Raja menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Angka-angka dan diagram struktural memenuhi pikirannya sejak pagi. Hari ini, mata kuliah tentang struktur beton benar-benar menguras tenaganya. Ia menutup laptop, menghela napas panjang, dan memutuskan untuk keluar sebentar mencari udara segar.
Langkah kakinya membawanya ke taman kampus, tempat yang sering ia kunjungi untuk melarikan diri sejenak dari rutinitas teknik sipil yang melelahkan. Di bawah pohon besar di sudut taman, ia melihat seorang gadis sedang asyik mencoret-coret buku sketsa di pangkuannya. Raja belum pernah melihatnya sebelumnya.
Gadis itu tampak begitu fokus, seolah dunia di sekitarnya menghilang. Rambutnya yang tergerai tertiup angin, dan ekspresi tenang di wajahnya membuat Raja merasa ada sesuatu yang berbeda tentang dirinya.
Ia duduk di bangku tak jauh dari gadis itu, mencoba untuk tidak mengganggunya. Namun, matanya tak bisa lepas dari gerakan pensil gadis itu yang begitu luwes. Goresan-goresan di kertas tampak mulai membentuk sebuah bangunan yang megah, sesuatu yang bagi Raja terlihat indah meski ia tak sepenuhnya mengerti.
Setelah beberapa menit berlalu, gadis itu menyadari kehadiran Raja. Ia menoleh dan tersenyum tipis.
“Sendirian?” tanyanya, suaranya lembut namun cukup untuk memecah keheningan.
Raja terkejut sesaat, tapi segera mengangguk. “Iya. Cuma butuh sedikit waktu untuk keluar dari... angka-angka.”
Gadis itu tertawa kecil. “Anak teknik sipil, ya?”
Raja mengangkat alis, heran. “Kok tahu?”
“Kebanyakan anak teknik sipil punya aura seperti itu,” katanya, sambil menunjuk ke arah laptop Raja yang tertutup di sampingnya. “Sering kelihatan serius tapi diam-diam terjebak sama angka.”
Raja tersenyum tipis. “Benar juga. Kamu sendiri, dari arsitektur?” tanyanya, menunjuk ke buku sketsa gadis itu.
Gadis itu mengangguk. “Iya. Kadang aku datang ke sini untuk mencari inspirasi. Namaku Aisha, by the way.”
“Raja,” jawabnya. Mereka berjabat tangan sebentar, lalu kembali terdiam, hanya ditemani suara angin dan dedaunan yang bergesekan.
Raja menunjuk ke arah sketsa Aisha. “Itu desain apa? Kelihatannya rumit.”
Aisha tersenyum, membuka sedikit sketsanya agar Raja bisa melihat lebih jelas. “Ini Cuma konsep kasar. Aku sedang mencoba merancang bangunan yang bisa menyatukan fungsi dan estetika, tapi juga terasa dekat dengan alam.”
Raja mengangguk, meskipun ia tak sepenuhnya paham. “Kamu membuatnya kelihatan mudah. Kalau aku, semuanya Cuma angka dan perhitungan.”
“Dan tanpa angka-angka itu, bangunan ini enggak akan berdiri kokoh,” jawab Aisha, sambil melirik ke arah Raja. “Mungkin kita saling melengkapi, ya?”
Raja terdiam sejenak. Ada sesuatu dalam cara Aisha berbicara yang membuatnya merasa nyaman. “Mungkin,” jawabnya akhirnya, sambil tersenyum kecil.
Sore itu berakhir begitu saja. Mereka tidak berbicara banyak, namun ada sesuatu yang mulai terbangun di antara mereka, sebuah rasa yang masih terlalu dini untuk diberi nama.
Raja pulang dengan pikiran yang sedikit lebih ringan, sementara Aisha kembali ke buku sketsanya dengan senyum kecil di wajahnya. Mungkin, taman itu akan menjadi tempat di mana cerita mereka dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sisa-sisa Senja
RomanceMasa Lalu dan Cinta yang Tertunda mengikuti kisah Raja, mahasiswa teknik sipil yang sedang berjuang melupakan masa lalunya bersama Fara, mantan pacarnya yang sulit untuk pergi, dan Aisha, mahasiswi arsitektur yang perlahan jatuh cinta padanya. Meski...