End

631 5 2
                                    


Belasan, puluhan, bahkan ratusan gambar yang sudah kuhasilkan. Tanpa ada yang tahu. Hanya aku dan Tuhan saja. Aku tidak ingin gambarku dilihat orang lain. Aku takut mendapatkan respon negatif. Bukannya aku ingin pujian saja, tapi pada dasarnya aku memiliki rasa minder berlebihan.
Entah mengapa, aku lebih suka memojokkan diri di tempat yang sepi dibandingkan berkumpul bersama teman-teman. Apalagi, dengan keadaan rumah yang selalu sepi karena kesibukan orangtuaku bekerja di negeri orang, aku semakin menjadi gadis remaja yang pendiam.
Aku selalu menatap gambar-gambarku. Aku selalu membayangkan wajah gadis cantik sebelum menggambar. Aku rasa, orang-orang yang kugambar itu sangat mirip dengan wajah manusia sehingga kadang aku mengajak mereka bicara. Kebiasaanku ini bukan tanda-tanda penyakit kejiwaan kan? Aku pikir ini normal karena aku jarang sekali diajak bicara oleh orang lain. Bahkan orang tuaku.
Aku menyedot kuat-kuat sedotan minumanku. Untung hari ini kantin sepi. Aku jadi bisa menggambar secara diam-diam tanpa ada yang tahu. Aku pun mengeluarkan buku sketsa berukuran A3 dan mulai menggores kertas dengan pelan. Tentu saja, aku menggambar sesuai imajinasiku. Entah, tiba-tiba saja aku ingin menggambar laki-laki dan perempuan.
"Hari ini aku yang traktir!" aku sedikit terusik dengan datangnya kebisingan anak-anak cowok itu. Aku pun mengabaikan mereka dan melanjutkan kegiatanku sendiri. Tapi tidak bisa! Aku semakin terganggu dengan kebisingan mereka. Aku pun mencoba menatap mereka.
Hatiku masih berteriak-teriak untuk mengusir mereka. Tapi tubuhku tidak tergerak untuk maju. Wajahku yang semula muram dan kesal kini membatu melihatnya. Sketsa yang kupeluk jatuh ke meja. Sketsa dan peralatan yang jatuh menarik perhatiannya dan teman-temannya. Aku terduduk lagi dan menutup wajah dengan rambutku yang panjang dan halus.
Wajahnya mirip sekali dengan yang kugambar di sketsa. Mirip. Tapi, perempuan yang kugambar di sebelahnya adalah perempuan yang cantik. Sangat cantik. Aku baru menyadari selama ini. Ratusan imajinasi sketsa bergambarkan gadis, mengapa aku tidak secantik mereka pula?
*****
Aku masih menatap gadis yang sedang salah tingkah itu. Dia menjatuhkan peralatan gambarnya. Sudah lama kuperhatikan, dia selalu menyendiri dengan buku gambar yang dibawanya itu. Aku juga heran mengapa dia yang tadinya berdiri memeluk buku gambar kemudian menjatuhkannya ke meja. Anehnya, dia malah menutupi wajah dengan rambutnya. Sebenarnya, gadis seperti apa dia? Siapa namanya? Sudah lama diam-diam aku menyukainya. Aku penasaran.
"Fan, nanti kita nongkrong di kafe. Kamu ikut nggak?" Ersa membangunkanku dari lamunan.
"Oh, nggak. Aku ada urusan." Aku berencana mencari tahu gadis itu.
Aku melihat gadis itu berjalan menuju belakang sekolah. Untuk apa dia menuju ke sana? Apa dia menuju padang rumput berhantu itu? Gadis itu benar-benar bernyali. Aku harap, Tuhan mengijinkanku untuk bisa bicara dengannya.
*****
Aku tidak ada semangat melanjutkan gambaran tadi. Aku pun memutuskan untuk berkunjung ke padang rumput berhantu di belakang sekolah seperti biasanya. Sebenarnya, padang rumput yang luas itu sama sekali tidak berhantu. Hanya saja, dulu pernah ada salah satu siswa menulis cerita mengenai tempat itu. Payahnya, banyak bahkan hampir semua warga sekolah percaya dengan cerita itu. Aku senang dengan keadaan padang rumput itu. Rumputnya tidak hijau, tapi berwarna cokelat keemasan sehingga memberi efek cahaya terang. Apalagi, hanya ada satu pohon di situ yang biasanya kugunakan untuk bermain. Senangnya, aku menemukan beberapa kelinci lucu yang membuatku makin malas untuk pulang. Entah dari manakah mereka.
Di bawah pohon, aku berteduh dan membuka buku sketsaku. Aku membuka dari awal. Awal di mana aku pertama kali menggambar dengan mudahnya. Aku menggambar diriku sendiri. Aku kesal karena diriku tidak ada apa-apanya untuk digambar. Sejak itulah aku selalu menggunakan imajinasiku untuk menggambar wajah gadis yang cantik. Aku selalu bicara pada Tuhan, kenapa aku tidak secantik gadis-gadis yang ada di gambaranku? Atau cantik seperti gadis-gadis yang ada di kelasku?
Aku masih membuka lembar demi lembar sketsa. Sampai akhirnya, aku mendapati sebuah gambar laki-laki. Gambar itu mirip dengan dia. Dia yang selama ini kusimpan jauh di dalam hatiku, dan kenapa gambaran ini bisa mirip dengannya tanpa kusadari? Tiba-tiba saja air mata meluncur dari mataku. Aku bingung, aku ini kenapa. Aku merasa, aku merasa aku butuh kasih sayang. Ayah dan ibu pun tidak akan mengerti. Dari kecil, aku diasuh orang lain. Campur tangan ayah dan ibu begitu sedikit sehingga aku merasa kesepian. Sangat kesepian.
Aku memiliki kebiasaan menyanyikan sebuah lagu ciptaanku sendiri ketika sedang sedih. Sebuah lagu yang biasanya kuiringi dengan piano.
"Apa kedatanganku mengganggu?" mulutku yang menganga tidak mengeluarkan suara. Diam membatu menatapnya. Dia kemari. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa menemukanku. Sudah lama perasaan ini kupendam di hati. Ya Tuhan, terima kasih. Walau jika dia tak memiliki perasaan yang sama denganku, tidak masalah. Namun, terima kasih sudah ijinkan aku bicara dengannya. Untuk pertama kalinya.

SketsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang