Bab 1: PerkenalanDi sebuah pondok pesantren yang terletak di ujung desa, kehidupan santri berjalan dengan penuh kedisiplinan dan ketenangan. Di balik kesibukan belajar dan beribadah, ada kisah-kisah yang tumbuh diam-diam, terkadang terselip di antara suara azan dan doa-doa yang mengalun setiap hari.
Galih, seorang santri yang baru saja memasuki tahun ketiga di pondok itu, dikenal oleh teman-temannya sebagai sosok yang serius dan berdedikasi. Dia selalu tampak tenang dan sabar, menyelesaikan setiap tugasnya dengan tekun. Namun, ada sesuatu yang tersembunyi di balik keseriusannya—sesuatu yang jarang orang lain ketahui. Rasa itu muncul setiap kali dia bertemu dengan Rania, kakak kelas yang juga merupakan teman akrabnya sejak pertama kali datang ke pondok.
Rania adalah sosok yang cerdas, penuh perhatian, dan selalu menjadi panutan bagi teman-temannya. Bersama teman-temannya—Salbi, Fitri, Dhini, Zahro, dan Ifah—Rania selalu mengisi hari-harinya dengan tawa dan kebersamaan. Namun, ada satu hal yang tak bisa dia hindari: perasaan yang mulai tumbuh untuk Galih. Meskipun jarang mengungkapkan perasaan itu, ada getaran berbeda yang selalu ia rasakan ketika Galih hadir di dekatnya.
Setiap hari, mereka bertemu di halaman pondok, saling bertukar senyum, berbincang ringan, namun tak pernah ada yang berani mengungkapkan apa yang sesungguhnya tersimpan di hati. Di tengah keramaian teman-temannya, rasa itu tetap terjaga dalam diam.
Ustadzah Zizah, seorang guru yang juga tetangga Rania, selalu mengingatkan agar mereka menjaga hati dan fokus pada tujuan utama mereka: belajar dan mendalami ilmu agama. Begitu pula dengan Ustadz Yahya, musyrif Galih, yang selalu menekankan pentingnya menjaga adab dan niat dalam segala hal.
Namun, di antara segala peraturan dan ajaran yang mereka terima, cinta itu tetap hadir—terpendam di dalam doa-doa yang mereka panjatkan setiap malam. Doa untuk menjadi lebih baik, untuk menjaga hati, dan untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Tapi, akankah cinta yang tumbuh di antara mereka mampu bertahan di tengah keteguhan iman yang mereka junjung?
Pagi itu, seperti biasa, suasana pondok dipenuhi dengan hiruk-pikuk santri yang bersiap-siap untuk kegiatan pagi. Suara langkah kaki yang cepat, dipadukan dengan seruan-seruan kecil antar teman, menggema di seluruh area. Galih melangkah menuju masjid pondok dengan hati yang terasa ringan. Pagi ini, ada sesuatu yang berbeda.
Di depannya, Rania sedang berdiri bersama teman-temannya, Salbi dan Fitri, di depan pintu masjid. Senyumnya yang khas, membuat hati Galih berdebar tanpa dia sadari. Rania sedang berbicara tentang kegiatan hari itu, tetapi mata Galih hanya fokus pada dirinya. Tanpa berpikir panjang, dia memberanikan diri untuk mendekati mereka.
"Rania, Salbi, Fitri, Assalamualaikum," sapanya dengan suara yang sedikit lebih rendah dari biasanya.
"Waalaikumsalam, Galih," jawab Rania dengan senyum tipis. Salbi dan Fitri ikut menyapa dengan ceria.
"Galih, kamu udah siap buat kajian pagi ini?" tanya Fitri, memperhatikan buku yang dibawa Galih.
"Siap," jawab Galih singkat, namun pikirannya masih tertahan pada Rania. Mungkin dia tak bisa menahan rasa itu, meskipun dia tahu, di dalam dunia pondok, segala sesuatu harus dijalani dengan hati yang bersih dan tanpa gangguan duniawi.
Rania melihat Galih dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Sejak pertama kali mereka bertemu, dia sudah merasakan ada yang berbeda dalam diri Galih. Bukan hanya sebagai teman, tetapi sesuatu yang lebih. Namun, perasaan itu selalu disimpan rapat-rapat, terhalang oleh aturan yang mereka pegang teguh.
"Ayo, kita masuk. Kajian akan segera dimulai," ajak Rania, sambil melangkah menuju ruang kajian.
Galih mengangguk, mengikuti langkah Rania dengan hati yang berdebar. Setiap gerakan Rania, setiap kata yang diucapkan, terasa berbeda di mata Galih. Mereka berjalan berdampingan, namun entah mengapa, jarak antara mereka terasa begitu dekat, namun sekaligus jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Antara Doa dan Cinta
Short StoryDi antara doa dan cinta, Galih, seorang santri, terjebak dalam perasaan yang tumbuh untuk Rania, kakak kelasnya. Meski bersama teman-temannya seperti Salbi, Fitri, dan lainnya, Rania tak bisa mengabaikan perasaan itu. Namun, dengan bimbingan Ustadza...