertama, pemuda ini tampak sangat percaya diri, tapi setidaknya ia ramah.

Tidak lama kemudian, seorang gadis berambut pendek berdiri di dekat mereka. Matanya tampak tenang, tetapi bibirnya terkatup rapat seolah enggan membuka pembicaraan lebih dulu. Janu yang melihat kehadirannya langsung berseru, “Eh, kamu anak baru juga, ya? Kenalin, aku Janu. Ini si Adit.”

Gadis itu mengangguk kecil. “Aku Rini,” jawabnya singkat, suaranya lembut namun tegas.

“Wah, Rini, nama yang gampang diingat juga!” Janu bercanda lagi. Adit tertawa kecil, sementara Rini hanya menatapnya dengan ekspresi datar.

Tak lama, seorang siswa senior meniup peluit keras-keras, mengumpulkan semua murid baru ke lapangan utama. Masa orientasi resmi dimulai hari ini. Mereka diminta berbaris rapi sesuai kelompok yang telah ditentukan. Ternyata, Adit, Janu, dan Rini berada dalam kelompok yang sama.

“Selamat datang di SMA Harapan Bangsa!” Suara lantang seorang kakak kelas perempuan menggema dari pengeras suara. Ia memperkenalkan diri sebagai Ketua OSIS. “Kalian semua adalah keluarga baru di sini, tapi jangan kira orientasi akan mudah. Siapkan mental kalian, ya!”

Beberapa murid saling bertukar pandang, jelas terlihat rasa cemas mulai menguasai mereka. Adit mencoba menenangkan pikiran dan berbaik sangka bahwa ini pasti hanyalah gertakan. Namun, begitu aturan-aturan orientasi dijelaskan—mulai dari larangan mengenakan sepatu kotor, tidak boleh datang terlambat, memakai seragam dan kaos kaki sesuai hari yang sudah ditentukan jika sudah menerima, hingga keharusan menyapa semua senior dengan sebutan “Kak”—Adit sadar, ini bukan sekadar ancaman.

Di sela-sela tugas orientasi yang terkesan absurd, momen-momen lucu pun muncul. Seorang teman sekelompok mereka diminta menyanyikan lagu daerah dengan gaya rapp, membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal. Janu bahkan dengan percaya diri mengangkat tangannya untuk ikut, tetapi dia akhirnya lupa lirik di tengah lagu. Semua murid, termasuk Rini yang awalnya diam saja, seketika tertawa keras melihat tingkahnya.

Hari semakin panas, para murid baru diminta masuk ke kelas masing-masing oleh pengurus OSIS. Mereka kemudian menyatukan meja dan kursi, lantas duduk sesuai pembagian kelompok tadi. Jika saat di lapangan mereka disuruh menyanyikan lagu daerah dengan gaya rapp, kali ini mereka diberi tugas untuk memperkenalkan diri sekreatif mungkin. Seorang murid dari kelompok satu memulai perkenalan diri dengan bahasa Jepang. Adit yang memandang dari kejauhan tidak luput dari perhatian kakak kelas, hingga dia ditunjuk untuk giliran selanjutnya karena menampakkan sikap yang gelisah.

Bagaimana ini? Aku tidak pandai berbicara di depan umum, pikirnya.

“Kenapa, Dit? Bingung?” Rini bertanya sambil tersenyum.

Adit mengangguk canggung. “Iya, aku nggak tahu harus gimana. Aku nggak punya ide, nih.”

Rini terkekeh kecil. “Santai aja. Gimana kalau kita bikin pantun? Simpel, tapi pasti lucu.”

Mata Adit berbinar. “Boleh juga! Tapi… aku nggak terlalu bisa bikin pantun.”

“Tenang, aku bantu,” kata Rini penuh percaya diri. Dalam beberapa menit, mereka bersama-sama menyusun pantun yang sederhana dan menarik.

Setelah meminta waktu sebentar pada kakak kelas untuk mempersiapkan perkenalan diri, Adit berdiri tegak seraya menahan rasa gugup yang menguasainya. Dengan suara sedikit bergetar, ia melafalkan pantun yang tadi ia buat bersama Rini.

“Ke pasar beli rambutan,
Jangan lupa beli jambu biji.
Namaku Aditya Hermawan,
Senang bertemu kalian di sini!”

Suasana hening sejenak sebelum tawa dan tepuk tangan terdengar di sekitarnya. Adit tersenyum lega. Dalam hati, ia memuji kecerdikan Rini. Untuk pertama kali, ia merasa lebih percaya diri dan nyaman berada di tengah teman-teman barunya.

Kegiatan orientasi hari pertama pun selesai saat hari menjelang sore. Kini Adit dan Janu berjalan berdampingan keluar dari kelas. Janu masih saja berceloteh tentang bagaimana ia hampir kena hukuman karena lupa nama kakak kelas, sementara Adit mendengarkan sambil tersenyum.

Adit berucap, “Aku pikir orientasi bakal serem banget, tapi ternyata, ya… cukup seru juga.”

“Seru kalau ada temen,” sahut Janu sambil menepuk bahu Adit. “Kalau sendirian? Mati gaya, bro!”

Mereka akhirnya berpisah di depan gerbang sekolah. Janu berjalan kaki dan berbelok ke kiri karena rumahnya dekat dengan sekolah, sementara Adit berbelok ke kanan untuk mengambil motor yang ia titipkan di parkiran yang berada di luar sekolah. Di hari pertama, Adit senang karena mendapat teman yang mudah bergaul seperti Janu.

Angin sepoi-sepoi menerpa wajah Adit dalam perjalanan pulang. Ia mengemudikan motor dengan santai dan meluruskan pandangan ke depan seraya mempertahankan senyumannya. Dua hal yang membuat Adit senang hari ini, yakni mendapatkan teman baru dan bisa melanjutkan pendidikan di sekolah incarannya. Namun, dia merasa harus meningkatkan kepercayaan diri mulai detik ini.

Adit merasa bahwa masa SMA bukan hanya sekadar peralihan dari tahapan pendidikan sebelumnya, melainkan untuk membentuk karakter yang lebih baik, menambah relasi pertemanan, dan mencari jati diri. Dia ingin menjalani hari-harinya dengan baik selama tiga tahun ke depan sebagai siswa SMA.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ADIT'S TEEN STORY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang