Parentshood

67 3 1
                                    

Mengetahui fakta Antonio tak bisa memberikan keturunan untuk Carriedo, Laura hanya sempat berpikir; inikah salahnya? Apakah ini karena dia memiliki kesalahan besar di masa lalu?

Namun Laura langsung tersadar, tidak. Ini bukan salahnya maupun salah Antonio. Laura yakin dari semua kejadian pahit ini pasti Tuhan memiliki jalannya sendiri, memiliki takdir yang sudah di kemas sedemikian rupa untuk masa depannya dan Antonio. Dia sangat yakin, hingga rasanya merasa murung lama-lama itu sia-sia.

"Baiklah, 'Tonio! Bangun!" Laura berseru ceria menarik sebelah lengan Antonio yang berusaha menyibukkan diri dengan berbagai tugas kantor. Tak bergeming sampai akhirnya Laura mencium pipi kecoklatan itu, membuat Antonio tersentak. "Tinggalkan semua itu. Aku ingin sesuatu."

"Apa? Laura, ada apa denganmu sampai menggangu pekerjaanku?" Keluh Antonio berlaih lagi pada berkas-berkas membosankan di meja kerja. Laura menghela nafas panjang. Terlalu banyak yang berubah pada diri sosok hangat itu.

"Tidak banyak. Aku hanya ingin satu hadiah untuk ulang tahunku bulan lalu yang kau lupakan, 'Tonio."

Dilihat reaksi Antonio yang menegang di kursi kerja, Laura sudah menebak. Tidak masalah, dia mengerti. Kejadian dulu membuat pikiran Antonio banyak teralih sampai melupakan hari spesial istrinya, melupakan Laura dan mulai tidak mencintainya. Hanya karena sebuah pernyataan konyol dari seorang dokter biasa.

"Ma-maaf, Laura. Aku lupa."

Cepat Laura menggeleng, mengenyahkan segala persepsi Antonio tentang dirinya. "Tidak, tidak. Itu sudah tak penting lagi. Antonio, aku dengar Gilbert dan Elizaveta mengadopsi seorang anak di panti asuhan. Mereka kembar loh. Tapi kakak kembarnya menolak. Dia itu susah di kendalikan."

"Kalau susah dikendalikan, memang kenapa? Kau berniat mengadopsinya?"

"Kenapa? Tidak masalah kan?"

"Tapi kau bilang tidak mau mengadopsi anak?"

Lagi, laura menggeleng. Senyumnya melebar menatap mata hijau suaminya. "Aku berubah pikiran, aku sadar. Tidak selamanya aku terus egois."

"Laura―"

"Oke, cukup. Ayo kita ke panti." Seru Laura menarik lengan Antonio. Dia tidak mau mendengar apapun keluhan Antonio.

Suasana panti asuhan sudah pasti ramai diisi anak-anak yatim piatu yang bermain dengan temannya di halaman depan gedung. Saling lempar senyum seolah semua baik-baik saja.

Laura menelusuri panti tersebut, memperhatikan satu persatu anak-anak yang bermain disekitar dia berdiri dengan senyum terkembang di wajah. Dia sangat menyukai anak-anak, hanya saja Tuhan masih belum bisa memberinya anak. Tak apa, dia masih bersabar.

"Lovino! Jangan seperti itu! Jerk!"

"Apa kamu brengsek! Salah adikmu yang lemah itu! Dasar cengeng!"

"Heh kamu ngga sadar kalau adikmu juga sama lemahnya, cengeng dan menyebalkan?!"

"Berhenti menghina Feliciano, Alfred! Kubunuh kamu!"

Rambut Laura bergoyang mengikuti gerak menolehnya pada kumpulan anak-anak yang sedang ribut di sisi lain halaman. Banyak anak mengerubungi―mungkin anak yang tadi saling teriak. Laura tidak tahu, ingin menyusul namun masih ada urusan penting yang harus dia urus dengan pengurus panti. Maka dia tak mengacuhkan kejadian tersebut, jika saja suara Antonio tidak menginterupsi.

"Hei hei hei! Ada apa ini?"

"Jangan ikut campur, oldman!"

"Alfred! Berhenti menghina, brengsek!"

"Kubilang berhenti, oh c'mon."

Dari jauh Laura bisa melihat interaksi Antonio dengan dua bocah yang tadi sempat bertengkar.

"Apa sih maumu, disini bukan tempat orang tua ikut campur!" Seorang anak lelaki berambut coklat berteriak didepan Antonio. Sama sekali tidak takut atau segan padanya sebagai orang yang lebih tua. Kelakuannya buruk sekali pada kesan pertama.

"Hei! Jangan seperti itu. Aku kan juga ingin ikut main." Ujar Antonio merajuk.

"Main ya disana! Ini bukan arena main, tahu?!" Seru anak lelaki lain berambut pirang, dia berkacamata sambil memegang seorang lelaki lagi. Dia menangis dalam genggamannya. Eh, mereka kembar?

"Lalu apa kalau bukan arena main? Lihat? Disini anak-anak berkumpul. Ayo main!"

"Main apa?" Anak berambut coklat bertanya.

"Terserah. Oh ya, namamu siapa?"

Anak berambut coklat terdiam sebentar, sebelum menjawab anak berambut pirang menyahut lebih dulu. "Namanya Lovino Vargas! Aku Alfred F. Jones! Dia adik kembarku, Matthew Williams."

"Tidak ada yang bertanya padamu, Alfred!"

"Terserah aku!" Alhasil, pertengkaran mereka dilanjutkan. Antonio lagi-lagi harus melerai mereka.

"Oke, namaku Antonio. Ayo main!"

Sekejap mereka sudah akrab, terutama Antonio dan Lovino walau tak jarang Laura melihat mereka sempat adu mulut yang justru berakhir wajah memerah Lovino karena malu. Tanpa sadar Laura tertawa bersama mereka meski tidak ikut dalam permainan. Dia senang bisa melihat Antonio bisa tersenyum lagi.

"Ah Laura! Kita sudah menemukannya."

Ya, mereka sudah menemukan pelengkap hidup mereka. Lovino Vargas.

"Kamu kakaknya Feliciano ya?"

"K-kau tahu darimana, sialan? Stalker ya?!"

"Hahahaha..."

...

Happy SpaBelg Week 2015 >.< Ikh absurd. Bodo ah asal masuk prompt hahahaha...

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang