Kemewahan acara ini benar benar tak dapat dipungkiri. Lampu lampu ala spanyol di gantung di empat sisi balroom. Meja meja berisi makanan dan minuman untuk tamu juga mengundang selera untuk di santap. Ornamen ornamen mewah yang didominasi putih juga tak kalah menawan. Para tamu dengan gaya glamour dan mewah memenuhi ruangan.
Seorang pria berusia empat puluh tahunan yang beraksen british menghampiri ku , ia tersenyum sedikit "kamu cantik lho hari ini" ia memuji, aku hanya tersenyum malu. "Biasanya juga saya cantik kok om" pria itu tertawa. Renyah. "Gaun yang pas buat kamu, wah kamu sudah tumbuh sebesar ini ya, terakhir kali kita ketemu kamu masih gendong-gendong boneka beruang bulukmu itu" ia tertawa mengejek, "itu boneka peninggalan mama tau" aku mencebik yang membuat pria itu tertawa lebih keras, mengundang pandangan para tamu.
"ini" pria itu menyodorkan segelas wine kepadaku, aku menerimanya, kemudian menyesapnya sedikit. "Kamu juga dari kecil sering nangis kalo ga ada revon" ia tersenyum mengejek "yah sampai sekarang juga begitu" jawabku sambil menundukkan kepala. Pria itu memandang sesuatu dibelakangku, Aku mengikuti arah pandangnya, diujung sana seorang pria seumuran denganku tengah menyambut teman temannya. Tuksedo hitamnya benar benar membuatnya terlihat gagah, bukan hanya gagah, ia juga terlihat berkharisma dan ehem seksi bagiku. Pandangan kami bertubrukan, ia tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya kepadaku. "Dia benar benar tampan" suara pria ini mengagetkanku membuat aku mengalihkan pandanganku darinya. "Dan juga sudah besar" lanjutnya, aku hanya tersenyum singkat sambil menyesap wine ku. "Om tidak ingin menikah lagi?" Tanyaku, pria itu mengangkat sebelah alisnya "untuk apa ? Toh aku masih sayang dengan amira. Tidak ada yang dapat menggantikannya hanya dia saja" ia tersenyum miris. "Kadang saya berfikir takdir tidak pernah adil kenapa sedini ini ia meninggalkanku ? Saat itu ia sedang mengandung anak kami dan kecelakaan itu tidak dapat terelakkan. Kadang saya berfikir bahwa ini adalah salah saya, saya harusnya menjemputnya saat itu" lanjutnya "bukan om bukan itu poin nya, suatu saat nanti semua orang akan terluka entah karena maut ataupun karena takdir, dan kita sebagai korban harus menerimanya karena itu mutlak, tidak ada gunanya menyalahkan takdir toh tidak akan berubah, lalu kita harus menyesali takdir ? Tidak, itu salah besar om" ia tersenyum lagi "lalu bagaimana denganmu ? Masih mencintainya ?" Aku mendongakkan wajahku menatapnya. "Ah, tidak perlu ditutupi semua orang pasti menyadarinya, tatapanmu kepada revon itu berbeda bukan kepada saudara kembar melainkan kepada seorang pria dewasa". "Lalu apa yang harus saya lakukan ? Membawanya kabur dan menyalahi takdir? Saya tidak sepicik itu om, revon akan terluka lily juga pasti akan terluka" ia hanya tersenyum.
Apakah harusnya seluruh dunia menyadari ini hingga kamu terikut sadar? Aku mencintaimu bukan seperti saudara kembar, tapi ini cinta yang nyata antara aku dan pria dewasa, antara aku dan pelindungku, antara aku dan penyebab senyumku, antara aku dan luka menganga di hati.Andaikan aku bisa mengubah takdir antara kita.
Andaikan aku lah teman hidupmu kelak.
Andaikan aku yang duduk di pelaminan denganmu.
Andaikan aku yang mengucap aku bersedia saat kamu melamarku.
Andaikan aku bukan diriku, setidaknya masih ada harapan antara kita.
Dan pada akhirnya aku lah yang salah, terlalu banyak berandai.
Terlalu naif.
Terlalu bodoh untuk bertahan.
Terlalu ingin tanpa berfikir.
Aku yang salah.
Aku.Ia datang menghampiriku dan pria ini dengan menggandeng lily di kirinya. Mereka tampak senang. Tentu saja bodoh, ini pernikahan mereka. Mereka tampak tidak menyadari perasaanku. Orang bodoh sepertimu tak layak untuk disadari keberadaannya anne.
Revon mencubit kedua pipiku. "Cie yang sesih ditinggal kakak nya nikah" bukan ituu
"Dih makannya cari pacar dong,anne" aku menunggumu.
Aku memeluknya. Erat. "Kenapa?" Tanyanya dengan wajah khawatir. Aku ingin mengungkapkan alasanya. Harus. Setidaknya ia harus tau kebenarannya. Lily juga harus tau."Aku mencintaimu" . "hei aku ju...."
"Bukan sebagai kembaran tapi sebagai seorang pria" ia tampak sangat terkejut.
"Lusa aku ke berlin aku harus menyingkir dari semua ini" air mata bodoh ini pun menetes. Revon memelukku lebih erat dari pelukanku tadi. Ia menjauhkan dieiku darinya sebentar lalu mencium bibirku, aku sangat sangat terkejut. "Itu ciuman pertamaku untukmu.." Kemudian ia pergi meninggalkanklpu yang ku tahu ia tidak akan pernah kembali.