Ravit menunduk, tatapannya tak lepas dari jemari Phuwin yang ia genggam dengan hati-hati. Sentuhannya lembut, penuh penyesalan yang tak terucap. Dengan suara nyaris berbisik, ia memanggil lagi.
“Phuwin...” Nada suaranya kali ini lebih lirih, hampir tenggelam dalam keheningan ruangan.
Namun, apa yang terjadi berikutnya membuat jantungnya seolah berhenti berdetak. Jemari Phuwin yang digenggamnya mulai bergerak pelan, berusaha menjauh dari genggaman Ravit.
Ravit terdiam, hatinya mencelos. Tatapan matanya langsung beralih ke wajah Phuwin yang perlahan mulai membuka matanya, menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan.
Ravit merasa dadanya sesak. Entah rasa apa yang kini menguasainya—campuran penyesalan, gugup, dan entah apa lagi. Jantungnya berdetak lebih cepat, suaranya tertahan di tenggorokan. Ia ingin mengatakan sesuatu, apa saja, untuk mengurangi jarak yang terasa semakin lebar di antara mereka.
Dengan ragu, tangannya terulur, mencoba mengusap kepala Phuwin, sebuah gerakan spontan yang ia harap bisa menyampaikan ketulusannya. Tapi Phuwin perlahan menoleh, menghindari sentuhan itu. Ravit tertegun, tangannya menggantung di udara sebelum akhirnya ia menariknya kembali.
“phu-"
"Pergi.." suaranya serak dan sangat pelan nyaris berbisik.
Kata itu bagai pisau yang menembus dada Ravit. Ia menunduk dalam, menatap lantai di bawahnya, berusaha sekuat tenaga menahan tangis yang sudah di ambang pecah. Matanya memerah, dan bibirnya gemetar.
“Maaf...”
kata itu keluar dari mulut Ravit, lirih seperti bisikan yang dipenuhi rasa bersalah. Tapi permintaan maaf itu hanya menggantung di udara, tanpa sambutan. Phuwin tetap diam, hanya rasa sakit yang terpancar dari matanya.
Pintu ruangan terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Dr. Rafa yang melangkah masuk dengan langkah tenang. Ia memanggil nama pemuda yang masih duduk di sisi brankar.
“Ravit, waktu kamu sudah habis.”
Ravit terdiam, mengusap air matanya dengan cepat, mencoba menutupi perasaan sedihnya, dia melirik ke arah Phuwin yang masih membelakangi dirinya, wajah pucat itu memaling ke arah lain. Ravit menarik napas panjang, kemudian dengan perlahan berdiri, matanya tidak berhenti menatap Phuwin.
Sebelum melangkah pergi, Ravit mendekati brankar dengan hati-hati, tubuhnya semakin mendekat. Ia membungkuk sedikit, wajahnya sejajar dengan telinga Phuwin. Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.
“Cepat sembuh.. Phuwin”
Bisikan itu terdengar lembut, menggema dalam hati Phuwin meskipun ia tidak menanggapi. Tanpa diduga, tangan Ravit mengusap kepala Phuwin dengan sangat halus, seperti menyampaikan permintaan maaf yang tak pernah terucap.
Setelah beberapa saat, Ravit berdiri tegak kembali, lalu melangkah menuju pintu tanpa menoleh lagi. Ketika pintu ruangan itu menutup dengan bunyi yang lembut, meninggalkan keheningan yang menggantung, Phuwin tetap memalingkan wajahnya.
Namun, matanya yang terpejam tak mampu lagi menahan rasa sesak yang meluap di dadanya. Tanpa suara, setetes air mata mengalir perlahan dari sudut matanya, jatuh membasahi pipinya yang dingin. Ruangan itu menjadi saksi bisu dua hati yang terluka, masing-masing bergulat dengan rasa sakit dan penyesalan yang tak terucap.
Skip
Lorong sekolah yang biasanya terasa tenang kini penuh dengan suara langkah sepatu dan bisikan siswa yang berlalu-lalang. Nata berjalan dengan langkah santai menuju perpustakaan, tangannya memegang catatan kecil tentang materi biologi yang ingin ia pelajari.
Hari ini, kelasnya kosong, dan ia memilih untuk mengisi waktu dengan membaca buku. Biasanya, ia selalu pergi bersama Phuwin, tetapi kali ini ia sendiri.
Langkahnya sedikit melambat ketika pikirannya kembali ke sahabatnya itu. Akhir-akhir ini, Phuwin terasa begitu berbeda. Tubuhnya yang semakin kurus, wajahnya yang selalu pucat, dan sikapnya yang sering menghindar membuat Nata merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan.
Dia masih ingat betapa bingungnya ia saat Phuwin menghilang selama seminggu tanpa kabar, dan lebih bingung lagi ketika Phuwin kembali ke sekolah dengan kondisi yang tidak seperti biasanya.
Ia mengingat kejadian di lapangan beberapa hari lalu, saat kepala sekolah menghukum Phuwin berdiri di tengah terik matahari tanpa istirahat. Nata merasa marah dan tidak percaya. Bagaimana mungkin seseorang yang jelas-jelas sakit dipaksa menjalani hukuman seberat itu?.
Ketika ia melewati lorong menuju perpustakaan, langkahnya tiba-tiba terhenti. Matanya menangkap sesuatu yang berceceran di aspal. poster-poster dengan gambar wajah yang tidak asing baginya.
Jantung Nata berdebar kencang saat ia mendekat, tubuhnya seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Poster-poster itu bukan hanya berceceran di aspal, tetapi juga menempel di dinding lorong, bahkan di papan mading. Mata Nata membelalak saat membaca tulisan-tulisan yang menghiasi poster-poster itu.
"Pencuri Beasiswa!"
"Ga tau diri!"
kalimat-kalimat itu tertulis besar dengan tinta merah di bawah foto wajah Phuwin.
Tubuh Nata melemas. Ia berdiri terpaku di depan mading, matanya menyusuri setiap poster dengan makian yang semakin lama semakin menyakitkan.
“Phuwin…” bisik Nata, suaranya nyaris tak terdengar.
Tangan Nata perlahan terulur, mengambil salah satu poster yang tergeletak di lantai. Jemarinya bergetar, matanya mulai berkaca-kaca saat membaca kata-kata keji yang tercetak di sana.
"Anak Haram!"
"Miskin"
"Broken home"
Semua kalimat itu seperti racun yang menyakitkan, menusuk hatinya dengan setiap huruf yang terbaca.
Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Hatinya terasa sesak, membayangkan bagaimana perasaan Phuwin jika melihat semua ini. Sahabatnya—orang yang selama ini ia kenal sebagai sosok pekerja keras, direndahkan habis-habisan oleh kebohongan dan kesalahpahaman yang begitu kejam.
"Kenapa mereka sejahat ini..."
Rasa marah dan sedih berkecamuk dalam dirinya. Ia tidak bisa hanya berdiam diri dan membiarkan semua ini terjadi. Dengan gerakan penuh amarah, ia merobek poster di tangannya, mengabaikan bisikan siswa yang mulai memperhatikannya. Langkahnya mantap mendekati mading, di mana poster-poster lainnya menempel dengan hinaan yang sama menyakitkan.
Satu per satu, Nata mencabut dan merobek poster-poster itu dengan kasar, membuat serpihan kertas beterbangan di sekitarnya.
Poster-poster yang menempel di dinding lorong, mading, bahkan yang tercecer di aspal—semua ia kumpulkan dengan cepat. Tidak peduli jika ada siswa lain yang menatapnya dengan tatapan heran atau berbisik-bisik, ia tetap melanjutkan aksinya.
Ketika semua poster terkumpul dalam genggamannya, ia melangkah ke tempat sampah besar di sudut lorong dan membuang semuanya tanpa ragu.
Namun, meski poster-poster itu telah hilang, rasa kecewa dalam hatinya tidak berkurang. Dia harus melakukan sesuatu.
Dan tanpa berpikir panjang, Nata berlari—tidak lagi menuju perpustakaan seperti rencananya semula. Tapi berlari menuju suatu tempat.. berlari menuju ruang kepala sekolah.
HAYY HAYYY HAYYYYYYY 🤣🤣 HALLOOWWWW GAYYSSNSIQBSSJHA 🥳🥳 OMAYGATT KALIAN ADA DIMANA NICCCCCCC 😌😌 AKU UP LAGI LOCCCC 😋😋
Seperti biasa jangan lupa vote dan comment nya sayangg😙😙🤭🤭
![](https://img.wattpad.com/cover/367016797-288-k103640.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Orang Kaya & Si Anak Beasiswa [pondphuwin] {On Going}📖✍️
Short StoryGanti cover!! Please follow vote and comment !!