Bayang-Bayang Berdarah

prolog

Malam itu, hujan turun dengan deras, membasahi jalanan kota yang sepi. Di sebuah rumah besar di tengah perumahan elit, suasana begitu sunyi, hanya terdengar suara rintik air menghantam kaca jendela. Dr. Marcus Vane, penulis terkenal yang hidup dalam kesendirian, duduk di ruang kerjanya yang remang. Pikirannya tampak kacau, jarinya gemetar di atas keyboard.

Ia mencoba menulis sesuatu, tetapi tidak ada satu kata pun yang tercipta. Wajahnya pucat, keringat mengalir di pelipisnya. Ia tahu malam ini adalah akhir dari segalanya.

Tepat pukul tiga pagi, sebuah suara bergema dari lorong rumah. Bukan suara angin atau derit pintu tua—tapi langkah kaki. Perlahan, mendekat. Marcus menoleh ke arah pintu ruang kerjanya, napasnya memburu.

"Siapa di sana?" tanyanya dengan suara parau.

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang semakin menekan. Namun, langkah itu terus mendekat, semakin dekat. Hingga akhirnya, bayangan muncul di ambang pintu.

Marcus mencoba berdiri, tapi tubuhnya terlalu lemah. Ia tahu siapa yang datang. Ia tahu mengapa.

“Sudah waktunya,” bisik suara dari bayangan itu, dingin dan tanpa emosi.

Beberapa detik kemudian, jeritan Marcus menggema di seluruh rumah, memecah kesunyian malam. Ketika suara itu mereda, hanya ada tubuh tak bernyawa yang tergeletak di lantai, dengan darah menggenang di sekitarnya. Di dinding, sebuah pesan tertulis dengan darah segar:

"Aku akan kembali untuk yang terakhir."

---

Pagi harinya, Detektif Evelyn Grey berdiri di depan tempat kejadian perkara. Tubuh Marcus telah dibawa, tetapi bekas darah di dinding tetap terlihat jelas. Pesan itu membakar pikiran Evelyn.

"Ini bukan pembunuhan biasa," gumamnya sambil memandang ke sekeliling ruangan.

Ia tidak tahu, tetapi pesan itu adalah permulaan dari permainan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Sebuah permainan di mana kebenaran adalah musuh, dan bayangan masa lalu siap menghancurkannya.

Bayangan itu telah bangkit.