Special One

2.8K 27 7
                                    

Prolog

Haruskah sekarang? Haruskah aku kembali terjun ke dunia spionase lagi? Aku lelah harus melakukan hal yang di luar nalar manusia normal. Penguntit, penembak, bahkan ... pembunuh.

Hari ini. Tepat dimana aku menjalani 1 tahun masa dormanku sebagai salah satu agen rahasia Badan Intelijen Negara. Aku tidak mengundurkan diri. Aku ... hanya saja aku mengajukan permohonan untuk dinon-aktifkan sekadar menikmati masa liburku setelah lebih dari 1 tahun aku mengejar buron tersangka bandar narkoba internasional sekaligus mafia yang bernama Diaz.

Hari ini. Aku dipanggil oleh kepala BIN untuk menindaklanjuti tugasku sebelumnya yang menemukan titik terang. Keberadaan Diaz terlacak karena beberapa nomor rekening muncul di bank yang ada di Indonesia.

Melelahkan, memang. Tapi inilah tugasku meski aku seorang perempuan. Didikan militer ala keluargaku yang sebagian besar adalah anggota militer, membuatku mengilhami setiap sendi kelelakian dalam hidupku.

"K, kau siap?" Kepala memberi surat perintah itu langsung di dalam kantornya. Kantornya tidak gelap layaknya film-film mata-mata dan wajahnya juga tidak tegang, galak maupun menyeramkan seperti gambaran film laga. Dia, 'Alfa', adalah kepala kami. Sikapnya yang tenang dan mengayomi, selalu menjadi favoritku.

Aku mengangguk mantap. Kerinduanku terhadap tugas-tugas berbahaya kini tersampaikan.

"Kau akan memata-matai semua anggota keluarganya yang ada di Indonesia." Aku mendengarkan penjelasan Alfa dengan seksama." Diaz sepertinya kembali kemari. Charlie telah mengkonfirmasinya 2 hari yang lalu dan positif."

Bodoh! Jika aku menjadi Diaz, aku tidak akan pernah menyentuh dataran Indonesia untuk waktu yang lama. Aku akan memilih pergi ke negara yang akan memberiku jaminan perlindungan yang akan menyelamatkanku bahkan dari peradilan internasional sekalipun.

Aku kembali mengangguk.

"Diaz ada di Jakarta dan kita tidak bisa menangkapnya." Aku memiringkan kepalaku, tidak mengerti. "Bukti belum cukup kuat untuk menjebloskannya ke jeruji besi dan terlalu banyak yang melindunginya."

"Ancaman psikologis," kataku mencoba memberikan klimaks yang tepat dari uraian Alfa.

"Kau benar! Kita akan memberikan ancaman psikologis pada Diaz agar dengan mudah dia diringkus."

"Kita menggunakan cara licik itu?" ujarku sarkatis.

Alfa menggeliat tidak nyaman saat tatapan konfrontasiku tepat mengenai urat nadinya yang selalu mengobarkan semangat 'bersih' dalam bertindak tanpa kekerasan. Bagiku, dia seperti menjilat ludahnya sendiri.

"Kita tidak punya pilihan lain," jawabnya salah tingkah. Aku melihat pupil matanya menebal dan terlihat sekali dia mencoba menyembunyikan kebenaran dan ...kegugupan.

"Lalu apa tugas utamaku?"

"Setidaknya jebak Diaz dalam komplotannya sehingga kita punya cukup bukti untuk membawanya ke peradilan internasional."

"Kejam sekali," gumamku dingin. Alfa -kali ini- terlihat berbeda dari Alfa yang aku kenal. Lama aku tidak berjumpa dengannya membuat dirinya memiliki banyak hal tersembunyi.

Alfa membungkuk dan terdengar bunyi laci terbuka. "Ini adalah orang-orang yang dekat atau setidaknya memiliki hubungan dengan Diaz." Aku mengambil berkas yang diulungkan Alfa lalu membacanya.

Beberapa nama sangat familiar bagi kelompok pengusaha kaya raya di Indonesia. Aku menatap sebuah foto di berkas itu. Sosok lelaki yang membuatku ingin tertawa. Gaya yang tidak biasa bagi seorang lelaki dengan pakaian yang juga tidak biasa.

Merah jambu? Pita? Tangan yang melambai?

"Siapa dia, Alfa?" tanyaku datar meski di dalam hati aku mulai tertarik menjadi penguntitnya. Bukan karena aku merasakan hal-hal omong kosong tentang ketertarikan pada pandangan pertama - dan gila saja jika aku tertarik pada lelaki yang bahkan lebih jantan diriku daripada dia - di foto itu. Lelaki itu istimewa dan hal yang paling aku suka saat aku menilainya dari hanya sebuah foto adalah dia ... terlihat lemah. Tidak! Aku yakin dia lemah.

Aku suka lelaki lemah. Aku bisa mempermainkannya, memanfaatkan kebodohannya dengan kecerdasanku yang mampu memanipulasi.

"Dia?" Alfa menuding foto lelaki yang mengenakan kaos berwarna merah jambu. Tubuh lelaki itu memang tegap. Aku bisa melihatnya secara detail dari lekuk kaos yang terbentuk. Hanya saja jemarinya melengkung terlalu anggun untuk ukuran seorang lelaki. Aku mengangguk. "Dia, Hessel."

Hessel? Baiklah.

Hessel, selamat datang di duniaku. Kau adalah orang pilihanku. Pilihan menjadi jalan untukku menjerumuskan Diaz.

Special OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang