SATU
Mulai hari ini aku resmi menjadi siswi SMP. Rasanya aneh bertemu dengan orang-orang baru yang sebelumnya belum pernah aku kenal sama sekali.
Tapi, dalam hati aku bergumam.
"Mereka semua ini akan menjadi teman-temanku. Dan diantara mereka ada yang akan menjadi sahabatku. Dan diantara mereka pula, akan ada yang menyukai juga akan ada yang membenciku".
"Hey! Boleh aku duduk di sebelah kamu?". Suara itu membuyarkan lamunanku.
"Emm.. Boleh, silakan."
"Aku Sasa, kamu?" Tanyanya yang membuatku sedikit kaget. Tapi, akhirnya aku jawab juga.
"Aku.... Ajeng." Jawabku agak ragu.
Mulai sekarang, Sasa akan menjadi teman sebangkuku. Teman pertama yang mengajakku berkenalan dan mengobrol. Aku rasa, Sasa itu anaknya asyik, supel, manis dan lucu. Bikin iri kalau lihat sifatnya. Tapi, kalau urusan cerewet, mungkin aku ahlinya. Hehe
Perkenalan dan obrolanku dengan Sasa harus terhenti karena aku melihat satu sosok yang tidak asing lagi menutupi pandanganku.
"EGI?!! Ngapain dia disini? Dia sekolah disini juga? Dan sekelas juga?" Gerutuku dalam hati yang membayangkan apa yang akan terjadi kalau Egi sekelas denganku.
★★★
Hari demi hari aku lewati sebagai siswi Sekolah Menengah. Semangatku tidak pernah pudar untuk selalu berangkat dalam keadaan apapun. Dan walaupun aku harus menerima kenyataan bahwa aku dan Egi benar-benar tidak bisa akur. Padahal aku berharap ketika aku dipertemukan kembali dengannya, aku bisa lebih dekat lagi. Tapi, ya sudahlah. Mau diapakan lagi kalau yang terjadi akhirnya terbalik.
Setiap hari perang mulut selalu saja terjadi. Sifat rese, usil, dan menyebalkannya itu tidak berubah sama sekali. Malah mungkin semakin akut kayaknya.
" Orang tuh ya, ada malunya dikit napa? Masa setiap pertanyaan guru maunya kamu doang yang jawab. Emangnya di kelas ini cuma ada kamu?" Ejekan itu mulai lagi.
"Ya biarin aja! Kalau kamu emang bisa jawab, kenapa kamu nggak angkat tangan dan jawab pertanyaannya. Gitu aja kok dibikin susah!" Jawabku jengkel.
"Ilmu itu seperti pakaian dalam. Setiap orang memilikinya. Tapi, nggak bisa dipamerin sesuka hati, seenak jidat!" Dia kembali berteori, membuatku semakin kesal.
"Apa?! Terserah aja deh. Lagian menjawab pertanyaan itu hak semua orang, termasuk aku. Dan kalo aku mau jawab, ya itu hak aku untuk ngelakuin apapun yang aku mau. WHAT I WANNA DO, JUST DO WHAT I WANT!" Kutinggikan nada bicaraku.
"Dasar pamer! Pergi aja sana ke galeri. Terus pameran!" Ucapan terakhirnya sebelum dia meninggalkan kelas.
"Usil banget sih tuh anak." Geramku sambil mencari-cari dompet di dalam tas.
"Kemana sih dompet?..... Ya ampuuunnn."
Ternyata dompetku tertinggal di ruang tamu rumahku. Aku lupa membawanya karena terlalu sibuk dan asyik menyiapkan bahan diskusi hari ini. Dan parahnya ketika aku periksa saku bajuku, yang tersisa hanya lima ratus rupiah.
"Gimana ini? Pulangnya mau naik apa? Masa jalan kaki? Kan jauh..."
Aku akhirnya pasrah dan terduduk di kursi sambil menahan kesal. Kesal karena pertengkaranku dengan Egi dan kesal karena kecerobohanku sehingga dompetku tertinggal.
"Kenapa Jeng? Kok manyun gitu?" Sasa menyadarkanku.
"Dompetku ketinggalan di rumah. Pulangnya gimana ini?" Setengah menangis aku mengaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu (Me, Between Spring and Summer)
JugendliteraturBagian Satu dari draft novel pertamaku.. Me, Between Spring and Summer