Namaku leo, aku lahir
dari keluarga yang penuh dengan kekacauan. Ayahku adalah pria yang baik, tetapi ia memiliki sisi lain yang sering membuatku merasa takut. Sifat tempramennya seperti api yang sewaktu-waktu bisa menyala tanpa peringatan. Aku tidak tahu pasti apa yang memicu kemarahannya-apakah pekerjaan yang membuatnya stres atau mungkin masa lalunya seorang broken home?. Yang jelas, aku tumbuh dengan suara-suara bentakan dan pertengkaran yang membuat malam-malamku terasa panjang.Ibuku berbeda. Ia seperti pelindungku, tempatku berlindung setiap kali badai di rumah tak kunjung reda. Namun aku tahu, di balik senyum dan kelembutannya, ia menyimpan rasa lelah yang tak pernah diucapkan. Aku sering melihatnya menatap kosong ke luar jendela setelah bertengkar dengan ayah. Dan meskipun aku ingin bertanya, "Apa yang bisa aku lakukan Bu?" mulutku selalu terkunci. Aku masih kecil waktu itu, terlalu kecil untuk memahami bahwa kadang orang dewasa pun tidak selalu tahu apa yang harus mereka lakukan. Pernah di suatu hari orangtuaku bertengkar hebat, ayahku seorang tempramen itu memukul ibuku dengan tangannya yang besar dan ibuku yang mungil. Ibu ku dipukul, di tendang, dan di caci maki. Aku dan adikku hanya bisa diam, kami menangis tanpa suara. Hatiku sangat hancur melihat ibuku yang terus di pukul dan di caci maki oleh ayahku. Hati kecilku berbisik "Selamatkan ibumu leo, dia sudah tak tahan lagi". Aku melerai kedua orangtuaku yang tengah bertengkar. Tetapi ayahku melayangkan tinjunya ke hidungku, darah bercucuran dan mengotori bajuku. Darah segar yang terasa seperti besi itu terus bercucuran dan tak pernah habis, di benakku aku hanya memikirkan aku akan mati dengan kehabisan darah.
Di sekolah, hidupku juga tidak lebih mudah. Aku sering menjadi sasaran teman-teman sekelas. Mereka bilang aku aneh, terlalu pintar, dan tidak pernah cocok dengan kelompok mana pun. Aku tidak pernah mengerti kenapa mereka begitu membenciku, apa mungkin mereka membenciku akibat prestasiku?. Aku rasa semua orang mempunyai bakat tertentu, baik itu secara akademik maupum non-akademik. Aku hanya ingin menjadi bagian dari sesuatu, seperti anak-anak lain. Tapi, semakin aku mencoba, semakin aku merasa terasing.
Pernah suatu hari, aku diajak bermain di sungai oleh mereka. Aku merasa senang, meski agak ragu. Namun itu hanya jebakan. Mereka sengaja mengerjaiku, ternyata mereka menarikku ketengah sungai yang dalam. Tubuhku yang gempal tidak bisa berenang, aku tenggelam dan mereka malah menertawaiku. Aku terus meminta tolong dengan melambaikan tangan. Untung ada warga di sana, mereka menarikku ke tepian. Aku hanya terdiam, pura-pura tidak peduli. Tapi saat sampai di rumah, aku mengunci diri di kamar dan menangis semalaman. Aku berpikir "di mana ke-adilan dan kebahagiaan yang di janjikan Tuhan".
Aku tidak pernah menceritakan semua ini pada siapa pun. Tidak pada ibu, apalagi ayah. Aku tahu mereka sudah cukup sibuk dengan masalah mereka sendiri. Aku merasa sendiri, terperangkap dalam dunia yang seolah tidak ada tempat untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
JEJAK LUKA CAHAYA ASA
Non-FictionTentang seorang anak bernama Leo, yang tumbuh dalam bayang-bayang kekerasan. Meskipun ayahnya memiliki sisi baik, amarahnya sering meledak dan mengarah pada Leo serta ibunya, menciptakan kehidupan yang penuh ketakutan. Di sekolah, kecerdasannya mala...