Chapter 4 : Apa Yang Kulakukan?

8 1 0
                                    

Semenjak kejadian malam itu, aku dan Renna tak berbicara sama sekali. Bahkan hingga Tuan dan Nyonya Housselfore pulang, kami tak berbicara sedikitpun. Tapi, aku tak mempedulikannya. Lagipula aku merasa benar kok.

Tak terasa, ujian akhir semester sudah dimulai. Aku benar-benar tak menyadarinya. Waktu berlalu begitu cepat, namun aku dan Renna tak pernah berbicara sampai hari ini. Seakan-akan aku adalah debu tak berarti di matanya. Dan anehnya, semua orang di rumah tak menyadari keganjilan ini. Aku lelah dan ingin mengakhiri ini, tapi dengan cara apa? Apa aku harus minta maaf? Tidak bisa. Apa yang kuucapkan itu benar

Seiring berjalannya waktu pula, perasaanku terhadap Quesha makin besar. Sebenarnya, aku ingin menembak dia, namun belum dapat moment yang pas. Dan kupikir, setelah ujian akhir adalah waktunya. Aku berniat mengajaknya ke taman tempat kita pertama bertemu, dan di sanalah kuungkapkan perasaanku. Aku jadi tak sabar. Tapi aku harus berjuang mati-matian saat ujian akhir terlebih dahulu.

Aku belajar dengan semaksimal mungkin. Aku ingin sekali jadi juara kelas. Saking ambisiusnya, pekerjaan rumah pun sampai lupa kukerjakan. Tapi untungnya, Nyonya Houssefore memahamiku jadi semua pekerjaan rumah dia kerjakan. Kasihan sekali.

Dalam ujian akhir, tiap mata pelajaran kukerjakan dengan sebaik mungkin, dan seteliti mungkin. Hari demi hari, ujian ku lalui, hingga pada puncaknya. "Akhirnya selesai juga... huh" kataku dalam hati. Saatnya beraksi.

Hari ini, hanya ada classmeeting saja di sekolah. Aku tidak turut berpartisipasi, karena menurutku ga penting. Namun ku lihat ke lapangan, Renna tampak aktif sekali di sana. Ah, apa peduliku. Lagian dia juga cuek duluan. Dan, aku berniat menembak Quesha hari ini. Aku membeli bunga mawar merah di tengah jalan, dan segera pergi ke taman sendirian. Ku buka hp, dan LINE Quesha

Aku : Oy. Lagi dimana nih?

Dia tak membalasnya. Hingga 20 menit kemudian.

Quesha : Ah, sory baru bales. Masih di sekolah, emang kenapa?

Aku : Sini dong ke taman?

Quesha : Ih, curang pulang duluan.

Aku : Biarin. Classmeeting ga penting. Wkwkwkwk

Quesha : Taman yang mana?

Aku : Yang dulu kita pertama bertemu. Aku nemuin sesuatu nih di sini. Gercep dong

Quesha : Ok.. Aku OTW ya..

Aku : Jangan lama-lama ya..

Dia tak membalasnya

Aku tak sabar menunggunya, sambil memikirkan kata-kata apa yang akan kukatakan padanya. Aku merasa gugup sekali. Akhirnya untuk pertama kalinya aku menembak cewe. Tapi, kenapa dia belum datang juga. Sudah 45 menit aku menunggunya. Padahal jaraknya ga begitu jauh dari sekolah. Kalau naik angkutan umum, paling cuman 20 menit. Ah, paling macet di tengah jalan

1 jam kemudian, aku melihat seorang wanita dengan seragam SMA menghampiriku, sepertinya itu Quesha. Dan, dugaanku benar. Aku segera mempersiapkan diriku untuk menembaknya. "Lama banget deh. Capek tahu" kataku dengan muka yang agak kesal. "Maaf maaf... Tadi temenku minta ditemenin buat jalan.. ya aku ga bisa nolak lah" balasnya. "Kenapa ga nge LINE aku sih?" kataku. "Lowbat hape aku. Lupa bawa power bank pula. Kamu emangnya nemuin apa disini? Kayanya berharga banget?" balasnya yang berusaha untuk merubah topik.

Deg.... Aku terdiam sejenak. Dan, kukeluarkan bunga mawar yang tadi kubeli. "Apa2an ini?" katanya dengan muka yang sedikit bingung. "Kau tahu. Aku menemukan sesuatu yang sangat spesial di sini. Aku menemukan cinta pertamaku di sini. Ku menemukan seseorang yang dapat membuat pandangan dan pemikiranku terhenti sejenak. Ku menemukanmu, cinta pertamaku" kataku sambil berlutut di hadapannya. Quesha terdiam. Mukanya memerah. "Apa kamu serius Wis?" balasnya. "Apakah wajah ini menampakkan sedikit keraguan. Mau kah kau menjadi pacarku yang pertama sekaligus yang terakhir? Terimalah bunga ini. Kalau kau menerimaku, ciumlah bunga itu. Kalau kau menolakku, jatuhkan saja bunga itu ke bawah" kataku sambil memberikannya bunga mawar itu. Dia menerimanya, dan terdiam sejenak. Dia mengangkat bunga itu. Yes, dia menerimaku. Bruk!! Bunga itu jatuh di hadapanku. "Maafkan aku Wis. Kamu terlalu baik untukku" katanya dengan suara yang sangat lembut.
"Kenapa? Aku tak menerima alasan tak logis seperti itu. Apakah aku ini jelek?" balasku. "Tidak. Tapi maaf saja. Aku sudah jadian" katanya. "Tapi kenapa aku tak mengetahuinya? Apakah kau lama sekali datang ke sini karena seorang pria baru saja menembakmu?" balasku sambil berdiri. "Tidak. Aku sudah lama jadian" katanya. "Dengan siapa?" kataku. "Dengan kakakmu sendiri. Kau ingat surat permintaan maaf yang kau berikan? Dalam surat itu, dia mengajakku ketemuan sepulang sekolah. Dan saat itu, dia menembakku" balasnya dengan suara yang sangat pelan. "Kenapa? Kenapa kau baru mengatakannya? Kukira kita sahabat yang baik, tapi kenapa kau menyembunyikannya dariku? Kenapa!!?" kataku dengan nada agak sedikit emosi. "Aku takut apabila kau mengetahuinya, kau akan sakit hati" balasnya. "Justru sekarang aku makin sakit hati. Seandainya waktu itu kau bilang lebih awal, pastinya ga bakal seperti ini. Kau memberikan harapan palsu untukku. Padahal kuharap kau bisa menjadi yang pertama dan terakhir, bahkan selamanya tapi malah begini jadinya!!" kataku dengan emosi yang meluap-luap.

Kami pun terdiam, dan dia pun menangis. Aku jadi merasa bersalah sekarang. "Kau tahu? *hiks*, bagaimana bisa aku menyakiti perasaan sahabatku sendiri?" katanya sambil terisak-isak. "Justru dengan begini kau malah lebih menyakitiku!!! Apa kau tak menyukaiku!?" kataku. "Tidak Wis. Aku suka padamu. Hanya saja, ada pria lain yang menyatakan perasaannya duluan" balasnya sambil menundukkan kepala. "Siapa? Kak Rick? Seharusnya kalau kau suka ppadaku, kau kan bisa menolaknya. Apa gara-gara dia lebih tampan dariku? Emang ya, semua wanita sama!! Cuman lihat cowo dari ketampanannya doang!!" kataku dengan emosi. Quesha terdiam, dia memandangku. "Plak!!". Sebuah tamparan keras menghantam pipiku. "Jangan menilai wanita sembarangan!! Dasar bajingan!!" balasnya. Ia kemudian mengusap air matanya. Membalikkan badan, dan pergi meninggalkanku seraya berkata "Kau lelaki yang baik. Hanya saja sekarang kau lebih buruk dari para penjahat".

Aku hanya bisa terdiam. Perasaanku sangat kacau. Dasar perutku panas dan kepalaku mulai pusing. Aku ingin menangis, namun aku tak bisa. Apa yang kulakukan? Apa yang kukatakan? Kenapa aku bisa berkata seperti itu? Setidaknya walaupun aku tak bisa menjalin hubungan dengannya, aku kan masih tetap bisa menjadi sahabatnya. Tapi ucapanku barusan? Aku menyakitinya?

Oh tuhan, aku lebih rendah dari sampah....

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 24, 2015 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RelationshipWhere stories live. Discover now