Shit! Kenapa nilai matematika gue selalu gini sih!
"Hai, Natasha Sandra, yang katanya perfect dan bisa segalanya."
Sial! Dia lagi, dia lagi! Kenapa sih dia selalu ingin tahu tentang diriku? Tepatnya, kenapa dia selalu hadir di saat aku terpuruk dan tak bisa membuktikan kehebatanku.
"Apa sih lo?" kataku ketus pada lelaki yang tengah menatapku sinis.
"Berapa nilai matematika lo?"
Aku tertawa riang, membuat senyum selebar-lebarnya. "Mau tau? Tunjukin dulu punya lo!"
Lelaki itu membuka kertas putih yang tadi dilipatnya. Kertas itu kini menampilkan bulatan angka yang sama sekali tak kuduga bisa didapatkan oleh makhluk macam dia.
Anjir, sembilan puluh lima, men!
"Udah kan? Sekarang, gantian punya lo!" tantangnya lantang.
Beberapa warga kelas 10-A yang belum beranjak dari kelas, ikut memperhatikanku. Beberapa warga itu adalah 'anak-buah' dari pria yang ada di depanku, dan selalu berambisi untuk mengalahkanku.
"Berapa punya lo, Nat?" Kini Toto angkat bicara.
Kevin ikut tersenyum licik. "Pasti punya lo nggak sebagus itu, kan?"
Begitupun dengan Indra, yang berdiri sambil menyampirkan tasnya ke bahu. "Lo kan bego di matematika. Ya dunia pasti tau kalo lo kalah!"
Oh sial!
Mereka semua memojokanku. Tapi diantara mereka semua yang berbicara, ada satu yang paling menyindirku dengan tatapannya. Dia-adalah-dia. Yang selalu menyimpan dendam padaku, sejak kejadian itu terjadi.
Lelaki itu kini maju beberapa langkah, dan memutari badanku yang berdiri kaku. "Gue tau, lo nggak se-perfect itu. Lo cantik, tapi otak lo udang."
"Apa sih mau lo?!" teriakku tak sabar.
Kini, lelaki itu menepuk bahuku, dan dengan cepat kutepis. "Gue cuma mau, lo ikut ke permainan gue!"
"Permainan apa sih?" Nafasku tersengal, emosi menjalar. "Oke, gini ya, gue minta maaf soal kejadian di SMP dulu. Udah lah, yang udah ya udah."
"Nggak bisa! Gue bakal maafin lo, kalo lo udah bisa kalahin gue di permainan ini!"
"Allah aja maha pemaaf. Masa lo enggak!"
Ia tersenyum kecut. "Ya, karena gue bukan Tuhan! Dan Tuhan memberi hati pada tiap manusia, sehingga tiap manusia bisa merasakan dendam. Iya, kan?"
Memang benar perkataannya. Ada sesuatu yang bisa dimaafkan, ada sesuatu yang sulit dimaafkan (bisa-tapi-nanti), dan ada sesuatu yang tak bisa dimaafkan. Kecuali jika ada kelapangan dan keikhlasan.
Aku mengaku, aku salah dulu kala. Tapi, apa dia tak bisa membuka pintu maaf untukku? Setidaknya meski tak bisa bersahabat, tapi 'kata maaf' bisa membuka lagi pertemanan, kan?
Belum sempat aku bertanya lagi, lelaki bernama Andreas Gerovano Aditya, meninggalkanku yang masih terpaku dengan kesalahanku di masa lalu.******
"Gue mau ikutin permainan lo!"
Lelaki yang berada di tengah lapangan dan sedang men-dribble bola basket kesayangannya, kini menghentikan aktivitasnya dan menghadap ke arahku. Begitupun dengan ketiga temannya.
"Apa?"
"Gue mau ikutin permainan lo!" ulangku secara tegas untuk kedua kalinya.
Andre bertepuk tangan. Sorot kemenangan tampak di wajahnya. Ya, kemenangan tanpa kebahagiaan. Karena kemenangan itu di dasari dengan rasa dendam.
"Lo yakin?" tanyanya sinis. "Kenapa lo mau turutin perkataan gue? Kenapa lo berubah pikiran?"
Aku menarik nafas panjangku. "Alasan pertama, gue mau buktiin kalo gue bisa taklukin semua tantangan lo!"
"Yeah, miss perfect udah niat rupanya," sindirnya.
"Kedua, gue mau nunjukin kalo gue nggak selemah itu!"
"Lo memang nggak lemah, kok! Bahkan hati dan mulut lo terlalu kuat untuk melemahkan hati setiap orang!"
Shit! Dia-nyindir-gue!
"Dan yang paling penting, gue...mau dapet maaf dari lo!"
Alasan ketigaku, sukses membuatnya menganga lebar. Mungkin ia menyangka bahwa aku tak butuh maaf, karena kehilangannya tak akan mempengaruhi kehidupanku yang banyak teman ini. Tapi jujur, aku tidak tenang.
Kenapa?
Bermusuhan dengannya, atau, lebih tepatnya berjauhan, membuatku menjadi orang yang ketakutan. Entah karena apa, tapi aku sadar, kesombonganku di masa lalu, membuat hidupku sedikit berantakan.
Ya, aku harus mengalah. Aku harus rendah hati. Because it's the things miss perfect needs, right?
KAMU SEDANG MEMBACA
A Sweet Shit Game (First Kiss)
Teen FictionPasti semua orang pernah bertanya tentang hal ini, termasuk aku. "Bagaimana sih rasanya ciuman pertama?" Yah, bagi kebanyakan orang, itu adalah hal yang 'tak-terlupakan'. Tapi untukku... Itu adalah hal yang menjijikan dan membuatku ingin mengulang...