Beberapa anak kecil dengan baju kumal dan kebesarannya berlari-lari ketakutan. Di belakang mereka ada seorang security yang sedang mengejar. Ah, pasti ada kasus. Hal itu sudah biasa terjadi di kawasan stasiun tua ini. Jujur, sebenarnya miris sekali hatiku setiap menyaksikan anak-anak kecil dengan masa depannya yang masih panjang, harus terjebak pilu dalam kejamnya kehidupan ibu kota. Alasannya mungkin sederhana saja, mereka hanya ingin membantu orang tua mencari sesuap nasi.
Aku melirik jam di tanganku. Kereta yang membawa adikku pasti sebentar lagi sampai. Ada perasaan rindu pada dirinya, karena selama dua tahun ini ia mendalami perguruan tingginya di luar kota.
Lamunanku buyar oleh sebuah tepukan lembut di pundak kananku. Aku segera menoleh.
"Eh, Sandra. Kapan keretamu sampai?" tanyaku terkejut.
Tangannya segera ia gerak-gerakkan dengan cepat dan membentuk sebuah kalimat. "Tadi, ketika kakak sedang melamun. Ngomong-ngomong terima kasih, ya, kakak mau menyempatkan waktu untuk menjemputku. Kakak terlihat sangat tampan hari ini."
"Hahaha, bisa saja kamu, Ndra," kuambil koper hitamnya. "Ya sudah, pulang sekarang?"
Senyuman manis tersungging di bibir tipisnya. Lalu ia mengangguk sambil berkata dalam keheningan: "Ya."
~~~
Lembayung senja tertelan awan hitam kali ini. Langit terdengar ramai dengan suara-suara gemuruh yang saling beradu. Dan terjadilah. Rintikan air menyapu lembut wajah bumi. Disertai angin hebat yang mengajak pohon-pohon menari.
Dingin sangat menusuk hingga tulang. Membuatku harus merapat di balik selimut tebal. Tiba-tiba suara pintu berderit terdengar. Aku mengangkat wajah dan mendapati Sandra yang sedang membawa secangkir cokelat panas berjalan mendekat.
Ditaruhnya cangkir itu di meja nakas yang berada tepat di sebelah tempat tidurku. Lalu ia menggerakkan tangannya. "Kalau kakak belum sehat jangan melukis dulu. Lebih baik istirahat."
"Iya, Ndra. Lagipula hari ini nggak ada pesanan," kataku lembut.
"Ya sudah, segera minum cokelatnya, ya, kak. Biar hangat," senyuman manis dan tatapan teduh yang selalu ia berikan padaku cukup untuk mengobati rasa rindu menggebu pada ibu.
"Iya, Ndra," aku tersenyum. "Terima kasih, ya."
Dia mengangguk dan berbalik menuju pintu. Baru beberapa langkah, ia langsung berhenti lagi.
"Ada apa, Ndra?" tanyaku memastikan.
Sandra berjalan mendekat dan duduk di tepi tempat tidurku. "Apa yang dimaksud suara, kak?"
"Suara? Lho, kamu kan mendengarnya setiap saat, Ndra. Walaupun dengan..."
"Alat bantu?" keheningan semakin terasa kuat dengan pertanyaan sederhananya yang menggantung di langit-langit kamar.
"Ya...," jawabku lirih. "Walaupun dengan alat bantu."
Sekumpulan air bening menggenang di sudut matanya. Ah, aku sangat benci melihat Sandra seperti ini. Segera kudekap tubuhnya dengan erat. Berharap bisa memberi keajaiban dalam dunia pekatnya.
"Kamu tahu, Ndra? Suara itu seperti warna. Kamu akan merasa lengkap dengan kehadirannya yang bisa membuat perasaanmu bercampur-campur...," kutahan kalimatku. Sungguh sebuah perkara berat untuk tidak membuatnya tersinggung. "... Kamu sudah mengetahui kehadiran suara, Ndra. Hanya saja kamu belum mendalami kehadirannya itu."