Nif, sebenarnya aku tidak bisa jujur kepada orang lain, termasuk kekasihku. Aku hanya dapat berkata jujur kepada diriku sendiri dan kau. Aku tidak mengerti bagaimana semuanya terjadi. Saat kekasihku menawarkan sesuatu, aku diam. Menggeleng. Kemudian dia pergi tanpa memastikan apa yang ada di benakku. Semisal dia berusaha menggalinya dengan pertanyaan-pertanyaan. Ada yang sedang aku sembunyikan, Nif. Aku tidak pandai dalam hal ini. Sebenarnya, aku ingin menjelaskan sebab aku enggan. Aku ingin menunjukkan bagaimana aku sesungguhnya. Namun lidahku keluh. Aku urung berucap dan dia berlalu.
Aku benci seperti ini.
***
Jalan setapak di tengah-tengah ladang milik warga nyaris tak terlihat. Sebab jarak pandang terhalang oleh lebatnya lalang yang tumbuh di sekitar ladang. Tak jarang para pendaki mendapati permukaan kasar dan duri-duri tajam dari tetumbuhan liar di antara lalang. Jalan setapak yang meninggi tampak seperti deretan anak tangga yang tak proposional. Terkadang pijakan yang mesti diraih pendek-pendek, juga panjang-panjang. Tetapi yang harus diwaspadai oleh seorang pendaki pemula adalah tanah yang basah sehabis hujan, karena dapat membuat jatuh terpeleset. Maka pendaki-pendaki pemula umumnya disarankan menggunakan sarung tangan dan berpegangan dengan lelalang agar kepercayaan diri meningkat.
Aku tidak bisa pastikan seberapa luas ladang warga yang menetap di 'lutut' gunung ini. Tetapi pohon kopi, pisang, pepaya, hidup rukun di sini dan memberikan cukup informasi. Ladang-ladang milik warga, ternyata, didominasi oleh pohon kopi yang buahnya masih hijau lagi segar. Ada sebuah gubuk yang berdiri sekitar sepuluh langkah orang dewasa dari jalan setapak. Dia menjadi tempat singgah untuk sejenak beristirahat. Tenaga yang terkuras dan keringat mengucur harus segera diseimbangkan dengan makan dan minum susu.
Zain membentangkan semua matras lalu duduk di atasnya. Dia melepas sepatu dan meluruskan kedua kakinya yang kurus. Kemudian dia buka jaket yang sedari tadi membungkus tubuhnya bersama keringat. Kaosnya tampak basah. Tetapi dia sama sekali tidak khawatir akan hal itu. Di belakang gubuk, terdapat sebuah tong besar penuh tertampung air hujan. Jentik-jentik nyamuk menggeliat turun ketika Yudith menciduk air dengan panci. Namun, Lyra yang gelisah telah merebut panci itu dari tangan Yudith sembari tersenyum geli.
"Aku mau mencuci wajah dulu ya, Dith!" Lyra mengguyurkan wajahnya dengan sepanci air. Dia benar-benar merasa puas, karena letih luntur bersama air yang mengenai wajahnya. Untungnya Yudith masih sabar dengan tingkah Lyra dan terus memperhatikannya sampai selesai.
Yudith kembali mengisi panci dengan tampungan air hujan. Lalu mendudukkannya di atas kompor gas mini yang menyala. Sementara beberapa bungkus mi instan sudah bersiap-siap akan dimasak. Riwayatnya akan segera tamat di dalam perut-perut yang keroncongan.
"Perjalanan kita masih jauh?" tanya Lyra. Dia tak sabar.
"Tidak, sekitar lima jam lagi," jawab Zain enteng. Lyra terbelalak.
"Mendaki terus?" tanyanya lagi.
"Ya." Zain santai. Memang sangat santai. Dia sudah terbiasa dalam urusan mendaki.