Hola semua! Yang nungguin ceritanya Jasper, monggo dibaca.. :)
Beberapa bagian ada yang sama atau ada di ceritanya Sammy atau Tiffany, cause mereka satu rumah kan. Beda cerita sama Yuri, fokusnya cuma ke Yuri gak sama kakak-kakaknya. Jadi jangan heran ya.. :D
Terus maafin nih lama banget baru ngepost sekarang. Soalnya pencarian karakternya agak-agak susah. Hehe, tapi diusahain serame cerita ayah dan bundanya.. LOL
Happy reading!
****
JASPER POVAku terbangun karena teriakan Tiffany yang begitu kencang di sebelahku.
Aku pun membuka mata malas, menoleh ke arah Tiffany yang sudah duduk di sampingku sambil memandang jendela kamar.
"Kenapa, Tiff?" Tanyaku, ikut duduk.
"Jazz, jendela gak dikunci ya kemaren malem?" Sammy mengigau dalam tidurnya, karena matanya masih tertutup rapat. "Dingin tau!"
Aku mengernyitkan kening, kembali memandang Tiffany. "Kamu kenapa, Tiff?"
Tiffany menunjuk jendela kamar gemetaran. "Ad-ada...o-orang tadi," jawabnya terbata.
Aku ikut memandang jendela, gorden yang terbuka tertiup angin malam, menampakkan jendela kamarku memang terbuka.
Aku mengingat-ingat kemarin malam. Dan seingatku, aku sudah mengunci jendela tepat sebelum aku mulai bermain game.
Perlahan aku bangkit, tapi dicegah oleh Tiffany.
"Jangan, Jazz," ucap Tiffany.
"Relax okay," ucapku lembut. "Gak ada yang bahaya kok. Jendelanya cuma kebuka aja."
"Tapi tadi aku liat orang, Jazz," ucap Tiffany bergetar. "Aku takut..."
"Gak apa-apa." Aku coba menenangkan Tiffany. "Kalo jendelanya terbuka malah lebih bahaya," jelasku. "Bisa-bisa ada maling masuk."
Tiffany mengangguk ragu. "Hati-hati, Jazz."
Aku mengangguk, tersenyum, mulai berjalan ke jendela.
Aku membuang nafas pelan, melihat keluar jendela sebentar.
Ada sosok yang tersenyum di bawah sana, mengacungkan jarinya ke bibirnya yang lebar.
Aku menyipitkan mata, memfokuskan ke sosok yang berdiri dalam kegelapan malam, meskipun lampu luar rumah sedikit menerangi hoodie putih yang dipakai sosok itu.
"Jeff?" Ucapku tak bersuara.
Sosok itu kemudian melambaikan tangan dan pergi.
Aku membuang nafas keras.
"Ada apa, Jazz?" Tanya Tiffany khawatir. "Kamu liat sesuatu?"
Aku menolehkan kepala ke belakang, tersenyum. "Enggak. Bukan apa-apa," jawabku bohong.
Aku segera menutup jendela dan menguncinya. Kembali berjalan ke tempat tidur.
"Gak ada apa-apa," jelasku pada Tiffany. "Tidurlah."
Tiffany mengangguk kecil. "Biarin aku tidur dulu baru Jazz tidur nyusul ya?" Pintanya.
Aku tersenyum, mengangguk.
"Mau aku kelonin?" Godaku, terkikik.
Tiffany menggebuk lenganku pelan, lalu berbaring.
"I'm serious, Tiff."
"Enggak!" Seru Tiffany keras.
"Fany, berisik!" Seru Sammy gak terduga.
Aku dan Tiffany memandang Sammy yang matanya tertutup rapat, kemudian saling pandang, mengangkat bahu.
"Emang kadang-kadang dia aneh," ucapku, tertawa kecil.
"Ih! Gak boleh gitu, Jazz." Tiffany mendelik.
"Udah, cepet tidur!" Suruhku, menguap, mengerling jam dinding. "Baru jam dua."
Sambil mastiin Tiffany balik tidur, aku liat Sammy yang lelap banget tidurnya walaupun dia sempet beberapa kali ngigau barusan. "He's back, Sam," bisikku pelan.
****
Kedua adikku udah pergi sebelum aku bangun. Artinya mereka udah balik ke kamar mereka ketika aku bangun, atau mungkin mereka lagi mandi dan siap-siap untuk...
Tunggu! Ini jam berapa?
Aku mengerling jam dinding yang menunjukkan angka jam setengah tujuh.
Sial!
Aku melompat dari kasur, melesat ke kamar mandi, lalu bersiap-siap.
"Jazz kesiangan..." Sam bersiul kegirangan.
"Berisik!" Seruku, melewatinya, mengambil sepotong roti dan segera pergi.
"Jasper!" Teriak ayah di belakang. "Bundamu masih sarapan!"
"Jasper naik angkot aja!" Aku balas teriak. "Udah kesiangan ini!"
Tanpa menghiraukan ucapan ayah lagi, aku berlari cepat untuk mencari angkot. Semoga angkotnya gak ngetem-ngetem dulu. Pokoknya aku harus cepet nyampe kalo enggak, pasti kena hukuman deh gara-gara telat. Ck.
Sesampainya di sekolah aku turun cepet sampe lupa bayar ongkos.
"Eh, eh! Ongkosnya mana?" Teriak supir angkot, menghentikan langkahku.
Aku menepuk jidat, merogoh uang di saku baju dan celana.
Yasalam. Jangan bilang...
Aku mencoba mencari uang di dalam tas. Aduh gawat!
Aku mengingat-ingat acaraku tadi sebelum naik angkot. Oh iya, ayah neriakin uang deh kalo gak salah. Argh! Gini ceritanya gimana aku bayar ongkosnya?
"Ayo mana ongkosnya?" Tagih supir, berdecak gak sabar.
Aku mengusap tengkuk sekilas, noleh ke kanan dan kiri berharap dapet bantuan.
Ada satu cewek yang lagi lari ke arahku - gerbang sekolah maksudku - dengan terburu-buru.
Aku mengembangkan senyum, mencegat cewek itu dengan cepat.
"Apa?!" Tanya cewek itu galak.
Buset dah!
"Pinjem uang," ucapku tanpa basa-basi.
Cewek itu memandangku dengan ekspresi bingung.
"Duh, udah deh. Kamu juga telat kan? Nanti pasti aku ganti," jelasku, memutar bola mata.
Cewek itu pun mengeluarkan beberapa lembar uang seribuan yang langsung aku sambar.
"Thanks!" Aku berlari ke supir buat bayar.
Marathon pagi. Ck.
Aku berbalik, melihat cewek itu malah menungguku dan bukannya masuk gerbang duluan.
"Kamu ngapain sih masih di sini?" Tegurku, menarik tangannya, berlari melewati gerbang. "Pak, jangan ditutup dong!" Seruku. "Please, Pak. Kali ini aja. Kan saya anak rajin, boleh ya?"
Satpam pun memperbolehkanku dan cewek ini masuk. "Yang rajin itu ayahmu."
Aku nyengir.
Bahkan satpam pun masih ingat dengan ayahku. Ck.
Fiuh. Akhirnya masuk sekolah juga.
Aku mengerling jam tangan yang udah nunjukin jam setengah delapan. Shit!
"Eh, aku duluan ya!" Ucapku, kabur, melesat cepat menuju kelasku. Aku berbalik sebentar. "Pulang sekolah aku bayar!"
****
Selesai jam pelajaran terakhir, aku cepet-cepet beresin alat tulis, keluar kelas tanpa say goodbye sama temen-temen dan langsung cari cewek penyelamatku tadi pagi.
Baru beberapa kelas yang bubar, jadi mempermudahku untuk mencari cewek itu, melihat dari luar kelas. Banyak cewek yang curi-curi pandang ke arahku. Aku emang baru masuk tapi para guru di sekolah ini udah tau aku anak siapa. Dan sebagian besar murid di SMA ini juga tau. Entahlah seberapa populer ayah sampe-sampe aku diliatin kayak gini.
Gak tau kenapa aku yakin banget kalo cewek yang nolongin tadi sama-sama kelas satu kayak aku, makanya aku cuma ngeliatin dan cari cewek di kelas-kelas satu aja. Well, meskipun ada beberapa kelas dua dan kelas tiga yang udah bubar ada juga yang memandangku kepo.
Okay, fokus cari cewek itu. Bukannya ngeliatin sekitar yang lagi ngeliatin aku.
Setelah mencari ke beberapa kelas satu, akhirnya aku nemuin cewek itu lagi beresin alat tulis miliknya. Tanpa sadar aku tersenyum, membuat cewek-cewek di kelas itu berteriak heboh. Great.
Perlahan cewek itu mulai bangkit dari kursinya, ia memandang jendela dan mata kami pun bertemu.
Aku melambaikan tangan padanya, membuat sebagian besar cewek di kelas itu melirik ke cewek yang aku pandang.
"Yah, cowok cakep itu udah punya pacar."
Pacar dari Hongkong? Ck.
Aku bahkan gak kenalan tadi sama cewek yang nolongin aku. Dari mana bisa disebut pacar?
"Efek kamu lumayan juga ya," ucap cewek itu setelah sampai di sebelahku. "Are you some kind of popular or something?"
Aku tersenyum, mengangkat bahu.
"Oh iya, kita belum kenalan," ucapku, mengulurkan tangan. "Jasper."
"Kania." Cewek itu mulai berjalan mendahuluiku.
"Buru-buru amat," ucapku, menyamai langkahnya.
"Aku harus kerja."
"Kerja?" Aku mengangkat sebelah alis. "Kenapa?"
Kania memandangku gak suka.
"Sorry. Maksud aku, kan orang tua kamu biayain kamu," jelasku. "Kenapa kamu harus kerja segala?"
"Karena aku besar di panti asuhan," jawab Kania datar.
Duh. Aku salah ngomong.
"Sorry, I don't know."
Kania tertawa kecil. "Gak usah dibahas."
"Aku anterin pulang deh," tawarku. "Atau aku anterin ke tempat kerja kamu."
"Tadi aja pinjem uang dari aku. Gimana kamu mau nganterin aku?" Tanya Kania, sinis.
Aku tersenyum lebar, berhenti di dekat gerbang, tepat di depan mobil bunda. Kania ikut menghentikan langkahnya.
"Ayo masuk!" Aku menarik tangan Kania dan menyuruhnya masuk dan duduk di jok belakang.
"Temen kamu, Jazz?" Tanya Bunda.
"Yep," jawabku singkat.
Kania tersenyum ramah pada bunda.
"Bun, anterin Kania dulu ke tempat kerjanya ya?" Pintaku.
"Boleh. Kamu kerja dimana?" Tanya bunda pada Kania.
"Giggle Box," jawab Kania pelan.
Aku memutar bola mata. "Giggle Box yang dimana, Ka?"
Kania mendelik, memandangku. "Ka?"
"Terus aku manggil apa?"
"Ka-ni-a," jawab Kania dengan mengeja tiap suku kata namanya sendiri.
****
"Kania pacar kamu, Jazz?" Tanya bunda ketika sampai di rumah dan segera bersiap untuk masak.
Aku yang kebetulan lagi minum air putih langsung terbatuk-batuk.
"Impossible!" jawabku, melap mulutku yang basah.
Hampir aja tadi aku menyemburkan air dalam mulutku itu. Ck.
"Mana ada sih baru masuk udah punya pacar?" Aku memutar bola mata, kembali menjelaskan. "Tadi itu Jasper pinjem uang ke dia buat ongkos angkot, Bun."
Bunda mengangkat bahunya, fokus memasak.
"Udah deh, Jasper mau mandi," ucapku, beranjak pergi ke kamar.
Ya. Mandi pasti bisa bikin badan aku kembali fresh.
Selesai mandi, aku pake t-shirt putih polos dan celana pendek selutut. Cek hp bentar, baru langkahin kaki keluar kamar.
Belum nyampe aku di ambang pintu, terdengar ketukan pelan di jendela balkon.
Aku langsung berbalik, melihat Jeff yang tersenyum lebar sambil melambaikan tangan.
Aku julurin kepala keluar kamar, liat kanan kiri, terus nutup pintu, dan menguncinya.
"Hi, Jasper! Long time no see," ucap Jeff yang sudah duduk di tempat tidurku tanpa permisi - entah gimana caranya dia udah bisa masuk aja ke kamarku.
Aku berdecak pelan, menghampirinya, memilih duduk di kursi belajarku.
"Kapan datang?"
"Kemarin siang," jawab Jeff, masih dengan senyum yang sama.
Aku mengangkat sebelah alis. "Mau ketemu Sam?" Tanyaku to the point. "Bentar lagi dia pulang kok."
Jeff mengangguk. "Tapi nanti aja," jawabnya, mengibaskan tangannya. "Aku besok mulai sekolah di sekolah yang sama."
Aku membuang nafas pelan. "Terus, kemaren malem ngapain nakut-nakutin Tiffany?"
Jeff mengerutkan dahinya bingung.
"Tiffany?" Ulangnya. "Adik kamu yang lain?"
"Uh-huh."
"Bukan maksud nakut-nakutin---" jelasnya. "---eh, yang aku takut-takutin bukan Sammy?"
Aku menggelengkan kepala cepat.
"Jadi Sammy yang..." Ucap Jeff menggantung.
"Sammy tidur di sebelah kananku," jelasku, mengangguk. "Yang di sebelah kiri, yang kamu takut-takutin tadi malem itu Tiffany."
"Sorry." Jeff keliatan bersalah. "Aku pikir dia Sammy."
Aku mengerutkan dahi. "Ah... Sammy potong rambutnya semester kemarin," jelasku baru ingat kalau Sammy mengubah rambutnya jadi pendek.
"Potong rambut? Sependek itu?"
Aku tertawa kecil.
"Yep!"
Jeff mengangguk-angguk.
"Oya, Tante Krystal dan Om Ruki juga ke sini?"
"Nope. Just me."
"Oliver?"
"Nope." Jeff menggelengkan kepalanya.
"Kamu tinggal di sekitar sini?"
"Aku tinggal dekat sekolah."
Aku memandangnya heran.
"Aku bawa kendaraan kok."
Aku mengangguk-angguk.
"JAZZ!!!" Teriakan Sammy menyeruak masuk ke kamarku.
"Nah, itu dia!" Aku segera bangkit, berjalan menuju pintu.
"Okay. Sampai ketemu nanti!" Jeff beranjak pergi.
Aku menghentikan langkah, berbalik. "Yakin gak akan ketemu dulu?"
Jeff menggelengkan kepalanya. "Thanks Jazz."
"JAZZ, BUKA PINTUNYA!"
Aku berdecak kesal, kembali berjalan menuju pintu. "Bisa gak usah teriak-teriak kan?" Protesku. "Bisa budeg telinga aku."
"Ular punya Jazz mana?"
"Hah?"
"Ular peliharaan Jazz dimana?" Sammy masuk ke kamarku tanpa permisi.
"Buat apaan sih?"
"Pinjem sehari doang buat besok."
Sammy berjalan kesana kemari di kamarku.
"Gak ada di sini kali." Aku memutar bola mata males.
Sammy menepuk jidatnya. "Ada di kebun ya?" Ia langsung berjalan keluar kamar.
Tanganku terulur, menarik kerah seragam Sammy. "Kamu mau bikin masalah apa lagi?"
"Lepasin, Jazz!" Sammy berontak.
"Enggak sebelum kamu mau jelasin."
"Mau ngerjain Ariana."
"What?! Again?"
"Jasper gak tau seberapa nyebelinnya dia sih!"
"Ya emang aku gak tau. Perasaan dia baik."
"Baik itu ke Jasper. Ke aku enggak!"
"Kenapa bisa?"
"Ariana gak tau Jasper itu kakak aku, yang artinya gak tau juga kalo Jasper anak dari ayah dan bunda."
Aku melepaskan kerah seragam Sammy, menariknya mendekat, membalikkan badannya.
"Ariana itu siapa emang? Apa hubungannya sama ayah dan bunda?"
Sammy ngerucutin bibirnya, melepaskan tanganku dari bahunya. Ia berbalik, berjalan menuju kamarnya sambil menghentakkan kaki.
"Hei!" Teriakku.
"Jazz?" Tiffany menghampiriku dengan rambut berbalut handuk.
"Tiff, kamu mandi?" Tanyaku heran.
Seingatku Tiffany mandi hanya sekitar setengah lima sore, dan itu berlaku setiap harinya.
Tiffany nyengir.
"Aku kena air selokan," ucapnya. "Makanya langsung mandi begitu nyampe rumah."
"Kok bisa, Tiff?" Aku mengalungkan tangan di pundak Tiffany, mengajaknya turun. "Kita makan kalo gitu. Tadi mau ngomong apa?"
"Jangan dikasih pinjem ularnya," pinta Tiffany.
Pasti ada hubungannya sama anak yang namanya Ariana.
Aku sempet tau sekilas doang tentang cewek yang namanya Ariana. Tapi, setau aku dia orangnya baik. Gak pernah jailin orang.
"Oya?! Emang Jasper tau apa soal Ariana? Emang gara-gara siapa aku dihukum waktu itu?!"
Aku menolehkan kepala, memandang kamar Sammy. Cih, dia dengerin aku.
"Kenapa, Jazz?" Tanya Tiffany, ikut menolehkan kepalanya, celingak-celinguk. "Liatin apa?"
Aku nyengir. "Bukan apa-apa, Tiff."
Aku dan Tiffany pun mulai menarik kursi ketika sampai di ruang makan. Bunda pun melakukan hal yang sama.
"Sam, ayo turun!" Teriak bunda. "Makanannya sudah siap!"
Hening, sementara aku dan Tiffany saling lirik, mengangkat bahu.
Tidak ada jawaban dari atas. Bahkan jawaban dalam hati pun gak ada.
"Jazz, cek ke atas gih!" Suruh bunda memandangku.
"Sam lagi marah sama aku, bun," ucapku, menolak perintah bunda.
Bunda memandangku heran.
"Jangan tanya Jasper kenapa dia marah sama Jasper, bunda." Aku memutar bola mata malas.
Tiffany mulai makan dalam diam.
Bunda membuang nafas pelan, bangkit dari kursinya, berjalan ke kamar Sammy.
"Emang bener yang bikin kamu kena air selokan itu Ariana?" Tanyaku, memandang Tiffany lekat.
Tiffany memandang ke arah lain. "Enggak tau deh," jawabnya gak jelas.
"Kok?"
"Ya dibilang karena Kak Ariana juga bukan deh kayaknya," jelas Tiffany, mengangguk-ngangguk, seakan-akan meyakinkan dirinya sendiri. "Soalnya tadi itu Kak Ariana lari kayak terburu-buru gitu. Gak sengaja nyenggol aku pas lewat, jadi gitu."
Aku manggut-manggut, bawa piring kotor ke dapur dan mencucinya.
"Lho, udah selesai lagi?" Bunda kembali dengan wajah tidak senang.
"Udah," jawabku. "Jasper ada tugas soalnya. Sammy-nya gimana, bun?"
Bunda menggelengkan kepalanya.
"Gak ada di kamarnya," jawab bunda, mulai menyendokkan nasi ke piringnya. "Ada seutas tambang yang menggantung di balkon. Padahal jelas-jelas gak ada pintu ke balkon."
"Yah, bunda kayak gak tau Sam aja."
****
DAFA POV
KAMU SEDANG MEMBACA
Unreadable [Pending]
Teen FictionAku gak ngerti apa yang dia pikirin. Status palsu ini bikin aku jadi pusat perhatian orang. I hate it! - Kania Awalnya dia cuma jadi status palsuku. Tapi sesuatu yang aneh terjadi padaku. She's too unreadable! - Jasper