Special Part Of Traitor
Mata bulat itu menatap kosong kearah jendala yang menyajikan eloknya ciptaan Tuhan, pikirannya terbang melayang, dan jiwanya terasa kosong seperti meninggalkan raganya. Tak ada semangat hidup yang dapat ia rasakan sejak orang yang ia cintai meninggalkannya.
Kesedihan dan kesepian adalah temannya saat ini.
"Khandra.."
Bukan, bukan suara itu yang ia harapkan. Dia bukan sosok yang ia rindukan saat ini.
"Sampai kapan lo mau seperti ini, Ndra?" Alden menghela nafas kasar ketika melihat Khandra yang tak bergeming dari tempatnya. Ia memijat keningnya yang berdenyut sakit melihat kondisi Khandra yang seperti mayat hidup.
Raut wajahnya tak berseri seperti dahulu, pucat seperti mayat, juga tubuhnya yang semakin kurus, menonjolkan tulang belulangnya. Benar-benar seperti mayat hidup.
"Andaikan waktu itu gue ga ninggalin Nathan, mungkin dia masih ada disini." Khandra bergumam lirih, tapi masih bisa didengar oleh Alden.
"Berhenti nyalahin diri lo, Ndra! Ini bukan salah lo!" Alden sedikit meninggikan suaranya untuk menyadarkan Khandra jika ini bukan salah pemuda itu.
"TAPI NATHAN MATI KARENA GUE GA ADA DISAMPINGNYA ALDEN! SEHARUSNYA GUE BISA NGEJAGA NATHAN!! SEHARUSNYA GUE YANG MATI, DEN!!"
"KHANDRA CUKUP!!"
Alden meraih tubuh Khandra, mendekapnya dalam pelukan hangat dan memberikan tepukan pelan pada bahu Khandra supaya pemuda itu bisa menjernihkan pikirannya.
"Please stop, Ndra! Apa kamu pikir Nathan akan bahagia jika ngeliat lo kayak gini. Lo ga bisa terus terpuruk seperti ini, Ndra." Ucap Alden berusaha menenangkan Khandra yang menangis dalam pelukannya.
"Sayang..."
Khandra melepaskan pelukannya ketika suara ibunya memanggil dirinya. Ia segera mengusap sisa air mata yang ada di pipi tirusnya.
Wanita tua itu tersenyum lembut, berjalan mendekat kearah putranya. Tangannya terulur menyentuh pipi anaknya yang terlihat sangat tirus dan pucat. Ia tersenyum getir melihatnya.
"Maafkan Mama, Nak" Wanita tua itu terisak kecil, seraya mengusap pipi tirus anaknya.
"Seharusnya Mama memberi tahumu dari awal, tapi Mama tidak bisa mengatakannya Khandra. Sekarang, saatnya kamu tahu yang sebenarnya." Ujar Mrs. Anderson, pandangannya beralih menatap pintu kamar sang anak, dan hal itu diikuti Khandra.
Khandra mengerutkan keningnya tak mengerti, namun sepersekian detik kemudian, matanya membelalak kaget diikuti dengan jantungnya yang berdegup begitu kencang.
Tubuhnya secara otomatis bergerak kearah seseorang yang baru saja memasuki kamarnya. Tanpa pikir panjang, Khandra memeluk sosok itu dengan sangat erat, seakan-akan sosok itu bisa pergi jika ia melepaskannya. Air matanya tak mampu ia bendung lagi, ia begitu merindukan sosok yang ada dipelukannya.