Awal Sebuah Mimpi

67 10 4
                                    

Pagi itu, mentari bersinar cerah di kota kecil tempat Freyan tinggal. Rumahnya, meski sederhana, terasa hangat dengan suasana yang penuh kenangan. Dindingnya dipenuhi foto-foto lama, sebagian sudah memudar. Ibunya, seorang wanita paruh baya yang kuat, selalu memulai harinya dengan semangat meskipun hidup tak selalu mudah.

Di dapur kecil, suara wajan yang beradu dengan spatula terdengar ritmis. Aroma nasi goreng bercampur dengan bumbu khas Jawa memenuhi udara, menguar hingga ruang tamu. Freyan, pemuda 18 tahun yang baru lulus SMA, duduk di meja makan sambil memegang ponsel bututnya. Jari-jarinya men-scroll layar, matanya fokus pada artikel berita yang sedang ia baca.

Artikel: "Seorang Remaja 17 Tahun dari Amerika Menjadi Pahlawan Digital Setelah Membongkar Sistem Hacker yang Membahayakan Jutaan Data."

Freyan membaca dengan antusias. Artikel itu menjelaskan bagaimana seorang remaja bernama Ethan berhasil mengalahkan kelompok hacker profesional yang meretas sistem bank besar. Ethan tak hanya dihargai dengan hadiah besar, tetapi juga ditawari pekerjaan oleh perusahaan teknologi ternama.

Ia merasa kagum sekaligus terintimidasi. "Gimana caranya orang bisa punya skill sehebat itu di umur segitu?" pikirnya.

Ibu (dari dapur): "Freyan, cabainya mana? Kamu malah asik main HP aja."
Freyan (terkejut): "Eh, iya Bu! Maaf."

Ia buru-buru meletakkan ponselnya dan mengambil sekantong cabai dari meja dapur. Dengan langkah cepat, ia menyerahkannya kepada sang ibu.

Ibu: "Kamu baca apa sih dari tadi? Berita artis?"
Freyan (tersenyum kecil): "Nggak, Bu. Baca tentang teknologi. Ada anak muda yang jago banget ngurusin hacker."
Ibu (mengaduk nasi goreng): "Oh... Bagus kalau kamu baca hal-hal bermanfaat. Tapi jangan lupa bantuin Ibu juga, ya."
Freyan: "Iya, Bu. Siap."

Meskipun ia menjawab dengan ringan, pikirannya masih melayang-layang ke berita itu. Ada rasa penasaran yang mulai tumbuh di hatinya. "Mungkin gue juga bisa belajar jadi seperti dia," batinnya.

---

Sore harinya, setelah membantu ibunya membereskan warung kecil mereka, Freyan memutuskan untuk bertemu Zee, sahabat karibnya, di sebuah warung kopi pinggir jalan. Warung itu sederhana, hanya terdiri dari beberapa meja kayu tua dan kursi plastik yang sudah mulai usang. Tapi tempat itu memiliki nilai sentimental bagi mereka, karena sering menjadi tempat mereka bertukar cerita.

Freyan tiba lebih dulu dan memesan kopi hitam panas. Ia duduk di salah satu meja di sudut, memandangi jalanan yang ramai oleh kendaraan. Pikiran tentang dunia hacking dan cybersecurity masih memenuhi benaknya. Tak lama, Zee datang dengan langkah santai.

Zee: "Sorry, bro. Telat dikit. Macet banget tadi."
Freyan (tertawa): "Alasan klasik. Lo pasti bangun telat, kan?"
Zee (tertawa): "Kebaca banget, ya? Ya udah, cerita. Katanya lo mau ngomongin sesuatu."

Freyan mengambil napas panjang. Ia merasa sedikit ragu untuk mengungkapkan mimpinya, takut Zee akan menganggapnya aneh. Tapi akhirnya ia memutuskan untuk jujur.

Freyan: "Gue lagi kepikiran soal masa depan, Zee."
Zee (mengangkat alis): "Wah, tumben. Biasanya lo santai banget soal hidup."
Freyan: "Iya, tapi gue baca berita tadi pagi. Ada anak muda yang jadi ahli cybersecurity, ngebobol hacker gitu. Keren banget, kan? Gue pengen coba belajar coding, Zee."
Zee (tertawa kecil): "Hah? Coding? Lo aja kemarin tanya gimana cara connect WiFi di laptop."
Freyan (tersenyum malu): "Iya, gue tau gue nggak jago. Tapi gue serius, Zee. Gue pengen mulai dari nol."

Zee terdiam sejenak, menatap Freyan dengan tatapan serius. Lalu, ia menepuk pundak sahabatnya itu.

Zee: "Ya udah, kalau lo serius, gue dukung. Tapi jangan kaget kalau lo pusing sama semua istilahnya, ya."
Freyan: "Gue siap. Gue cuma butuh laptop gue buat belajar, meskipun jadul banget."
Zee: "Jadul? Laptop lo tuh kayak artefak, Yan. Tapi ya udah, yang penting semangat."

Mereka tertawa bersama. Percakapan itu sederhana, tetapi bagi Freyan, dukungan Zee berarti banyak.

---

Malam itu, Freyan kembali ke kamarnya. Ia menyalakan laptop tua miliknya yang sudah sering rewel. Layarnya bergetar sedikit sebelum akhirnya menampilkan desktop yang penuh dengan ikon-ikon aplikasi lama.

Freyan (menghela napas): "Oke, ini saatnya. Gue mulai dari sini."

Ia membuka YouTube dan mengetik "belajar coding Python untuk pemula." Salah satu video yang muncul memiliki judul menarik: "Belajar Python dalam 10 Menit - Untuk Pemula!" Ia mengklik video itu.

Di layar, seorang instruktur mulai menjelaskan tentang program sederhana bernama print("Hello, World!"). Freyan mengikuti instruksinya, mengetik kode itu di editor teksnya. Tapi saat ia menjalankan program, yang muncul malah pesan error.

Freyan (menggaruk kepala): "Apa lagi ini? Baru mulai aja udah error

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Freyan (menggaruk kepala): "Apa lagi ini? Baru mulai aja udah error."

Setelah memeriksa kembali kodenya, ia sadar bahwa ia lupa menutup tanda kutip. Setelah memperbaikinya, program akhirnya berjalan. Tulisan Hello, World! muncul di layar.

Freyan (tersenyum lebar): "Yes! Berhasil!"

Meskipun sederhana, keberhasilan itu memberinya semangat baru. Ia melanjutkan menonton video itu, mencoba memahami konsep variable dan loop. Tapi semakin jauh ia belajar, semakin sulit ia merasa.

Freyan (menghela napas panjang): "Gue nggak nyangka ini bakal serumit ini. Tapi gue nggak boleh nyerah."

---

Malam semakin larut. Ibunya mengetuk pintu kamar Freyan, membawa segelas teh hangat.

Ibu: "Yan, kamu belum tidur? Besok pagi masih harus bantu Ibu jualan, loh."
Freyan: "Iya, Bu. Sebentar lagi. Yan lagi belajar coding."

*Yan, panggilan Freyan di rumah*

Ibunya masuk ke kamar, menatap layar laptop Freyan yang penuh dengan teks kode.

Ibu: "Kamu beneran serius mau belajar ini? Bukannya itu susah?"
Freyan: "Iya, Bu. Susah banget. Tapi yan pengen coba. Yan mau jadi ahli teknologi, Bu. Biar bisa bantu orang banyak."
Ibu (tersenyum kecil): "Bagus kalau kamu punya tujuan. Tapi jangan lupa sama tanggung jawab di rumah, ya."
Freyan: "Tenang, Bu. Yan nggak bakal lupa kok. Yan janji."

Ibunya tersenyum penuh kasih, lalu menepuk pundak anaknya. Meski ia tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang dikejar Freyan, ia merasa bangga karena anaknya memiliki mimpi.

---

Freyan menatap layar laptopnya dengan mata yang sedikit lelah, tetapi hatinya penuh tekad. Ia tahu jalannya tidak akan mudah, tetapi ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus maju, satu langkah kecil demi langkah kecil.

*****

Untuk karakter orang tua kayaknya cuma nama *bapa,ibu* doang deh, belum kepikiran namanya.

Next Chapter

IMPIAN MASA DEPAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang