Julian seperti orang kesetanan begitu hujan tiba-tiba menghantamnya brutal. Mengumpat sumpah serapah. Menendang-nendang tiang shelter—bodohnya, ia merasa kesakitan sendiri. Sampai mengirimkan tatapan seram-apa-lihat-lihat-memang-saya-pisang-kepada siapa saja yang tidak sengaja melihatnya ngamuk.
Well, shit. Julian mendengus jengah. Melipat kedua tangannya di depan dada sembari menatap kendaraan yang lalu-lalang dan—shoo—kurang ajarnya memercikkan air parit yang meluap. Sekali lagi, ia mengembuskan napas kesal, memberikan jari tengah pada pengemudi Maserati biru donker yang sudah melesat jauuuuuh entah ke mana. Sialan.
Buk!
Julian menarik jari tengahnya begitu bahunya tidak sengaja tersenggol ibu-ibu yang khendak membuka payung. Mata sewarna kenarinya memicing tidak ramah pada wanita tersebut, tapi setidaknya Julian bisa bernapas lega setelah menemukan bangku kosong untuk bokongnya.
Dari tadi, kek, gini 'kan enak, katanya begitu duduk di bangku. Telinganya kembali disumbat headset dan suara vokalis Imagine Dragon yang meracau lagu Demons membuat fase bad moodnya di level aman. Sekadar informasi saja, sih; kalau moodnya rusak dan di level awas, laki-laki berambut hitam semrawutan itu bisa menghajar benda yang di dekatnya seperti tadi (dan setelahnya ia akan tutup muka karena malu).
Saking terbawa suasana dengan musik yang didengarnya, kaki kiri yang menumpu kaki kanannya kebiasaan bergetar sambil bibirnya komat-kamit mengikuti lirik. Tapi, Julian tiba-tiba mengernyit ketika jempolnya tengah asyik scrolling iPod mencari lagu selanjutnya. Ada yang aneh, pikirnya. Ia menoleh ke kanan-kiri dan hanya butuh lima detik ia menemukan sesuatu yang—menurutnya—aneh.
Dan lelaki itu menyadari bahwa ada sepasang iris sewarna merkuri yang mengintipnya dari kejauhan. Julian kemudian melepas headset yang menyumpal telinganya, membiarkannya menjuntai—sampai menghantam layar iPod—, ikut mencuri pandang melihat wajah si mata—hell, asli atau cuma softlens?—biru, memastikan kalau dia yang dipandang atau orang lain.
Bukan naris atau apa, tapi ... serius, kedua mata itu menatap tepat ke arahnya. Toh, ketika berbalik ke sebelahnya atau ke arah mana pun tidak ada yang terlihat sedang tatap muka dengan si pemilik mata itu.
Ah, tapi, Julian hanya mengedikkan bahu dan pasang tampang meh, like I care sembari meninggikan volume iPod-nya sampai di batas maksimum.
When you feel my heat, look into my eyes, it's where my demons hide, it's where my demons hide ...
.
.
"Kasian banget ini kucing kena hujan sampe gemeteran gitu," Dani terkekeh, menyodorkan caramel macchiato hangat pada Julian yang menggigil karena menerobos hujan tanpa mengenakan sweater atau apapun selain t-shirt putih polos yang terkesan seperti cuma pakai kaos kutang. (Yah, ini karena Dani juga, sih, yang malas menjemputnya.) Julian melayangkan kedua jari tengahnya, kemudian menangkup cangkir panas—atau hangat saking dinginnya?—dan menyeruputnya nikmat. "Bayar sendiri, ya. Gue nggak punya duit."
Julian menyemburkan kopi yang diteguknya, "Monyet!"
"Language, Ian!" Suara alto nyaris berteriak membuat Julian reflek menoleh ke sumber suara—tepat di belakangnya. Terlihat gadis—androginy?—berambut cokelat ngembang berantakan yang cuma diikat asal, mengenakan sweater adidas merah yang digulung sampai sikut, celana jins yang sengaja robek di lutut kanan dan paha kiri. Dandanan paling brutal di antara perempuan yang datang ke sini, "Abah's coffee", tempat tongkorongan mereka. Heysa namanya. "Hei, hei, liat! Gue bawa bule dari Hogwarts!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Check Yes Julian
Teen FictionJulian bilang, "Oh, please, hidup kita bukan kisah Shakespear, people!" ===== Warnings: strong language, light bl, cupu, awkward, messy, typo(s), alur ngebut, banyak cacat, etc. Sori kalau ceritanya terlalu asdvbdjnfurjbe bikin yang baca pasang tamp...