Hujan dan Air Mata (Cerpen Idola Cilik)

418 8 0
                                    


Aku suka jika hujan turun. Karena aku selalu ingat, ketika hujan turun aku bisa menghabiskan waktu hingga dua jam hanya berdua denganmu saja.

Aku ingat, ketika hujan turun, kau selalu menunggu jemputanmu tiba, begitu juga denganku. Entah kenapa, jemputanku dan jemputanmu selalu datang paling akhir dibanding anak-anak lain.

Saat kita menunggu bersama, seringkali hujan turun. Aku tahu betul kebiasaanmu ketika hujan turun. Kau hampir selalu menengadahkan kedua tanganmu di bawah tetesan air dari atap sekolah. Lalu kau akan usil mencipratkannya padaku, dan jika aku membalasmu kau selalu saja ngambek.

Atau, kau selalu menyobek halaman tengah buku tulismu. Lalu melipat kertas itu hingga membentu perahu. Lalu kau menghanyutkannya pada selokan di depan kita. Kau terus menatap perahu itu berlayar hingga menghilang dari hadapan kita.

Aku suka jika hujan turun. Karena sering kali ketika kau mengerjakan tugas di rumahku yang hanya berjarak empat rumah dengan rumahmu, hujan sering kali turun, menghambat kepulanganmu. Saat itulah kau lebih banyak mengeluarkan suaramu dibanding saat di sekolah. Kau ceritakan segala hal padaku. Dan saat itulah aku semakin mengenal dirimu.

***

Juli 2015

Sejak setengah enam tadi matahari bermalas-malasan, hingga detik ini ia tak juga muncul. Kelabu, itu adalah warna yang mendominasi langit pagi ini.

Aku masih berdiri tegak, menatap beberapa jenis bunga yang tumbuh subur di taman rumah sakit ini. Entah sudah berapa lama, mungkin sudah hampir satu jam.

Di belakangku, aku tahu kau tengah duduk sambil menatapku, aku bisa merasakan itu. Namun sejak tadi kau sama sepertiku, hanya diam.

Aku tak tahu harus berkata apa padamu, karena terlalu lama aku menjauh darimu hingga canggung hadir di dalam jiwaku saat ini. Seolah aku baru saja bertemu dengan seseorang yang sekali pun belum pernah bertemu denganku.

Mengapa kau tak mengatakan sesuatu padaku? Marahkah kau padaku karena selama ini aku menghindarimu? Atau mungkin kau takut karena kau berpikir bahwa justru akulah yang marah padamu sehingga membuatku menjauh darimu?

"Kenapa, sejak tadi langitnya mendung terus ya?" Tanyamu tiba-tiba.

Aku melirikmu. Kulihat kau tengah menatap langit yang diselimuti gumpalan awan kelabu.

"Mendung terus, tapi kenapa nggak hujan-hujan ya?" Tanyamu lagi.

Aku tak menanggapi pertanyaanmu, karena aku tak tahu mesti berkata apa.

"Aku pengen deh, sekarang hujan turun. Rasanya udah lama banget nggak hujan-hujanan kaya dulu."

Aku tetap diam.

Semenit berlalu, aku tak lagi mendengar ocehanmu. Bisu kembali menyelimuti kita.

****

Juni 2014

Aku ingat kejadian sore itu, ketika langit mengutus gerimis untuk turun ke bumi. Hari dimana untuk pertama kalinya aku menolak permintaanmu. Hari dimana aku melihat ada yang beda darimu

"Steven!" Seseorang memanggilku, ketika aku hendak pergi ke ruang ganti. Aku enggan berhenti, karena kutahu itu pasti dirimu. Aku hafal betul suaramu.

"Stev! Tunggu." Kudengar kau memanggilku lagi, memintaku untuk berhenti melangkah. Namun aku terus saja melangkah. Tiba-tiba sebuah ide datang di otakku. Segera kuambil headset dari dalam tasku, lalu kusumbat kedua kupingku dengan headset itu. Ujung headset itu kumasukkan ke dalam saku celanaku. Berlagak tengah mendengarkan musik, walau ujung headset itu tak kuhubungkan pada port handphoneku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 25, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hujan dan Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang